Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Dicap Radikalisme: Harus Takut atau Bangga?

Sabtu, 02 November 2019 | 07:19 WIB Last Updated 2020-04-08T11:15:44Z
Lorong Kata - Presiden Joko Widodo didampingi Wakil Presiden Ma'ruf Amin secara resmi telah mengumumkan susunan kabinet 2019 - 2024 dengan nama Kabinet Indonesia Maju. Pelantikan tersebut dilakukan di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jum'at (25/10/2019), setelah Jokowi memperkenalkan 12 menteri yang dipilihnya.

Akan tetapi pemilihan menteri-menteri tersebut diantaranya mengundang kontroversi ataupun problematika dikalangan masyarakat, aktivis bahkan dari kalangan politokus. Salah satunya ialah jendral (paripurna) TNI Facrul Razi, yang dilantik oleh Presiden Jokowi sebagai menteri Agama yang natobenenya merupakan lulusan akademik militer pada tahun 1970.

Pria kelahiran banda aceh ini sempat menjadi wakil Panglima TNI pada tahun 1999-2000 juga menjadi orang pertama dari kalangan militer yang menjabat sebagai menteri agama pasca Orba. Menurut penelusuran kiblat.net, Fachrul tidak memiliki gelar akademik di bidang keagamaan.

Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU Bapak Rumardi Ahmad menyampaikan kekecewaan atas terpilihnya Facrul sebagai Kementrian Agama, beliau beranggapan bahwa Fachrul Razi tak berpengalaman dalam isu pendidikan Islam di bawah Kementerian Agama, dari pesantren, madrasah, perguruan tinggi keagamaan Islam (Ma'had Aly) hingga satuan pendidikan diniyah formal.

Erwin Moeslimin Singajuru, menilai keputusan Presiden Joko Widodo untuk menunjuk Fachrul Razi sebagai menteri agama tidaklah tepat. "Tidak terlalu tepat kalau menurut saya. Saya terus terang apa adanya," kata Erwin selalu politikus PDI Perjuangan, saat ditemui di acara diskusi Perspektif Indonesia di Jakarta.

Fachrul Razi terang-terangn membeberkan alasan Presiden Jokowi memilih dirinya sebagai Kemeng "Saya mencoba menggali di benaknya Pak Presiden, beliau melihat saya berceramah memberikan khotbah mengajarkan damai, Islam mengajarkan rahmatalil Alamin, dan saya sejalan dengan beliau" ujar Fachrul Razi

Menurut Jokowi, Fachrul memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah radikalisme "Kita ingin yang berkaitan dengan radikalisme, yang berkaitan dengan intoleransi itu betul-betul konkret bisa dilakukan oleh Kemenag," kata Jokowi seperti diberitakan Kompas.com, Kamis (24/10/2019).

Dalam melawan paham radikalisme ini, Zaitun Tauhid selaku wamenag mengatakan bahwa mereka akan kerahkan ribuaan penyuluh untuk mencegah penyebaran paham radikalisme. Sebelum itu pemerintah juga telah melakukan upaya pencegahan dengan mengadakan forum-forum seminar yang bertemakan bahaya radikalisme bagi Indonesia, meliris daftar Perguruan tinggi yang di indikasi terpapar paham Radikal serta menerbitkan Undang-undang anti terorisme.

Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah terkesan ingin mencekoki mindset khalayak publik bahwa paham radikalisme merupakan sesuatu yang patut untuk di musnahkan. Sangat disayangkan pengertian radikalisme versi pemerintah masih lah mengambang belum ada makna yang jelas, dan dengan gencarnya labeling radikalisme tersebut dimodifikasi agar terkesan dapat mengancam eksistensi kedaulatan bangsa. Jadi jika ditelaah, radikalisme secara garis besar dalam tafsiran pemerintah dapat diartikan sebagai konten yang berbau negatif. Padahal jika kita berkiblat pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, Radikalisme berasal dari bahasa Latin "radix" yang berarti "akar" dengan kata lain memiliki makna yang luas juga mendasar ataupun mendalam. Dari definisi ini saja, makna dari kata radikal adalah sesuatu yang netral.

Fakta menunjukan di Indonesia saat ini, labeling radikalime sering dikaitkan dengan agama islam. Sehingga ini berimplikasi pada muslim itu sendiri yang semakin takut mempelajari islam secara mendalam. Sebab tidak sedikit masyarakat yang sudah menunjukkan ketakutannya ketika dilabel islam radikal.

Padahal ketika kita menelusuri lebih dalam secara definisi, Islam radikal dapat dimaknai sebagai islam yang fundamental artinya keimanan seseorang itu benar-benar mengakar pada dirinya. Seharusnya, kita haruslah berbangga diri jika kita dinilai radikal karena di akhirat nanti akan banyak yang bersaksi bahwa diri kita adalah salah satu muslim yang ingin berIslam secara radikal bukan mendangkal. Apakah sesuatu yang salah jika seorang muslim kokoh pada pemahaman dan ke Islaman nya? Tentu tidak !

Dengan mengaplikasikan kekokohan tersebut mereka menuntut kepada penguasa sebagai fasilitator masyarakat untuk menerapkan syariat Islam, untuk di atur dengan aturan islam secara menyeluruh bukan hanya sebatas ibadah mahdhah saja tapi lebih dari itu. Bukankah Allah telah menjelaskan di dalam Al-Qur'an surah Al-baqarah ayat 208 bahwa Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu".

Isu-isu yang menyebar di khalayak masyarakat yang senantiasa di gaungkan oleh elit penguasa mengenai paham radikalisme yang mengancam negeri, haruslah dikritisi dengan tuntas. Apalagi jika hal tersebut mengarahkan kepada umat Islam. Sebab Islam merupakan pedoman hidup yang diturunkan oleh Allah SWT sebagai rahmatan lil'alamin bukan hanya rahmat bagi manusia atau kaum muslimin saja tapi juga seluruh alam.

Penulis: Fahira Arsyad (Mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam)
×
Berita Terbaru Update