Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Sistem Zonasi Bukanlah Solusi Yang Andil Dalam Pendidikan

Minggu, 30 Juni 2019 | 14:35 WIB Last Updated 2019-06-30T06:58:45Z
Lorong Kata --- Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Depok menetapkan 32 siswa untuk satu rombongan belajar (rombel) di Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tingkat SMPN tahun ajaran 2019/2020. Hal itu untuk mengefektifkan siswa saat proses kegiatan belajar mengajar (KBM).

Kami meminta pihak SMPN hanya membuka 32 siswa setiap rombel per kelas. Ini dimaksudkan untuk mengefektifkan siswa saat proses KBM," ujar Kepala Bidang (Kabid) SMP Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Depok, Mulyadi, di Balai Kota Depok, Kamis (27/6).

Mulyadi menambahkan, penetapan rombel tersebut sesuai dengan Petunjuk Pelaksana (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis) PPDB SMP 2019. Jumlah 32 siswa per rombel tersebut dapat menampung sekitar 6.976 calon siswa yang lulus pada Ujian Nasional (UN) 2018/2019. "Kami memiliki 26 SMPN yang siap menampung sekitar 6.976 siswa. Penetapan daya tampung siswa ini juga disesuaikan dengan kapasitas di masing-masing satuan pendidikan SMPN," ujarnya.

Pelaksanaan PPDB SMPN 2019 dibagi dalam dua jalur, yakni sistem jalur prestasi dan perpindahan orang tua yang akan dimulai pada27-28 Juni 2019. Setelah itu dibuka sistem jalur zonasi reguler yang berlangsung mulai 4-5 Juli 2019. "Silakan dari sekarang dipersiapkan syarat-syarat pendaftarannya. Daftarlah sesuai dengan jalurnya," ujar Kepala Disdik Kota Depok, Mohammad Thamrin.

Secara umum, persyaratan PPDB SMPN 2019 yakni melampirkan fotokopi sertifikat hasil ujian (SHU) sekolah, surat keterangan lulus (SKL), kartu keluarga (KK) dengan tenggat terakhir sebelum 31 Desember 2019. Kemudian akta kelahiran dan kartu identitas anak (KIA) bagi yang sudah memiliki.

Sejumlah calon siswa menunggu pengumuman PPDB jalur akademik di SMK Negeri 2 Depok, Jawa Barat, Senin (10/7).

Didalam penerimaan peserta didik baru(PPDB) dipantau oleh komisi pemberantasan korupsi(KPK) Menurut Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, KPK pun ikut mengawasi PPDB. Apalagi, sekarang ada sistem baru zonasi.

Saut mengatakan, zonasi ini menggunakan sistem Kartu Keluarga (KK). Memang, lagi-lagi akibat KTP-el yang tak beres merembetnya pun ke sistem PPDB. Namun, kalau ada yang berupaya memanipulasi KK seharusnya dihukum.

Sebenarnya harus dihukum (KK bodong) iya dong nggak jujur dan nggak adil. Ini KPK harus masuk dan semua tim kementerian harus ikut mengawasi itu," ujar Saut dalam acara Diskusi tentang Korupsi yang digelar di Pasca Sarjana Unisba, Selasa (25/6).

Alasan Kemendikbud Terapkan Sistem Zonasi dalam PPDB Kemendikbud menerapkan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Hamid Muhammad beralasan kebijakan tersebut untuk mengakomodasi siswa tidak mampu untuk mendapatkan sekolah.

"Ini sebenarnya adalah program afirmasi untuk melindungi anak yang tidak mampu agar mendapatkan sekolah. Sekolah negeri ya, karena sekolah negeri itu dibiayai oleh pajak rakyat dan itu harus dikembalikan kepada rakyat, nah itu yang zona," kata Hamid di Labschool UNJ, Rawamangun, Jakarta Timur, Kamis (6/7/2017).

Hamid menjelaskan sistem zonasi diterapkan agar siswa dapat diterima di sekolah yang dekat dengan domisilinya. Dirinya berpendapat sistem zonasi juga akan melindungi warga yang tidak mampu.

"Jadi begini sekarang yang kita terapkan sistem zonasi. Sistem zonasi itu kita kita minta agar 90 persen anak di zona itu bisa diterima di zona itu. 10 persennya boleh dari luar ya dengan beberapa pertimbangan," katanya.

"Kemudian kan minimal 20 persen siswa yang tidak mampu. Jadi itu harus ada jaminan bisa diterima karena tanpa ada ketentuan begitu anak-anak yang kurang mampu pasti akan terlempar dari wilayahnya," tambahnya.

Hamid menuturkan penerapan online digunakan untuk mempermudah pengawasan zonasi tersebut. Namun, Hamid menegaskan masih mentolerir bagi sekolah yang belum dapat menerapkan sistem tersebut secara sempurna.

"Sistem online ya biar untuk mempermudah ya, mempermudah manajemen penerimaan siswa baru disetiap zona," tuturnya.

"Tetapi kalau misalnya tidak bisa dilaksanakan karena berbarengan dengan berbagai faktor di lapangan itu boleh disesuaikan," sambungnya.

Hamid tidak menampik masih banyak orang tua murid yang kecewa dengan kebijakan tersebut. Meski demikian, Hamid yakin kebijakan tersebut akan berdampak positif dalam jangka yang panjang.

"Soal mengeluh, hanya perasaan sementara saja. Karena kita akan segera membenahi sekolah di setiap zona yang tak pernah dilirik orang. Dan kan ditangani dengan lebih bagus. Akan muncul sekolah bagus tiap zona,"

Dalam realitas pendidikan era now, orang tua membawa anak masuk sekolah tapi diukur menggunakan meteran seperti ingin menjahit baju. Ukuran penerimaan ada pada jauh dekatnya domisili, bukan pada kemampuan dan prestasi.

Kalau kita berasumsi, semua sekolah baik, semua sekolah gratis, semua sekolah bisa sesuai dengan keinginan dan visi peserta didik, termasuk orang tua, tentu tidak ada masalah. Di tempat yang terdekat, orang tua bisa menyekolahkan anaknya di sekolah yang baik sesuai dengan minat dan potensi anak.

Tapi apakah realitasnya demikian? Terpikirkan tidak, para pemangku kebijakan yang sok pinter bikin kebijakan zonasi, tentang kualitas sekolah yang belum merata? Biaya pendidikan yang tidak sama? Minat anak terhadap sekolah yang berbeda?

Lagi pula, anak dengan kemampuan, kecerdasan tinggi, nilai baik, seharusnya punya hak untuk sekolah di sekolah yang baik? Kenapa hak itu dihapus, hanya karena domisili? Karena tidak berada di zonasi sekolah yang diinginkannya?

Apakah, celah 'zonasi' ini tidak dimanfaatkan oknum? Untuk mengais duit dari orang kaya yang anaknya ingin sekolah di sekolah favorit, yang siap mengeluarkan biaya apapun dan dalam jumlah berapapun?

Bukanlah urusan domisili ini urusan preogratif sekolah? Apakah orang tua yang ditolak karena tidak satu zonasi, mendapat hak untuk mengakses domisili peserta didik lainnya? Agar hatinya ridho, bahwa yang diterima benar-benar satu domisili sekolah?

Lantas, siapa yang menjamin domisili ini alami bukan rekayasa? Dan bagaimana anak yang terpaksa tidak sekolah, karena di tempat domisilinya tidak ada sekolah, kalaupun ada sekolah swasta yang mahal. Lantas, zonasi lainnya apakah akan menjamin menampung anak, jika zonasi pertama tidak lolos?

Dan, apakah tidak terbaca psikologi orang tua yang akan rela 'berkorban apapun' demi sekolah anaknya. Dan, apakah tidak terfikir ini akan menjadi celah bagi oknum sekolah untuk membuka 'tambang baru' untuk mengeksploitasi kegalauan orang tua peserta didik?

Rezim ini benar-benar amatiran, mengelola anak mau sekolah saja tidak becus. Membuat sistem penerimaan berbasis zonasi, jelas merusak motifasi dan iklim kompetisi dalam dunia pendidikan.

Pendidikan dalam Islam

Islam adalah agama yang kompherensif dan mampu mengatur segala aspek kehidupan, termasuk dalam hal pendidikan. Dalam Islam, menuntut ilmu hukumnya adalah wajib dan dari itu maka mekanisme pendidikan dalam Islam sangat diperhatikan. Pendidikan bertujuan untuk membentuk kepribadian Islam, yaitu membentuk manusia yang memiliki pola pikir Islami dan pola sikap Islami. Pendidikan juga bertujuan untuk membentuk pribadi yang menguasai tsaqofah Islam dan menguasai ilmu-ilmu kehidupan.

Islam juga menjamin ketersediaan tenaga kependidikan di semua bidang ilmu dan untuk mendapatkan pendidikan sangat mudah bahkan diberikan secara cuma-cuma.

Pada zaman kepemimpinan Islam, kesejahteraan para guru sangat diperhatikan oleh kepala Negara. Hal ini karena guru memiliki peran yang sangat besar dalam mendidik generasi. Hal ini terbukti pada masa kekhalifahan Umar bin Khatab, para guru diberikan tunjangan 15 dinar (emas) setiap bulan (1 dinar = 4,25 gram emas) . Seorang guru difasilitasi dengan sarana-sarana yang memadai. Hal inilah yang membuat guru bertanggungjawab dan bersungguh-sungguh dalam mencetak generasi.

Hasil pendidikan Islam telah terbukti mampu mencetak generasi yang hebat sebagaimana Muhammad Al fatih usia 22 tahun telah menjadi Sultan, Umar bin Abdul Aziz (23 tahun) menjadi Gubernur, Usamah bin Zaid (18 tahun) telah menjadi Panglima, dan Abdullah bin abbas di usia 15 tahun telah menjadi ulama, menjadi staf ahli negara kekhilafahan Umar bin Khattab dan menjadi gubernur pada masa Ali bin abi Thalib. Wallahualam bis shawab.


Penulis: Susi, Mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muslim Maros. (Anggota Forum logistik Dakwah Maros)
×
Berita Terbaru Update