Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Pentingkah Mengubah Definisi Kematian Covid-19?

Minggu, 11 Oktober 2020 | 09:00 WIB Last Updated 2020-10-11T01:03:53Z
Cinthia Aristha, S. KM (Muslimah Kendari)
LorongKa.com - Dibalik riuhnya pro dan kontra pelaksanaan Pemilu Daerah (Pikada) tahun 2020 ini, menyeruak tentang wacana untuk mengubah definisi kematian akibat Covid-19. Selain menambah daftar panjang masalah covid-19, banyak kalangan mempertanyakan kepentingannya.


Dilansir dari Kompas.com, Staf Ahli Menteri Kesehatan bidang Ekonomi Kesehatan Mohamad Subuh menyatakan bahwa pemerintah tidak akan mengubah penulisan angka kasus kematian akibat Covid-19. Kemenkes hanya akan menambah detail pada definisi kasus kematian. "Sebenarnya tidak mengubah definisi kematian akibat Covid-19. Tetapi menambahkan detail operasional kematian yang berhubungan dengan Covid-19," kata Subuh pada Selasa (22/9/2020).


Masyarakat mempertanyakan urgensi menambah detail pada definisi kasus kematian Covid-19. Seiring dengan kasus kematian yang terus merangkak naik, masyarakatpun kian gencar menuntut segera dilakukannya penanganan serius. Di Indonesia, dikutip dari data terahir Satgas Covid-19 pada Sabtu 3 Oktober tercatat jumlah kematian akibat Covid-19 tembus diangka 11.055 jiwa.


Disisi lain, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan persentase kesembuhan pasien mencapai angka 73.25 persen. Angka itu mengacu data harian kasus Covid-19 pada tanggal 25 September. Alhamdulillah per 25 September, angka kesembuhan kita mencapai 196.000 orang dengan tingkat kesembuhan 73,25 persen, ujar Jokowi saat membuka Muktamar IV PP Parmusi Tahun 2020 secara virtual, Sabtu (26/9/2020).  Dia juga berjanji akan terus berupaya keras meningkatkan angka kesembuhan pasien Covid-19. Begitu pula menekan kasus baru dan kasus kematian akibat virus tersebut. 


Alih-alih memberikan solusi ditengah pandemi, masyarakat menilai bahwa pemerintah hanya mengotak-atik data statistik sembari kembali menebar janji untuk memperbaiki citra diri. Tak akan banyak yang berubah dari sekedar mengubah data atau hanya terus berjanji untuk melakukan upaya peningkatan kesembuhan. Karena korban terinfeksi virus kian banyak seiring dengan  penangan yang sampai saat ini hanya mengandalkan pada perlindungan diri masing-masing di tengah masyarakat.


Terbukti dengan adanya kebijakan pemerintah yang sudah memberikan ijin untuk kembali membuka sejumlah usaha seperti tempat wisata, hiburan malam, sekolah-sekolah, kampus dan lainnya yang sempat ditutup dengan syarat mematuhi peraturan yang telah diberikan dan menerapkan protokol kesehatan yang ada, dalih itupun disebutkan untuk mengembalikan perekonomian yang menurun.


Namun, pada kenyataannya banyak dari usaha-usaha tersebut tidak mematuhi bahkan melanggar peraturan yang sudah ditetapkan serta mengabaikan protokol kesehatan, hal itu malah semakin memperburuk keadaan ditengah pandemi dan menambah kluster-kluster baru penyebaran Covid-19.


Sebab itu, masyarakat masih berharap kepada pemerintah untuk serius dan tanggap dalam penanganan Covid-19 serta membuktikan dengan kerja yang nyata, bukan hanya sekadar menebar janji semata.


Semua fakta tersebut tidaklah lepas dari hasil peraturan yang digunakan hari ini. Sistem Kapitalisme sejatinya tidak memiliki fokus pada kepentingan masyarakat banyak apalagi keselamatan jiwa, melainkan pada bisnis yang berorientasi pada untung rugi.


Meski dalam keadaan pandemi, Covid-19 dijadikan sebagai ladang bisnis antar pemerintah dan rakyat, layanan tes dan perawatan kesehatan yang seharusnya diterima secara cuma-cuma namun harus susah payah didapatkan dengan cara membayar, pun dengan harga yang tidak sedikit. Tentu saja, ini membuat rakyat kesusahan ditengah-tengah kesulitan ekonomi.


Lalu, bagaimana kita menyikapi masalah ini? Kita tidak bisa terus berharap pada setiap peraturan yang jelas tidak bisa menyelesaikan permasalahan, apalagi hanya untuk memberi solusi yang tidak pernah tuntas. Maka, dalam hal ini kita perlu mencari pemecah masalah lain, yang tentu saja tidak bersumber dari sistem Kapitalisme tersebut. Berbicara tentang sistem lain, sebagai seorang muslim, tentu kita akan merujuk kepada aturan Islam. Karena syariatnya selalu memiliki cara dalam menangani setiap masalah yang terjadi, termasuk mengatasi persoalan pandemi.  


Dalam Islam, kepemimpinan menjadi sentral masalah keumatan yang berkedudukan sebagai rain (pengurus) dan junnah (penjaga). Sistem kepemimpinan dalam Islam memiliki paradigma yang berorientasi pada keselamatan jiwa manusia. Sehingga, salah satu tujuan penerapan sistem Islam adalah penjagaan terhadap jiwa manusia itu sendiri.


Islam memiliki cara dalam mengatasi wabah. Pertama, memisahkan antara individu yang sakit dan sehat. Kemudian mengisolasi yang sakit, agar yang lain tetap dapat melakukan aktifitasnya seperti biasa. Jika dari awal hal ini dilakukan kemudian mengunci tempat penyebarannya baik di wilayah maupun negara penyebarannya, maka virus akan lebih mudah ditangani.


Kedua, dalam Islam pemerintah harus memberikan persediaan pendukung seperti logistik, fasilitas laboratorium penunjang, alat kesehatan, vaksin, dan lainnya. Juga memastikan bahwa kebutuhan pokok rakyat terpenuhi secara cuma-cuma tanpa terkecuali, sehingga tidak ada lagi alasan seorang pemimpin membiarkan rakyatnya menantang nyawa hanya karena alasan ekonomi.


Tanggungjawab seorang pemimpin adalah hal yang mutlak terhadap rakyatnya baik di dunia maupun diakhirat. Rasulullah SAW bersabda: “Seorang imam (pemimpin) adalah pengembala, dan dia bertanggungjawab atas gembalaannya (rakyat)”


Dalam riwayat lain disabdakan; “Siapa saja yang dijadikan Allah mengurusi suatu urusan kaum muslimin lalu ia tidak peduli akan kebutuhan, keperluan dan kemiskinan mereka, maka Allah tidak akan peduli akan keperluan dan kemiskinannya.


Begitulah Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna, termasuk dalam mengatasi permasalahan yang tengah didera umat manusia didunia hari ini.


Penulis: Cinthia Aristha, S. KM (Muslimah Kendari)

×
Berita Terbaru Update