Hariati, SKM (Aktivis Dakwah, Makassar) |
Dari mulai tindak kriminal, pengangguran, peningkatan angka kemiskinan, perselisihan hingga sampai pada kasus bunuh diri. Pada April 2020 lalu, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI,Yasonna Laoly, kembali membebaskan narapidana yang jumlahnya lebih dari 30 ribu dengan alasan untuk mengurangi penyebaran covid-19 dan negara juga mengklaim bisa menghemat hingga Rp 260 miliar (kompas,com).
Tak ayal, kebijakan Yasonna Laoly itu lantas menuai polemik. Langkah ini dinilai tidak tepat. Karena sampai dengan keputusan pembebasan napi itu sendiri belum ada berita atau kabar yang menyebutkan bahwa ada napi yang terindikasi positif corona. Beberapa masyarakat menilai jika dibebaskannya napi justru membuat mereka panik. Namun, siapa sangka pembebasan napi dengan program asimilasi ini justru dimanfaatkan oleh oknum petugas. Seorang napi yang saat ini sudah bebas melalui program asimilasi membuat pengakuan yang cukup mengejutkan.(pekanbaru.com)
Maka menjadi sebuah kewajaran bagi beberapa napi ketika mereka berulah kembali, melakukan tindakan kriminal lagi. Apalagi di tengah situasi pendemi Corona seperti saat ini segala sesuatu sangat sulit, baik pekerjaan dan ekonomi, akibatnya pemenuhan kebutuhan hidup akan semakin sulit.
Karena penghasilan tidak ada, sementara pengeluaran akan terus terjadi. Dan rupanya hukuman pada beberapa orang napi selama di lapas tidak membuatnya jera. Kenapa? Karena bisa jadi hukuman itu ternyata tidak menyulitkan.
Deretan kasus juga terjadi dampak wabah corona yang berujung maut. Di balik dampak ini, sejumlah orang menjadi kolaps hingga nekat mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Seorang pengemudi taksi online ditemukan tewas di sebuah kebun kosong, Cikarang Timur, Kabupaten Bekasi, pada Senin 6 April lalu di tengah wabah Corona. JL (33) diduga nekat mengakhiri hidup karena tak sanggup membayar cicilan kendaraan.
Kasus yang sama juga terjadi, seorang pria ditemukan tewas di kamar kos di kawasan Jakarta Barat pada Selasa (21/4/2020) lalu, diduga karena frustasi setelah menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK). Ada juga yang mencoba bertahan di tengah badai kesulitan ekonomi dengan hanya meminum air galon untuk mengusir rasa lapar di perutnya. Bahkan lapar itu ditahannya hingga dua hari lantaran tidak adanya uang untuk membeli kebutuhan logistik (detikNews)
Pemberlakuan PSBB untuk mencegah wabah Covid-19 juga membuat pendapatan warga menurun akibat mereka tidak bekerja. Bahkan ada yang kehilangan pekerjaan (menganggur) dan ada pegawai yang dirumahkan tanpa gaji atau dipotong 50 persen. Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengingatkan bahwa selama pandemi covid-19, jutaan pekerja harian di sektor informal dan karyawan kontrak telah kehilangan pekerjaan, bahkan mereka yang masih biasa bekerja pun seperti pengemudi transportasi daring, mengalami penurunan pendapatan sangat tajam.
Nah, dari beberapa kasus di atas, menjadi bukti betapa maraknya kerusakan sosial yang terjadi saat ini. Lantas siapa yang akan bertanggungjawab? Bukankah sudah menjadi tugas pemimpin dalam negara untuk menjaga dan menjamin terpenuhinya segala kebutuhan rakyat? Kenapa negara gagal mewujudkan keadilan bagi seluruh ummat.
Cara negara dalam menyelesaikan kasus wabah ini adalah dengan melakukan program PSBB. Namun nyatanya program ini tidak optimal, buktinya masih banyak rakyat yang keluyur layap diluar, demi mempertahankan hidup keluarganya. Menurut sebagian masyarakat, lebih baik mati karena corona daripada mati karena kelaparan.
Negara dalam hal ini, sudah melakukan pencegahan namun dinilai lamban dan pemerintah juga hanya banyak tampil di media, tapi lemah dalam tindakan. Hal ini terlihat dari ketidakmampuan pemerintah membaca dampak sosial kemasyarakatan dan lambatnya dalam tindakan.
Rasulullah Saw juga bersabda: "Tidaklah seorang hamba diserahi oleh Allah urusan rakyat, kemudian dia mati, sedangkan dia menelantarkan urusan tersebut, kecuali Allah mengharamkan surga untuk dirinya (HR Muslim)"
Masalah tidak akan pernah selesai permasalahannya ketika tidak didasarkan pada islam. Masalah yang kecil saja, apalagi masalah yang sudah berkaitan dengan kehidupan umat. Jauh sebelum manusia diciptakan, Allah sudah menetapkan sebuah aturan bagi hambaNya, termasuk aturan dalam bernegara. Yang apabila dilanggar oleh pemimpin,maka hukumnya haram dan dosa besar. Menjadi pemimpin merupakan amanah yang besar. Ketika seorang pemimpin berbuat zalim kepada rakyatnya, maka Allah SWT menebar ancaman kepada pemimpin tersebut.
Lalu bagaimanakah sosok pemimpin dalam islam? Dikisahkan pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah Umar pada masa kepemimpinan nya, dia sangat memperhatikan keadaan rakyatnya dan terus memantau serta mencari mana rakyatnya yang kelaparan dan memastikan tidak ada rakyatnya yang tidur dalam keadaan lapar. Ketika Umar mendapati ada rakyatnya yang menangis karena kelaparan, Khalifah Umar pun kembali ke Madinah untuk mengambil dan memikul satu karung gandum untuk diberikan kepada rakyat yang kelaparan.
Kata umar, kalau negara makmur, biar saya yang terakhir menikmatinya, tapi kalau negara dalam kesulitan biar saya yang pertama kali merasakannya.
Begitulah gambaran sosok pemimpin yang amanah dalam mengurus kebutuhan rakyatnya. Sosok pemimpin yang sangat patuh dan taat pada aturan Allah.
Karena Allah lah yang menciptakan kehidupan beserta segala isinya, maka Dia lebih tau cara penyelesaian segala problematika yang dihadapi manusia dalam kehidupannya. Wabah ini tak dapat diatasi dengan tepat tanpa sinergi yang baik antara individu, masyarakat dan negara. Ketiganya harus berjuang bersama dalam menghadapi bencana dengan landasan yang sama dan satu, yakni ketaqwaan kepada Allah. Wallahu a'lam bisshowab
Penulis: Hariati, SKM (Aktivis Dakwah, Makassar)