Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Sekolah Tatap Muka: Antara Harapan dan Minimnya Persiapan

Selasa, 18 Agustus 2020 | 08:36 WIB Last Updated 2020-08-18T00:36:37Z
Alya Amaliah (Mahasiswa Kedokteran Hewan Universitas Hasanuddin)
LorongKa.com - Menjalani pembelajaran tatap muka mungkin menjadi harapan semua siswa maupun mahasiswa seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Setelah hampir satu semester lamanya menjalani kuliah daring dan segala deramanya, bertemu teman-teman dan belajar tatap muka entu hal yang sangat diinginkan. Mulai dari tak efektifnya pembelajaran, mahalnya kuota internet, sampai tak adanya signal secara merata di semua polosok menjadi uneg-uneg dibanyak kalangan pelajar hingga orang tua.

Sayangnya, kebijakan untuk segera membuka sekolah dan perguruan tinggi pada zona hijau dan kuning dianggap terlalu dini, tidak terarah, dan seakan hanya berusaha memenuhi desakan publik tanpa diiringi persiapan yang memadai mengenai resiko bahaya yang bisa diminimalisir.

Ketua Komnas Perlindungan Anak Indonensia (KPAI) Arist Merdeka Sirait memberikan tanggapan terkait adanya perencanaan pembelajaran atap muka di sekolah. Arist menilai bahwa keputusan tersbut belum tepat waktunya, mengingat risiko untuk tertular masih ada, terlebih zona kuning (TribunNews, 08.08/2020). Layaknya negara lain seperti tiongkok, jepang, dan amerika serikat, kasus baru covid-19 bermunculan justru saat sekolah tatap muka kembali digelar.

Upaya-upaya untuk merespon berbagai keluhan masyarat, sedikit banyak sudah direspon oleh pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang diberlakukannya.

Misalnya penggunaan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) untuk digunakan sebagai keperluan penggunaan kuota internet dan pulsa. Hal itu kini dapat dilakukan, tetapi semua tergantung pihak sekolah masing-masing dan sesuai dengan kesiapan dana yang tersedia. Hal ini dikarenakan dana BOS reguler tersebut sudah termasuk untuk guru, pegawai, dan siswa. Sehingga, jika semua siswa diberikan bantuan berupa paket da atau pulsa, maka tidak akan cukup dana tersebut dan guru honorer tidak mendapatkan gaji (borneonewas.co.id). Kebijakan ini pun tak dapat merespon bagai pelajar yang tidak mendapatkan jaringan internet di daerahnya.

Begitu pula untuk merepon kebijakan akan diberlakukannya kegiatan belajar mengajar secara langsung, maka sekolah mesti lakukan protokol kesehatan. Persiapan yang matang mesti kembali disiapkan oleh sekolah. Mulai dari area cuci tangan, kotak obat, masker, termometer tembak, dan lain sebagainya

Kualitas Pendidikan Tetap Harus Dijaga

Keadaan kita saat pandemi memang menjadi cobaan yang mesti dijalani dengan baik saat ini. Walau keadaan serumit ini mungkin tidak terjadi jika sebelumnya pemerintah benar-benar melakukan tindakan lockdown total untuk mencegah masuknya wabah di negeri ini.

Dengan niat menjaga keadaan ekonomi agar tetap jalan, tetapi ternyata kita mesti lebih banyak menegluarkan uang bahkan mengambil pinjaman untuk tetap menjaga keadaan negei kita yang sudah melebih 100.000 korban posotif covid-19.

Nasi tekah menjadi bubur. Tapi dalam hal pendidikan bagaimana pun keadaanya, maka negara semestinya wajib untuk tetap menjaga kualitas pendidikan anak-anak bangsa.

Kalau faktanya banyak guru dan siswa yang resah dengan pembelajaran jarak jauh, seharusnya pemerintah mengevaluasai diri sejauh mana peran mereka dalam mengoptimalkan proses belajar itu.

Bagaimana kukirukulum pembelajaran, metode, kuota intenet, jaringan yang terkendala, hingga kendala teknis lainnya semestinya harus direpon secara menyeluruh untuk menjamin kulitas pendidikan di seluruh pelosok negeri.

Sungguh miris, jika alasan untuk kembali membuka pembelajaran sekolah jarak jauh hanya untuk sebagai solusi dangkal karena tidak mampunya pemeirntah mengatasi kendala yang dihadapi dalam proses pembelajaran daring, tanpa memperhaikan kesehatan, prosedur, sarana dan prasan untuk menjamin kesehatan para siswa saat dilakukannya proses tatap muka.

Carut marut kebijakan yang terjadi memang tak jarang ditemukan pada sistem pemerinahan sekularis kapitalis. Dimana kebijakan yang diterapkan mesti atas acc dari para korporasi yang mementingkan ekonomi. Pemerintah menjadi setengah hati membuat kebijakan sebab semuanya dilandasi asas manfaat atau untung-rugi. Sehingga pendidikan menjadi hal yang mesti diusahakan oleh individu.

Padahal jika kita ingin bercermin ke sistem islam, maka itu bertimpang sangat jauh. Dimana hukum islam mewajibkan negara untuk memenuhi kebutuhan pendidika, kesehatan, dan keamanan ummatnya secara gratis..tis...tiss.

Pemimpin negara dalam ini memosisikan dirinya sebagai pelayan ummat. Maka pemimpin akan bekerja untuk berusaha maskimal untuk memenuhi hak-hak yang telah diberikan tangung jawab kepada mereka. Hal itu tidak bukan karena didasari oleh keimanan, bahwa semua hal yang diberikan dibumi, kelak akan dipertanggung jawabkan di pengadilan akhirat.

"Siapa yang diserahi oleh Allah untuk mengatur urusan kaum muslim, lalu dia tidak memedulikan kebutuhan dan kepentingan mereka, maka Allah tidak akan memedulikan kebutuhan dan kepentingannya (pada hari kiamata)" (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi) Wallahu a'lam bidzhawab.

Penulis: Alya Amaliah (Mahasiswa Kedokteran Hewan Universitas Hasanuddin)
×
Berita Terbaru Update