Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Mengaburnya Identitas Pemuda Muslim

Selasa, 25 Juni 2019 | 09:09 WIB Last Updated 2019-06-25T01:09:44Z
Kita lupa bahwa satu-satunya fase usia yang akan ditanya di hari akhir kelak adalah kita habiskan untuk apa masa muda kita?

Menurut Wikipedia, identitas pribadi merupakan karakteristik unik yang membedakannya dengan orang lain. Artinya identitas menjadi penanda pada diri seseorang sehingga ia mudah dikenali. Identitas seorang muslim seharusnyalah sesuai dengan tuntunan dari qur’an dan sunnah, baik dari segi penampilan maupun akhlak. Dan semua hal tersebut tidak akan terjadi tanpa adanya pemikiran seseorang yang sesuai dengan Islam hingga menghasilkan kepribadian yang khas.

Dalam keseharian, tulis Ustad Salim A. Fillah dalam buku Saksikan bahwa Aku Seorang Muslim, seorang muslim harus memiliki karakter dan identitas. Bahkan juga penampilan yang berbeda dengan kaum-kaum yang terhukumi jahiliyah. Bukan karena Islam bersifat eksklusif dan elitis. Tetapi Islam adalah sistem menyeluruh yang ingin menjadikan revolusi diri para pemeluknya kaffah.

Lalu bagaimana kita bisa melihat bahwa pemuda muslim saat ini telah kehilangan identitasnya?

Generasi kaum muslimin saat ini jauh lebih mengidolakan artis dan memimpikan dunia hiburan dibanding ilmu dan ulama. Kita bisa melihat perbandingan antusiasme anak muda menghadiri konser dibanding kajian islam atau seminar keilmuan lainnya misalnya. Mereka rela menghabiskan waktu berjam-jam untuk sesuatu yang melalaikan dan tidak mengedukasi. Sibuk berkutat dengan game online dan demam K-pop di luar batas kewajaran.

Berdasarkan hasil riset, Indonesia diperkirakan memiliki lebih dari 60 juta pemain game mobile (gamer) dan dipercaya akan terus bertumbuh mencapai 100 juta pemain pada 2019-2020 (autotekno.sindonews.com, 04/11/18). Penggemar hiburan Korea, bisa menghabiskan waktu rata-rata 18,8 jam dalam sebulan untuk mendengarkan musik, termasuk menonton konser. mereka juga mampu menonton drama Korea hingga 20,6 jam setiap bulan dan 17,9 jam untuk menonton film. Serta rela menghabiskan Rp 8,1 juta untuk membeli album, kartu pos, banner, light stick, poster dan menonton konser (Beritagar.id, 16/03/19).

Kita tidak sadar bahwa ternyata layar sekecil itu bisa mengubah pemikiran dan perilaku perlahan hingga menjadi candu. Bagaimana jika yang mengalami hal tersebut adalah sebagian besar usia produktif di Indonesia? Yang terjadi adalah lahirnya generasi yang lalai terhadap agama dan terbentuklah peradaban yang jauh dari berkah. “Kalau masyarakat ini lebih menghormati dan menghargai hiburan dibandingkan ilmu dan ahli ilmu maka itu bukti bahwa masyarakat jatuh”, begitu kalimat Ustad Budi Ashari dalam seminar Kebangkitan Islam.

Hari ini, pemuda dianggap cenderung kepada keburukan dan tidak memiliki kemampuan mengendalikan diri. Memandang masa muda adalah usia main-main dan sekadar bersenang-senang. Sehingga yang terjadi adalah pembiaran dengan alasan fitrahnya pemuda memang demikian. Tetapi jika kita melihat jauh ke belakang, maka akan kita dapati bahwa orang-orang yang berdiri tegak menentang kezaliman dan penyimpangan di tengah-tengah masyarakat adalah anak muda. Bukankah juga kebanyakan orang-orang yang pertama menerima kebenaran Islam di tengah-tengah kaum jahiliyah masyarakat Makkah adalah pemuda?

Deretan pemuda yang mencapai prestasi gemilang tanpa menanggalkan iman di dada bisa kita lihat pada diri Usamah bin Zaid yang telah berhasil memimpin pasukan di usianya 18 tahun, Zaid bin Tsabit menguasai bahasa Ibrani hanya dalam waktu 17 hari, Sultan Muhammad Al-Fatih membebaskan Konstantinopel pada usianya ke 21 tahun dan tidakkah kita mengambil pelajaran dari pemuda Ashabul Kahfi yang rela pergi demi mempertahankan keimanan? Mari bercermin pada mereka sebab Islam butuh pemuda muslim yang siap mewujudkan bisyarah Rasulullah SAW selanjutnya; Roma. Kota yang tentunya tidak akan ditaklukkan melalui generasi yang hanya peduli dengan game online dan cinta picisannya. Sebab pembebasan wilayah ke tangan muslimin tidak semudah menggerakkan jempol dan menaklukkan hati seorang gadis.

Harapan Selalu Ada

Kata Anis Matta, masih dalam buku Ustad Salim A. Fillah tersebut, bahwa akan ada waktu kiranya dimana ummat manusia akan sulit membedakan antara pesona kebenaran Islam dan pesona kepribadian Muslim.

Harapan itu akan terus menyala. Hingga pesona Islam dan muslim bersatu menghiasi langit peradaban dunia. Hingga berbondong-bondonglah pemuda muslim memasuki dan memuji Allah di dalam rumahNya. Tidak akan ada yang bisa berjuang untuk Islam dan mengemban syariah dengan percaya diri selain kita, pemuda yang mengaku umat baginda Nabi Muhammad SAW. sampai kemenangan itu datang dalam naungan Institusi yang bernama Khilafah. Hingga segala penjuru dunia yang diliputi oleh Islam rahmatan lil ‘alamin. Wallahu a’lam bishshawwab.

Penulis: Fitri Ayu F. (Pecinta literasi di Makassar)
×
Berita Terbaru Update