Tunjamnya Surya
Aishaa Rahma
Rahwana berdasi sedang pongah
Di bawah telunjuknya, kebencian ditabuh
Rasis dan radikalis telanjang, terpampang di hadapan dunia...
Wajahnya sumringah
Di antara ceceran darah
Delhi menjadi saksi percikan nyeri,
terlempar di layar kaca...
Menembus pikiran waras
Merasakan dada yang lebam
terperangkap duka
Tak mampu berbuat apa-apa...
HAM dan pengasong toleransi tak tergugah menawar damai...
Membusung kenyang tersumpal upeti
Berseri melihat jari-jari bergetar mengusap muka...
Mati rasa menatap napas-napas
Menghela samar, membujur terkapar
Terbungkuk dikepung batu,
tak ada ampun meski raga terhuyung-huyung
Mereka sepusing gasing dalam lingkaran
Hari-hari mengalir linangan,
tanpa alamat dan tanggal...
Dalam sia-sia perlawanan
Nyawa sekedar menunggu giliran
Apa hasratmu puas tuan?
Mengira tahtamu terbebas
Padahal, kau tak pernah betul-betul merdeka
Tak sadar selalu diperbudak, bahkan oleh waktu
Sudah lama kepalsuan tak berwajah
Hingga sulit membedakannya
Sisa hidupmu adalah slang
Berisi bensin keinginan dan minyak kerakusan
Keadilan terkemas rapi dalam botol
Terlarung di curamnya atol
Netramu lupa sejarah
Islam menjejak di tanah Hindustan ribuan tahun lamanya
Apa arti bernegara...
Diantara puing genangan prahara
Senja menunda perkabungan
Belum ada bendera setengah tiang
Cakrawala hening menyaksikan
Sungkawa bercadar hitam
Ragamu digilas roboh ke jalan, tanpa sanggup melawan
Diterjang dan diinjak, nyaris tak kuasa tegak
Hingga jantung berakhir detak
Ajal begitu lembutnya
Mengantarkan jam nestapa
Diorama langit menyembur pitam
Kelam mengubur suram
Cuaca mencekam
Darah beku legam
Syuhada gugur
tanpa senjata
Dengan kehormatan
terusung diatas keranda
Bersama tunjamnya Surya.
Gelak tangismu sudah terbayar kebebasan
Kampung halamanmu menyambut kedatangan
Dengan segala kedaulatan yang kau damba
Disisi-Nya ruh jasadmu lega.
Surga terpampang nyata
Mencatat namamu sebagai penghuninya
#KomunitasAktifMenulis
#MenulisUntukPeradaban