Notification

×

Iklan

Iklan

Artikel Terhangat

Tag Terpopuler

Sistem Zonasi, Solusi?

Senin, 01 Juli 2019 | 06:08 WIB Last Updated 2019-07-01T00:05:36Z
Lorong Kata --- Penerapan sistem zonasi yang diberlakukan tahun ini pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) mengharuskan calon peserta didik untuk menempuh pendidikan di sekolah yang memiliki radius terdekat dari domisilinya masing-masing sesuai Permendikbud nomor 51/2018 .

Sistem zonasi yang diberlakukan tahun ini adalah bentuk evaluasi dari sistem zonasi yang sudah diberlakukan pada tahun lalu. Sebagaimana yang diungkap oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, bahwa sistem zonasi yang diberlakukan pemerintah pada 2019 adalah hasil evaluasi tahun sebelumnya. (jpnn.com)

Penerapan sistem zonasi diharapkan mampu menjadi solusi atas permasalahan-permasalahan yang menimpa dunia pendidikan hari ini. Salah satunya adalah masalah pungli (pungutan liar) yang selama ini berlaku di sekolah-sekolah favorit. Karenanya banyak pihak yang mendorong pelaksanaan sistem zonasi tersebut. Dukungan itu juga datang dari Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Pihaknya bahkan mendorong agar sistem zonasi PPDB berlaku 100 persen.

Sistem zonasi juga dianggap akan menjadi solusi untuk menghapus adanya istilah sekolah-sekolah favorit, sebab pada umumnya semua sekolah sama saja. Tidak ada yang mesti difavoritkan.
Namun sejauh ini, penerapan sistem zonasi nampaknya bukan solusi. Sebab pasca penerapan sistem zonasi justru banyak muncul masalah-masalah baru. Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Satriwan Salim menilai ada empat masalah sistem zonasi pada pelaksanaan PPDB 2018.

"Masalah itu berupa munculnya jalur SKTM di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Pada pasal 16 ayat 1 sampai 6 Pemendikbud Nomor 14 Tahun 2018 [tentang PPDB] tidak ada istilah Jalur SKTM," kata Satriwan saat diwawancara Tirto pada Juni 2018.
Masalah kedua berkaitan dengan perpindahan tempat tinggal tiba-tiba. FSGI menemukan kasus, salah seorang siswa asal Cibinong, Bogor, menumpang nama di Kartu Keluarga saudaranya di Kramat Jati, Jakarta Timur, demi bisa bersekolah di salah satu sekolah di daerah itu, alih-alih di tempat asalnya. Dengan kata lain, sistem zonasi bisa dikelabui.

Masalah ketiga yang masih berkaitan dengan kewajiban menerima 90 persen calon siswa yang tinggal di lokasi dekat sekolah. Di lapangan, hal ini membuat sekolah yang jauh dari konsentrasi pemukiman warga biasanya ada di pusat kota sepi peminat. Misalnya yang terjadi di 12 SMP di Solo, Jawa Tengah, atau di 53 SMP di Jember, Jawa Timur.

Masalah terakhir masih berkaitan erat dengan poin tiga. Ketika di satu sisi ada sekolah yang kekurangan siswa, di sisi lain ada sekolah yang kelebihan peminat karena ada berada di zona padat, misalnya SMA Negeri 1 Jepon yang zonanya ada di tiga kecamatan sekaligus: Jepon, Jiken, dan Bogorejo.

Pasti tidak akan jauh beda dengan penerapan sistem zonasi ditahun ini. Bahkan baru memasuki awal penerapan saja, sudah memunculkan banyak permasalah baru. Ironinya dampak zonasi tidak hanya kecalon peserta didik namun juga dirasakan oleh pendidik.

“Selain karena nilainya rendah, moral dari anak-anak yang tidak terseleksi dengan nilai yang rendah ternyata ada di situ. Hal itu membuat para pendidik kelimpungan," ucap Saladin Ayyubi, Anggota Komite SMP Negeri 2 Purwokerto dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com.

Perlu Solusi yang Mengakar

Segala macam bentuk permasalahan yang menimpa dunia pendidikan semestinya harus diselesaikan dengan solusi yang mengakar bukan dengan solusi yang parsial. Solusi yang mengakar tersebut tidak akan kita temukan dengan hanya menjadikan akal manusia sebagai sumbernya. Maka perlu adanya solusi yang berasal dari pencipta yang menciptakan akal manusia. Tak lain adalah Allah swt. dan solusi itu adalah islam.
Islam adalah diin yang mengatur segala aspek kehidupan. Karena itu segala permasalah dalam kehidupan, Islam pun hadir sebagai solusi. Termasuk dalam masalah pendidikan, Islam punya solusi.

Dalam Islam, pendidikan bukan hanya sebagai sarana untuk memuaskan akal. Tetapi pendidikan adalah sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Sang Kuasa. Olehnya setiap individu diperintahkan untuk menuntut ilmu dengan menempuh pendidikan. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw.

”Mencari ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun muslim perempuan”.
(HR. Ibnu Abdil Barr)

Olehnya itu negara sebagai penanggung jawab ummat harus menyediakan sarana-sarana untuk memudahkan ummat dalam menuntut ilmu. Salah satunya adalah dengan menyediakan sekolah-sekolah yang berkualitas. Bukan hanya itu negara harus menyamalaraskan kualitas sekolah-sekolah. Baik dari segi kurikulum maupun dari segi sarana dan prasarana sekolah.

Dari segi kurikulum, sekolah dibangun dengan kurikulum yang berlandaskan aqidah Islam yang bertujuan bukan hanya untuk mencerdaskan peserta didik dengan ilmu pengetahuan, tetapi juga umtuk membentuk pribadi peserta didik yang berkepribadian Islam, tentu dengan menguasai tsaqofah islam. Sehingga demikian tidak akan muncul sekolah-sekolah yang difavoritkan, tidak ada lagi keluhan dari para pendidik akan rendahnya moral peserta didik dan masalah-masalah pada peserta didik lainnya.

Adapun dari segi sarana dan prasarana, negara juga bertanggung jawab dalam penyediaannya. Mulai dari kelengkapan alat-alat sekolah sampai dalam penyediaan literasi-literasi seperti perpustakaan, laboratorium dan sebagainya. Begitu pula dengan suasana atau kondisi lingkungan sekolah, juga perlu perhatian lebih.

Tidak hanya itu, dalam Islam tunjangan kepada guru begitu tinggi seperti misalnya yang diterima oleh Zujaj pada masa Abbasiyah. Setiap bulan beliau mendapat gaji 200 dinar. Sementara Ibnu Duraid digaji 50 dinar perbulan oleh al-Muqtadir. (I/231).

Contoh lain yang tak kalah menarik, terjadi pada masa Panglima Shalahuddin Al-Ayyubi Rahimahullah, guru begitu dihormati dan dimuliakan. Syekh Najmuddin Al-Khabusyani Rahimahullah misalnya, yang menjadi guru di Madrasah al-Shalāhiyyah setiap bulannya digaji 40 dinar dan 10 dinar (1 dinar hari ini setara dengan Rp. 2.200,000 jadi setara Rp 110,000,000) untuk mengawasi waqaf madrasah. Di samping itu juga 60 liter roti tiap harinya dan air minum segar dari Sungai Nil.

Begitu termuliakannya seorang guru dalam Islam. Dengan jumlah tunjangan yang sedemikian apakah akan ada lagi penyimpangan-penyimpangan yang akan dilakukan pihak guru seperti misalnya pungli? Dengan akal sehat pasti akan menjawab tidak.

Itulah solusi yang mengakar berasal dari Islam. Solusi yang tidak akan didapatkan dalam sistem kehidupan yang mentuhankan akal (baca: sekularisme-kapitalisme). Maka sebagai bangsa dan negara mayoritas, mari kembali pada solusi Islam. Sebab Islam adalah Solusi. Wallahu'alam.

Penulis: Nurhalimah, Mahasiswa Universitas Muslim Maros
×
Berita Terbaru Update