Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Omnibus Law Memiskinkan Nelayan

Senin, 06 April 2020 | 21:55 WIB Last Updated 2020-04-06T13:55:56Z
Lorong Kata - Sektor perikanan di Indonesia dinilai masih rentan terhadap praktik kerja paksa dan perdagangan orang. Kondisi tersebut hampir terjadi secara merata pada sub sektor perikanan tangkap, budi daya, dan pengolahan ikan. Untuk itu, Pemerintah Indonesia jangan pernah mengabaikan perlindungan HAM pada sektor perikanan nasional. (https://www-mongabay-co-id).

Saat sumber daya perikanan dilakukan lebih eksploitatif, bakal meningkatkan biaya produksi kegiatan penangkapan ikan. Kondisi itu, bakal memperberat para pelaku usaha dan nelayan, karena Pemerintah saat ini sedang mendorong armada kapal ikan untuk bisa beraktivitas di wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia. (https://m-bisnis-com.).

Dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menjabarkan target perikanan tangkap 2020 sebesar 8,02, juta ton. Target akan meningkat setiap tahunnya.

Berdasarkan data Ditjen Perikanan Tangkap, produksi perikanan tangkap mengalami peningkatan dalam kurun waktu 4 tahun terakhir. Pada 2015, produksi perikanan tangkap mencapai 6,67 juta ton. Pada 2018, produksinya melonjak menjadi 7,3 juta ton.

Hingga kuartal III/2019 produksi perikanan tangkap mencapai 5,5 juta ton, terdiri dari produksi laut 5,1 juta ton dan produksi perairan umum 397 ribu ton. Jumlah ini meningkat 17% dibandingkan dengan periode yang sama pada 2018, sebesar 4,9 juta ton.

Peningkatan produksi tersebut otomatis menaikkan nilai produksi. Jika pada 2015 nilai produksi perikanan tangkap mencapai Rp120,6 triliun, pada 2018 mencapai Rp210,7 triliun, atau rata-rata meningkat 23,20% per tahun. (https://kolom-tempo-co.cdn).

Masalah pertama adalah ancaman virus corona. Dalam kejadian SARS pada 2003, sebagian pasar perikanan kita terkena dampaknya, terutama ekspor kerapu. Namun, melihat agresivitas virus corona saat ini, bukan tidak mungkin usaha perikanan kita mengalami perlambatan dalam ekspor ke Cina untuk waktu lebih lama.

Berdasarkan data Kementerian Kelautan pada 2018, Cina merupakan pasar utama udang, rajungan-kepiting, cumi-sotong, dan gurita serta rumput laut yang cukup tinggi. Ekspor udang mencapai 1,89 persen dari total ekspor, rajungan-kepiting 6,58 persen, cumi-sotong-gurita 42,72 persen, dan rumput laut 73,46 persen. Persentase ekspor ini belum termasuk kerapu, lobster, dan jenis grouper lainnya.

Efek corona bukan soal konsumsi, melainkan transportasi yang berisiko tinggi tertular virus corona. Walaupun ada stok, ada kemungkinan pengiriman ditahan sampai kondisi memungkinkan. Ketidakpastian berakhirnya serangan virus corona makin meningkatkan ketidakpastian usaha perikanan kita.

Untuk perlindungan konsumen, pengecekan ikan impor sebelum disebar sebagai bahan baku olahan tetap menjadi prioritas. Langkah ini bertujuan untuk memastikan bahwa ikan impor dari Cina bebas virus. Langkah bijak yang sebaiknya dilakukan adalah mengganti bahan baku impor dengan bahan baku lokal.

Namun target ekonomi perikanan tentu juga mengalami ketidakpastian. Walaupun sudah ditekankan bahwa kontribusi tangkap 8,02 juta ton pada 2020 dengan nilai ekspor US$ 6,1 miliar, karena belum pastinya alokasi ruang, kuota, dan pasar ekspor, hal ini dapat menyebabkan ketidakpastian kelanjutan investasi perikanan.

Untuk memastikan usaha perikanan berada dalam koridor yang terarah, portofolio yang perlu dibangun adalah investasi berbasis spasial. Kebijakan Satu Peta harus menjadi prioritas. Sejalan dengan itu juga perlu disiapkan neraca ekonomi WPP yang mengintegrasikan kegiatan usaha tangkap, budi daya, konservasi, wisata, garam, dan pengolahan. Untuk memperkuatnya, sistem pendataan perikanan harus real time, bukan lagi best available data. Selanjutnya adalah memperkuat pasar dalam negeri dengan mendorong konsumsi ikan dan diversifikasi produk perikanan.

Dengan cara ini, peluang perikanan kita sebenarnya bisa terukur secara nasional dan global. Kita juga dapat memastikan perikanan punya kekuatan ekonomi yang memang dapat diandalkan dan bersaing daripada sekadar menunggu pasar yang belum tentu ada jaminan kapan pulihnya.

Pada konteks perikanan, Omnibus Law tidak melibatkan masyarakat, tidak menjelaskan tentang kesejahteraan, kedaulatan, bahkan kemakmuran masyarakat sehingga apakah masih dibutuhkan untuk pekerja perikanan?" kata Sekretaris Jenderal Kiara Susan Herawati pada Seminar Nasional Perlindungan Pekerja Perikanan dan Tantangannya Dalam Omnibus Law di Gedung V Universitas Semarang, Menurut dia, RUU Omnibus Law hanya untuk kepentingan investasi dalam skala besar dan menjadi karpet merah bagi kapal asing untuk mengambil sumber daya perikanan di perairan Indonesia. (https://covesia.com).

Direktur Plan International Indonesia Nono Sumarsono yang juga hadir sebagai pembicara mengatakan bahwa nelayan merupakan profesi atau pekerjaan menangkap ikan yang berbahaya, dengan tingkat terjadinya insiden cedera dan kematian akibat kecelakaan kerja, cukup tinggi.

Diperlukan stimulus ekonomi untuk menjaga keberlangsungan sektor perikanan di tengah wabah Virus Corona alias Covid-19. Salah satu usulannya, adalah agar pemerintah maupun Badan Usaha Milik Negara dapat membeli produk perikanan masyarakat Pasalnya, hingga kini nelayan maupun pembudidaya terus berproduksi namun ada kekhawatiran hasilnya tidak terserap.

Para nelayan juga takut karena tidak ada jaminan harga imbas pandemi virus Corona, pemerintah daerah dalam hal ini lebih meningkatkan perhatian terhadap rumah tangga nelayan dan pembudidaya ikan kecil,hal ini untuk terus meningkatkan pendapatan rumah tangga nelayan dan pembudidaya ikan, serta menurunkan biaya produksi serta kebutuhan rumah tangga.

Penulis: Ihsan Akbar.
×
Berita Terbaru Update