Mengambil lokasi di Kota Banjarbaru, puncak peringatan Harganas XXVI Tahun 2019 secara nasional akan digelar pada awal Juli 2019. Tema Harganas 2019 adalah “Hari Keluarga, Hari Kita Semua”, dengan slogan “Cinta Keluarga, Cinta Terencana”. (Fajar.co.id, 05/02/2019).
Tema yang diangkat Sabtu, 29 Juni 2019 kemarin sangat menarik namun sangat disayangkan karena fakta dilapangan berkata lain. Merujuk data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung, tingkat perceraian keluarga Indonesia dari waktu ke waktu memang semakin meningkat. Pasca reformasi politik di Indonesia tahun 1998, tingkat perceraian keluarga Indonesia terus mengalami peningkatan. Data tahun 2016 misalnya, angka perceraian mencapai 19,9% dari 1,8 juta peristiwa. Sementara data 2017, angkanya mencapai 18,8% dari 1,9 juta peristiwa. Jika merujuk data 2017, maka ada lebih 357 ribu pasang keluarga yang bercerai tahun itu. Jumlah yang tidak bisa terbilang sedikit. Apalagi terpapar bukti, perceraian terjadi lebih banyak pada usia perkawinan di bawah 5 tahun. Kebanyakan kasus perceraian dilakukan oleh pasangan yang berusia di bawah 35 tahun. Selain itu, meningkatnya jumlah pernikahan muda selama sepuluh tahun terakhir berbanding lurus dengan meningkatnya angka perceraian. (Era.id, 18/09/2018).
Kemana Arah Hari Keluarga Nasional?
Data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung hanyalah data perceraian, belum lagi dengan data kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perselingkuhan, pencabulan, pemerkosaan, kenakalan remaja dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya yang sangat mudah kita jumpai di masyarakat hingga hari ini, bahkan masyarakat sudah menganggap hal yang lumrah terjadi. Sungguh ini menjadi perhatian yang cukup serius. Dari sini muncul pertanyaan, dikemanakan Hari Keluarga Nasional dengan tujuan mulia yang termaktub pada tema dan slogan yang diusung?Pernikahan dini pun tak luput dari sorotan masyarakat yang menghubungkannya dengan Hari Keluarga Nasional, terkhusus di daerah Sulawesi Selatan sendiri yang menjadi titik pusat perhatian masyarakat Indonesia tentang tingkat kecenderungan praktik pernikahan anak usia dini yang tinggi, dianggap terindikasi sebagai ketidak-berfungsian keluarga secara baik dalam menanamkan nilai-nilai dalam keluarga. Dari data yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Selatan, terdapat 345 kasus pernikahan di bawah umur (pernikahan dibawah usia 16 tahun) sepanjang tahun 2018. Angka tersebut tentu saja bertambah apabila patokannya diukur dari usia 18 tahun ke bawah. Sebagaimana laporan hasil penelitian tim penggerak PKK bersama Studi Gender Universitas Hasanuddin Makassar dan Pemerhati Perlindungan Perempuan dan Anak, menyebutkan bahwa di Sulsel terdapat 720 kasus pernikahan anak di bawah umur. Hal itu terhitung sejak bulan Januari 2018 hingga bulan September 2018.
Sejatinya, pernikahan dini bukanlah penyebab utama tingginya tingkat perceraian, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) maupun perselingkuhan karena pernikahan usia dewasa banyak yang mengalami hal yang serupa. Sehingga tak dibenarkan untuk membenarkan pernikahan dini sebagai sebuah langkah yang keliru untuk ditempuh bagi muda-mudi yang tengah mengalami masa baligh. Melainkan pernikahan dini menjadi solusi bagi mereka yang sudah siap lahir maupun bathin untuk lanjut ke jenjang pernikahan, melihat maraknya pergaulan seks bebas dan kenakalan remaja yang semakin menjadi-jadi. Namun, yang perlu disadari bersama bahwa permasalahan-permasalahan yang terjadi ditengah keluarga itu disebabkan karena kurangnya ilmu seputar keluarga dari hak dan kewajiban suami dan istri, hak dan kewajiban anak, adab-adab dalam keluarga, dan masih banyak lagi ilmu yang membahas kehidupan rumah tangga yang kadang diabaikan. Jadi, bukan perkara usia dini tapi perkara ilmu serta kesiapan fisik dan mental yang mesti dimiliki dalam membina keluarga.
Hari Keluarga Nasional, menjadi sebuah agenda tahunan tanpa bekas. Diperingati satu, dua, dan tiga hari kemudian hilang tergantikan dengan rutinitas lainnya. Hari Keluarga Nasional merupakan agenda nasional standar lokal karena dilaksanakan pada daerah-daerah tertentu sehingga tidak semua keluarga Indonesia mampu menikmati agenda nasional tersebut. Nah.. Apakah Hari Keluarga Nasional, perlu untuk dilaksanakan? Sungguh Hari Keluarga Nasional merupakan agenda positif yang mampu menyadaran keluarga untuk kembali pada fitrah. Hanya saja, terjadi ketimpangan antara rutinitas tahunan ini dengan realita yang ada, disisi lain mengajak keluarga untuk tidak menanggalkan identitas sebagai keluarga namun disisi lain rutinitas pekerjaan dan tuntutan hidup menjauhkan keluarga pada identitasnya. Sehingga menimbulkan permasalahan yang baru lagi, belum lagi dana yang dikeluarkan demi terlaksananya Hari Keluarga Nasional sudah pasti menelan biaya yang cukup tinggi sedangkan masih banyak keperluan mendasar lainnya yang harusnya dipenuhi menggunakan dana tersebut.
Selain dari pada itu, pada Hari Keluarga Nasional ada upaya pemerintah membagikan KB secara gratis kepada tiap-tiap keluarga terkhusus yang hadir pada agenda yang berlangsung, sedangkan berkeluarga adalah pernikahan dengan tujuan untuk melestarikan keturunan. Namun sayang, banyaknya asumsi keluarga saat ini adalah membatasi jumlah anak khawatir akan biaya hidup yang mahal, dan sindrom malu jika memiliki banyak anak menghilangkan fungsi utama keluarga. Belum lagi dengan kebanyakan wanita saat ini lebih mengutamakan karir yang menyebabkan fungsi dan peran Ibu tergadaikan. Perlu atau tidaknya Hari Keluarga Nasional, masing-masing dari kita yang menentukan pilihan berdasarkan fakta yang ada.
Delapan Fungsi Keluarga yang Hakiki
Sebuah keluarga memegang peranan penting dalam kehidupan karena setiap manusia atau muslim tentunya berangkat dari sebuah keluarga. Keluarga adalah miniatur sebuah bangsa dimana generasi penerus terlahir. Maka seharusnya, memutuskan untuk menjalin keluarga berarti memutuskan untuk menunaikan fungsi keluarga sebagai implikasi dari merefleksikan fitrah sebuah keluarga.Pertama, fungsi Agama. Agama akan mengajarkan tentang membimbing dan mengajarkan, untuk menciptakan harmonis dalam keluarga. Ayah bertugas sebagai imam dan ibu sebagai pendidik.
Kedua, fungsi sosial budaya. Fungsi sosial budaya bertujuan untuk mengarahkan dan mengajarkan anak-anak untuk membedakan antara akhlak yang baik dan akhlak yang buruk. Dari sini keluarga mampu memahamkan anak-anaknya dengan pemahaman islam sehingga anak-anak mampu menyikapi segala aktifitas berdasarkan pemahaman islam ditengah kondisi yang cenderung mengikis nilai sosial budaya islam.
Ketiga, fungsi cinta dan kasih sayang. Bukan rahasia lagi bahwa pondasi membangun keluarga atas dasar cinta dan kasih sayang. Wujud rasa cinta dan kasih sayang keluarga pada hakikatnya yaitu dengan mengarahkan keluarga untuk takut kepada Allah dengan sebenar-benarnya takut.
Keempat, fungsi Perlindungan. Keluarga yang harmonis akan menciptakan rasa yang aman di dalam keluarga. Rasa aman itu akan timbul dengan sendirinya. Apabila sudah merasa nyaman dan tenang, maka kebahagiaan akan keharmonisan suatu keluarga akan tercapai. Oleh sebab itu keluarga menjadikan keluarga sebagai tempat terbaik untuk pulang dan berkeluh kesah.
Kelima, Fungsi Reproduksi. Sebagaimana kodrat manusia, ialah menyukai lawan jenis. Dan apabila sudah saling menyukai maka tinggal melanjutkan ke jenjang yang serius yakni pernikahan untuk membuat keluarga. Keluarga akan sangat bahagia apabila fungsi reproduksi tercapai, dengan ada generasi penerus bangsa yang terlahir disana. Namun sangat disayangkan, dalam agenda Hari Keluarga Nasional ada aktivitas membagikan pelayanan KB secara gratis sehingga ada makna tersirat untuk membatasi terlahirnya generasi penerus.
Keenam, fungsi Sosialisasi dan Pendidikan. Sebagai makhluk sosial, tentu kita wajib bersosialisasi. Sebagai keluarga, tentu kita memiliki tetangga. Nah akrab dengan tetangga juga akan menambah keharmonisan suatu keluarga. Fungsi lainnya ialah fungsi pendidikan.
Keluarga menjadi media pembelajaran yang pertama. Karena pada dasarnya semuanya diawali dengan mencontoh kebiasaan orang terdekat yakni keluarga. Keluarga menjadi jasa pendidikan informal selain formal dibangku sekolahan.
Ketujuh, fungsi ekonomi. Fungsi ekonomi yang dimaksud ialah pembagian tugas. Pembagian tugas ini seperti ayah yang mencari nafkah dan ibu yang mengurus rumah tangga rumah. Semuanya berkaitan dengan yang namanya ekonomi. Ibu mengatur keuangan dirumah. Asas keterbukaan akan membuat semuanya terasa lebih mudah menjalankan fungsi keluarga. Ayah dengan terbuka menjelaskan bagaimana pekerjaannya, dan berapa gaji yang didapat. Serta ibu dengan terbuka memaparkan berapa banyak uang yang dihabiskan untuk keperluan keluarga. Serta anak yang mampu secara efektif memanfaatkan dengan baik uang yang diberikan orang tua untuk hal-hal positif. Bila ketiga yakni ayah, ibu dan anak mengerti, sepertinya fungsi ekonomi akan bisa berjalan membantu membentuk keluarga yang harmonis.
Kedelapan, fungsi lingkungan. Fungsi lingkungan ini maksudnya agar keluarga mampu mengajarkan bagaimana hidup di lingkungan yang aman, bersih dan sehat. Menjelaskan bagaimana dampak apabila kita tidak menjaga lingkungan.
Untuk mencapai keharmonisan dengan balutan ikatan janji suci secara real akan dirasakan bersama ketika fungsi keluarga dijalankan sesuai koridornya secara baik. Seharusnya delapan fungsi inilah yang dipromosikan dalam agenda Hari Keluarga Nasional kepada seluruh keluarga Indonesia, bukanlah mempromosikan hal-hal yang mampu menjauhkan keluarga dari fitrahnya. Dan negara sepatutnya menjadi perisai agar kedelapan fungsi berjalan dengan baik dan bersinergi.
Penulis: Nur Amalia, (Forum Pena Dakwah)