OPINI --- Mahasiswa tidak boleh gondrong, atau mahasiswa gondrong tidak boleh masuk ruangan mengukuti proses pembelajaran. Menurut saya, hal tersebut adalah merupakan pembungkaman demokrasi dalam hal ini pembatasan berekspresi secara tidak langsung. Sebab kampus merupakan lalulintas argumen, pengkajian dan pertarungan gagasan-gagasan ilmiah, bukan memprioritaskan pada pengatur berpenampilan.
Tapi oleh berbagai isu aturan kampus yang beredar. Maka kini beberapa kampus telah berubah menjadi pengatur berekspresi, menjelma wujud seperti kantor pelayanan jasa.
Secara pribadi saya merasa larangan gondrong itu hal yang wajar, kalau saja apa yang diberikan Perguruan Tinggi kepada mahasiswa betul-betul seperti yang diharapkan yaitu, kecerdasan yang mumpuni. Lalu siapa yang bisa menjamin?
Saya harap tidak akan ada jaminan akan hal itu, jadi membatasi mahasiswa berpenampilan dalam hal ini melarang gondrong pun juga merupakan pembatasan berekspresi. Dimana tidak ada kaitannya dengan intelektual, sementara yang paling penting dalam kampus adalah kualitas mahasiswanya yang bermutu.
Saya kuliah di Perguruan Tinggi Muhammadiyah, lantaran rambut gondrong pun juga dinilai sebagai salah satu penampilan yang tidak mencerminkan diri sebagai mahasiswa yang santun. Dan penilaian itu, sangat keliru menurut saya.
Tuhan pun yang nyatanya sebagai pemilik alam semesta beserta isinya, hanya menilai hamba-hambanya dari tingkat keimanan. Keimanan adalah parameter kualitas manusia di hadapan Tuhan, sementara penampilan adalah mutlak bukan cerminan dari otak apalagi hati.
Hal itulah yang membuat saya penasaran, kenapa gondrong ini, dan bagaimana implikasinya? Toh menurut ustadz yang pernah saya dengar, Rasul saja memiliki rambut panjang di atas ukuran rata-rata rambut zaman sekarang. Apalagi saya kuliahnya di kampus yang meneladani Rasul yakni Muhammadiyah.
Tentu kita akan kaget, kalau tiba-tiba ada pernyataan yang keluar dari kampus bahwa mahasiswa yang berambut gondrong tidak boleh lagi masuk kampus. Maka spontan kita akan bertanya-tanya pada diri sendiri dan akan menganggap bahwa rambut adalah bagian dari kecerdasan, atau rambut mempengaruhi pola pikir manusia.
Dalam dunia akademis (mahasiswa) tentu saja tidak akan membenarkan tindakan yang hanya menilai sempul sebagai esensi dari segala sesuatu.
Menurut saya, sejatinya Kampus adalah sarana transformasi ilmu pengetahuan. Mengalir seperti air jernih untuk menyuburkan tanaman-tanaman yang kelak akan menghidupi manusia, bukan tempat menampilkan gaya kantoran yang serba mengkilap dengan rambut tersisir rapi lantaran kosong tak bermakna.
Di beberapa kampus mungkin sudah diterapkan aturan itu, dimana mahasiswa tidak boleh gondrong. Entah karena jelek atau mengganggu pemandangan, yang pasti hal tersebut bukan pula jaminan akan kecerdasan hingga selesai di suatu kampus.
Saya sendiri kuliah di salah satu perguruan tinggi Muhammadiyah, di sebuah kabupaten di pelosok negeri Indonesia ini. Dan beberapa pekan sebelumnya telah beredar isu kalau akan diterapkan pula aturan, yakni mahasiswa tidak lagi boleh gondrong di kampus tempat saya menimba ilmu.
Paling miris adalah informasi bahwa salah satu mahasiswa di kampusku tidak diizinkan lagi mengikuti salah satu mata kuliah karena berambut gondrong.
Sungguh ironi tindakan tersebut, bila benar diterapkan. Sebab, tempat yang dinobatkan sebagai pencerdasan kehidupan bangsa telah nampak menjadi, ibarat tempat seleksi artis atau model yang dimana (style) harus ditata dengan sangat rapi.
Padahal kalau kita menyelisik sedikit, dalam sejarah kehidupan saya. Belum pernah saya temui orang gondrong yang selepas kuliah dan tetap semrawut lantaran korupsi, yang ada adalah justru orang-orang tampil rapilah yang cenderung melakukan korupsi.
Jadi, kuncinya. Rambut bukan cerminam dari hati, bukan parameter intelektual, tapi lebih kepada seni (fashion) kesederhanaan. Sebab itulah inti dari beragam jawaban teman tentang rambut gondrong saat saya luangkan pertanyaan.
Sekali lagi saya tekankan, bahwa rambut tidak ada sangkut-pautnya dengan kemampuan berpikir secara akal sehat. Mari berambut panjang bagi yang mau, asal rapi. Toh, kita tidak menindas terlebih merampas hak orang lain.
Author: Burhan SJ
Tapi oleh berbagai isu aturan kampus yang beredar. Maka kini beberapa kampus telah berubah menjadi pengatur berekspresi, menjelma wujud seperti kantor pelayanan jasa.
Secara pribadi saya merasa larangan gondrong itu hal yang wajar, kalau saja apa yang diberikan Perguruan Tinggi kepada mahasiswa betul-betul seperti yang diharapkan yaitu, kecerdasan yang mumpuni. Lalu siapa yang bisa menjamin?
Saya harap tidak akan ada jaminan akan hal itu, jadi membatasi mahasiswa berpenampilan dalam hal ini melarang gondrong pun juga merupakan pembatasan berekspresi. Dimana tidak ada kaitannya dengan intelektual, sementara yang paling penting dalam kampus adalah kualitas mahasiswanya yang bermutu.
Saya kuliah di Perguruan Tinggi Muhammadiyah, lantaran rambut gondrong pun juga dinilai sebagai salah satu penampilan yang tidak mencerminkan diri sebagai mahasiswa yang santun. Dan penilaian itu, sangat keliru menurut saya.
Tuhan pun yang nyatanya sebagai pemilik alam semesta beserta isinya, hanya menilai hamba-hambanya dari tingkat keimanan. Keimanan adalah parameter kualitas manusia di hadapan Tuhan, sementara penampilan adalah mutlak bukan cerminan dari otak apalagi hati.
Hal itulah yang membuat saya penasaran, kenapa gondrong ini, dan bagaimana implikasinya? Toh menurut ustadz yang pernah saya dengar, Rasul saja memiliki rambut panjang di atas ukuran rata-rata rambut zaman sekarang. Apalagi saya kuliahnya di kampus yang meneladani Rasul yakni Muhammadiyah.
Tentu kita akan kaget, kalau tiba-tiba ada pernyataan yang keluar dari kampus bahwa mahasiswa yang berambut gondrong tidak boleh lagi masuk kampus. Maka spontan kita akan bertanya-tanya pada diri sendiri dan akan menganggap bahwa rambut adalah bagian dari kecerdasan, atau rambut mempengaruhi pola pikir manusia.
Dalam dunia akademis (mahasiswa) tentu saja tidak akan membenarkan tindakan yang hanya menilai sempul sebagai esensi dari segala sesuatu.
Menurut saya, sejatinya Kampus adalah sarana transformasi ilmu pengetahuan. Mengalir seperti air jernih untuk menyuburkan tanaman-tanaman yang kelak akan menghidupi manusia, bukan tempat menampilkan gaya kantoran yang serba mengkilap dengan rambut tersisir rapi lantaran kosong tak bermakna.
Di beberapa kampus mungkin sudah diterapkan aturan itu, dimana mahasiswa tidak boleh gondrong. Entah karena jelek atau mengganggu pemandangan, yang pasti hal tersebut bukan pula jaminan akan kecerdasan hingga selesai di suatu kampus.
Saya sendiri kuliah di salah satu perguruan tinggi Muhammadiyah, di sebuah kabupaten di pelosok negeri Indonesia ini. Dan beberapa pekan sebelumnya telah beredar isu kalau akan diterapkan pula aturan, yakni mahasiswa tidak lagi boleh gondrong di kampus tempat saya menimba ilmu.
Paling miris adalah informasi bahwa salah satu mahasiswa di kampusku tidak diizinkan lagi mengikuti salah satu mata kuliah karena berambut gondrong.
Sungguh ironi tindakan tersebut, bila benar diterapkan. Sebab, tempat yang dinobatkan sebagai pencerdasan kehidupan bangsa telah nampak menjadi, ibarat tempat seleksi artis atau model yang dimana (style) harus ditata dengan sangat rapi.
Padahal kalau kita menyelisik sedikit, dalam sejarah kehidupan saya. Belum pernah saya temui orang gondrong yang selepas kuliah dan tetap semrawut lantaran korupsi, yang ada adalah justru orang-orang tampil rapilah yang cenderung melakukan korupsi.
Jadi, kuncinya. Rambut bukan cerminam dari hati, bukan parameter intelektual, tapi lebih kepada seni (fashion) kesederhanaan. Sebab itulah inti dari beragam jawaban teman tentang rambut gondrong saat saya luangkan pertanyaan.
Sekali lagi saya tekankan, bahwa rambut tidak ada sangkut-pautnya dengan kemampuan berpikir secara akal sehat. Mari berambut panjang bagi yang mau, asal rapi. Toh, kita tidak menindas terlebih merampas hak orang lain.
Author: Burhan SJ