Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Opini: Bahasa Mata Kesepian

Minggu, 13 Mei 2018 | 12:36 WIB Last Updated 2018-05-13T04:36:28Z
Kita pun bertanya pada kebingungan yang pergi meninggalkan kesepian.

Hampir seluruh manusia merayakan perkawinan mata dengan gadget ataupun kesenangan lainnya setiap hari. Ini bukan hal baru dalam sebuah garis sejarah kehidupan manusia hanya saja meningkatnya kebutuhan indrawi dari sebuah realitas kesepian menuju realitas kebingungan atau sering disebut sebagai manipulasi realitas (maya). Bingung karena kesendirian secara harfiah bukan lagi termasuk kesepian melainkan dipaksa dengan arti sebuah keramaian. Sering duduk bersama namun asik sendiri-sendiri.

Terkait dengan alam dan manusia dalam konteks biologis demikian tidak terlepas dari makan, minum dan seks (kenikmatan). Namun ada yang perlu digarisbawahi dari relasi manusia dengan sesuatu yang ada di luar dirinya yaitu adanya gerak elastis yang kian berputar seiring perkembangan zaman. Dengan demikian rotasi paradigma terjerumus dalam budaya konsumtif dan semakin mengekang keakuan manusia dengan budaya lokal. Takut dibilang tidak keren, ketinggalan zaman, kampungan atau semacamnya.

Menelisik perihal generasi di masa sekarang yang statusnya semakin melangit atau akrab disebut dengan Istilah generasi millennial. Istilah tersebut berasal dari millennials yang diciptakan oleh dua pakar sejarah dan penulis Amerika, William Strauss dan Neil Howe dalam beberapa bukunya. Millennial generation juga akrab disebut generation me atau echo boomers yang tergolong lahir pada 1980 - 1990, atau pada awal 2000, dan seterusnya. Generasi yang semakin hari menikmati hidangan teknologi dengan berbagai macam situs media dan tumpukan aplikasi di dalamnya.

Belum lagi di kalangan masyarakat luas belakangan ini yang telah digandrungi dengan aplikasi sejenis Tik Tok, Mobile Legend, Rules of Survival dan sebagiannya. Hegemoni ini tak mengenal identitas, bahkan para konsumer lebih besar dan lebih aktif dikalangan mereka yang bergelut dalam dunia pendidikan. Pendidikan yang kita kenal sebagai dunia para kaum intelektual muda, tempat untuk menumbuhkan kualitas kemanusiaan dan melawan segala bentuk eksploitasi kemanusiaan.

Budaya baru dan terbilang aneh ini semakin marak diperbincangkan oleh para pemikir, tapi tidak bagi mereka yang malas berpikir. Karena menganggap dunia digital adalah dunia serba instant, ataupun menjadikannya sebagi landasan berpikir. Dari hal demikian budaya konsumtif dalam dunia pendidikan pun tergolong generasi plagiatisme ataupun kapitalisme akademik. Bencana ini juga tampak dalam konteks politik "ideologi pasar" dengan proses produksi pengetahuan. Sebagaimana dalam sajak W.S. Rendra yang berjudul Sajak Sebatang Lisong. "Delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan. Papan tulis-papan tulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan. Dan di langit teknokrat berkata : Bahwa bangsa kita adalah malas bahwa bangsa mesti di-up-grade disesuaikan dengan teknologi yang diimpor."

Hampir seluruh metode belajar mengajar termaktub dalam dunia teknologi. Seperti halnya dunia literatur, buku-buku pun kini larut dalam bentuk soft file (PDF), ringkasnya adalah diskusi lewat media sosial, menulis dalam media online dan membaca hanya di up load dalam bentuk foto-foto. Bukankah pendidikan menurut Paulo Freire pendidikan adalah untuk membebaskan manusia dari kebodohan, dengan menawarkan tiga jenis kesadaran (naif, majid dan kritis) dengan metode dialogis.

Sekiranya penggunaan mata, hati dan akal semestinya tidak menafikan realitas. Sebagaimana Tuhan juga memerintahkan manusia untuk membaca realitas. Apalagi dalam dunia pendidikan mestinya lebih banyak membaca untuk melihat realitas dan menelanjangi dunia. Samuel Langhorne Clemens, lebih dikenal dengan nama pena-nya Mark Twain, adalah seorang novelis, penulis, dan pengajar berkebangsaan Amerika Serikat mengatakan "Orang yang tahu membaca namun tidak mau membaca tidak lebih dari orang yang tidak tau membaca."

Buruknya lagi jika masyarakat luas memandang kaum terdidik laksana sampah visual tanpa pemahaman luas tanpa aktualisasi kemanusiaan. Sampah, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI adalah barang yang tidak terpakai "tidak berguna". Adapun bagi Merriam-Webster Dictionary, "Sesuatu diakatan sampah ketika miskin kualitas (poor quality) dan tidak begitu berarti (litle meaning)". Membaca dan melihat realitas adalah mengawinkan mata dengan kesepian dan menolak kebingungan. Maka dari itu menggunakan mata dengan banyak membaca adalah salahsatu cara memenjarakan bahasa. Sebab bahasa dan pikiran adalah satu kesatuan yang bergerak seirama perbuatan. Jangan terjebak dengan hegemoni media, bukalah mata dan mari melihat dunia yang lebih nyata.

Penulis : Iwan Mazkrib
×
Berita Terbaru Update