Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Radikalisme, Isu Sampah Yang Terus Didaur Ulang?

Selasa, 26 Mei 2020 | 17:11 WIB Last Updated 2020-05-26T09:11:48Z
Ika Rini Puspita (Penulis Buku 'Negeri ½')
LorongKa.com - Dalam situasi Nasional kita, masih ada yang menyuarakan Khilafah, radikal dan teror. Bahkan, mereka saat ini melakukan konsolidasi dan menyiapkan amaliyah-amaliyah di tengah pandemi ini. Bahkan di media sosial masih banyak kelompok yang tidak terakomodir oleh pemerintah. Meskipun, Prabowo dan Presiden sudah bersatu namun dikalangan grassroot (akar rumput) masih kita rasakan adanya perpecahan. Kata Deputi IV Bidang Pertahanan Negara Kemenko Polhukam Mayjen TNI Rudianto saat diskusi publik virtual "Menjaga stabilitas Keamanan Nasional di Tengah Covid-19" yang digelar Majelis Nasional KAHMI Jakarta (20/5) (Republika.co.id, 20/5/2020).

Saat membaca berita di atas sontak saja penulis senyum-senyum kecut, giringan sampah apalagi yang mau didaur ulang? Ternyata isu basi 'radikalisme' yang akhir-akhir ini menghilang dari pemberitaan, di tengah pandemi Corona dan serumpun masalah Negeri kita. Semua tahu kan, isu ini akan terus ada tiap tahunnya. Coba di cek-cek lagi ingatannya.

Dengan adanya ciutan pak Rudianto mengenai "radikalisme" di atas menandakan 'pentingnya ide radikalisme' terus didaur ulang. Agar mendapatkan produk baru yang bisa dimanfaatkan. Bahasa kerennya adalah 'kegentingan yang memaksa' sampai dibuatkan Perppu demi ide tersebut. Gagalnya penanganan Corona, berdampak ke sendi-sendi kehidupan misal sosial, ekonomi, politik dan lain-lain. Maka isu radikalisme setidaknya bisa memalingkan rakyat dari sekerumit persoalan yang diderita dan kembali hanyut dengan ide radikalisme.

Maka jangan heran jika ide ini terus didaur ulang, karena ada unsur politik di dalamnya. Selain itu, yang menjadi sorotan adalah apa yang salah dengan teriakan 'radikalisme' yang terus melakukan amaliyah-amaliyah di tengah pandemi ini? Padahal arti radikalisme menurut Komaruddin (2002: 212) bahwa "Radikalisme berasal dari bahasa latin "radix", yang berarti akar, kaki, atau dasar. Jadi, radikalisme adalah suatu paham yang menginginkan pembaharuan atau perubahan sosial dan politik hingga ke akarnya". Jangan sampai kita salah memahami makna radikalisme, sebelumnya penulis juga pernah menulis ini dengan judul ‘Teperdaya Istilah Radikalisme’ yang terbit di Mediaoposisi.com (4/12/18).

Jadi secara bahasa, istilah radikalisme itu positif. Namun, kemudian istilah ini dikonotasikan negatif pendorong teror, makar, anti kebihnekaan dan lain-lain. Tolak ukurnya pun tidak jelas. Misal, ketika saya meneriakkan ayo perbaiki akhlak, mengaji, berhaji, sedekah dan lain-lain ini tidak terkategori radikal. Sebaliknya jika saya meneriakkan ayo tegakkan syariat Islam secara kaffah, tegakkan sistem Islam, liwa-roya bendera kaum Muslim, Khilafah janji Allah dan lain-lain maka ini bisa dikatakan radikal. Sampai disini paham maksudnya!

Kita kembali menyoroti paragraf pertama di atas, dikatakan salah satu penyebab perpecahan adalah karena paham radikalisme. Sebagaimana dalam pembahasan (diskusi) virtual dengan tema 'Menjaga stabilitas Keamanan Nasional di Tengah Covid-19'. Pertanyaannya adalah, apakah perpecahan disebabkan karena ide ini, penulis rasa tidak! Justru pihak merekalah (pemerintah) yang sering menciptakan perpecahan (ketidakjelasan) dalam berbicara dan mengambil kebijakan. Sebut saja mengenai istilah mudik-pulang kampung, prank ini itu, bantuan tidak tepat sasaran, disaat kita disuruh di rumahaja-para napi dibebaskan dengan dalih kesehatan (Corona), anjuran jaga jarak malah ngadain konser dan lain-lain.

Lebih lanjut radikalisme dikatakan suatu aktivitas yang berujung pada kekerasan. Definisi kekerasan dari new oxford dictionary adalah perilaku yang melibatkan kekuatan fisik dan dimaksudkan untuk menyakiti, merusakan, atau membunuh seseorang atau sesuatu. Namun jika radikalisme atau Khilafah (sistem Islam) yang di maksudkan tidak menciptakan kekecauan apakah dikatakan juga radikal? Justru, aktivitas mereka sangat positif untuk mengisi kekosongan dengan anjuran di rumahaja. Baca buku, kajian-kajian online (bahas isu sosial) diskusi problematika umat dan bagaimana solusinya dalam Islam, dan lain-lain. Namun, kita sudah termakan dengan konotasi miring 'radikalisme dan Khilafah' yang terus diteriakkan, Jadinya kita teperdaya.

Bukan main-main untuk memberantas radikalisme (Khilafah) pemerintah tidak mengeluarkan uang yang sedikit. Sebut saja pada tahun 2018 seperti yang dikutip dalam berita online "Polri meminta tambahan anggaran RP. 44 triliun untuk penanganan terorisme di seluruh Indonesia" Setyo Wasisto menjelaskan anggaran Polri tahun ini lebih dari Rp. 100 triliun makanya minta tambahan lagi" Pungkasnya (detiknews, 6/6/2018). Menyikapi fakta di atas bukanlah sesuatu yang mengherankan jikalau ide ini (radikalisme) terus di panasi tiap detik, jam dan harinya.

Usaha untuk melanggengkan ide ini pun tidak main-main pengorbanannya sangat luarbiasa. Tapi, beberapa masyarakat sudah pintar memilah mana informasi benar-setingan. Seriusnya perkara ini karena faktor ideologi, ada ketakutan tersendiri bagi para investor (pegiat isu radikalisme). Dalam artian memupuk lagi ideologi mereka Kapitalisme-Sekularisme juga Sosialis-Komunis, yang sudah layu karena beberapa faktor salah satunya karena peluang kemunculan ideologi Islam. Tahulah, kalau ideologi Islam tampil kepermukaan mengatur kehidupan, tidak akan ada lagi eksploitasi besar-besaran seperti sekarang. Semuanya akan diolah sebaik mungkin, demi kemaslahatan rakyat.

Beberapa pengamat mengatakan, pasca Corona Khilafah akan tegak dengan izin Allah Islam akan memimpin dunia. Sebagaimana penjelasan Ibnu Kaldun bangkit dan runtuhnya suatu peradaban ciri-cirinya yakni ketidakadilan, penindasan kelompok kuat ke yang lemah, adanya pemimpin yang anti kritik, ada kehancuran moralitas (korupsi dan lain-lain) dan yang terakhir adanya bencana besar atau konflik seperti wabah Corona sekarang. Semua ciri-ciri tersebut pun sudah terjadi disaat sekarang. Jika Allah berkehendak Islam akan memimpin dunia, kita tidak bisa berbuat apa-apa, yang kita bisa hanyala mempersiapkan diri untuk menjemput (menyambut) peradaban Islam tersebut.

Indonesia dengan penduduk mayoritas Islam, peluang mendakwahkan (menerima) ideologi Islam sangat besar. Dengan menjamurnya kelompok hijrah dan berlomba-lombanya orang memeluk Islam, juga ramainya diskusi-diskusi online Islam saat pandemi Corona yang bertepatan dengan bulan suci. Maka pantas saja, ada kekawatiran sendiri bagi para pegiat 'radikal' untuk membendung semangat berislam (Kaffah) di Indonesia. Dengan mendaur ulang isu sampah radikalisme, ini dianggap solusi ampuh agar ideologi mereka tetap eksis dikanca dunia yang sudah hampir tenggelam. Karena sudah hampir tenggelam, jerami (sampah) ngambang pun diambil untung tetap hidup (eksis). Wallahu a’lam.

Penulis: Ika Rini Puspita (Penulis Buku 'Negeri ½')
×
Berita Terbaru Update