Alya Amaliah (Mahasiswa Kedokteran Hewan Universitas Hasanuddin) |
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam sambutannya berpesan, salah satunya agar perguruan tinggi aktif untuk menjalin kerjasama dengan industri, termasuk kawasan industri terdekat.
Pemerintah, kata Nadiem, memiliki sejumlah peran yakni sebagai pendukung, regulator, dan katalis. Meski demikian, pemerintah tidak bisa memaksa pihak Kampus dan industri untuk saling bermitra lewat regulasi, melainkan dengan berbagai macam insentif untuk berinvestasi di bidang pendidikan, misalnya lewat penelitian (lensaindonesia.com, 04/07/2020).
"Tujuan utama dari gerkan ini agar program studi vokasi di perguruan tinggi vokasi menghasilkan lulusan dengan kualitas dan kompotensi sesuai dengan kebutuhan dunia industri dan dunia kerja. Industri dan dunia kerja, mohon bersiap menyambut kami," ujar Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi (Dirjen Diksi) Kemendikbud, Wikan Sakarinto dalam telekonferensi di Jakarta, Rabu.
Sepintas, kebijakan ini bagaikan oase di gurun pasir apatalagi tatkala melihat banyaknya pengangguran yang bergelimpangan. Tapi kita mesti melihat dengan cermat, apakah ini merupakan solusi yang solutif akan kompleksnya permasalahan di dunia pendidikan.
Jika kita lihat kembali visi pendidikan Indonesia yang tercantum dalam UUD 1945. Dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, disebutkan, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tentu berdasarkan hal ini jauh berbeda dari cita-cita bangsa yang berkeinginan membentuk peradaban. Suatu peradaban bangsa tak cukup jika hanya mempersiapkan dan memfokuskan diri sebatas menjadi pekerja di industri yang notabene berlandaskan profit tanpa memperhatikan keimanan, ketakwaan, akhlak dan aspek lain seperti yang dicita-citakan bangsa.
Tapi cita-cita itu memang ditujukan hanya sebatas angan semata. Pada kenyataannya komersalisasi dunia pendidikan semakin menunjukkan taringnya. Berbagai kebijakan baru yang dibuat, seakan membuat gerah. Dengan nama “cantik” kampus merdeka semakin melancarkan perubahan status kampus menjadi PTN-BH . sebuah status yang mengharuskan kampus mencari biaya sendiri, membuat negara berlepas tangan dalam pembiayaannya. Maka, rela maupun tak rela kampus mesti dimasuki oleh para korporasi, demi tetap jalannya kehidupan kampus. Maka, bidang pendidikan bukan lagi menjadi lembaga pencetak pemikir yang solutif akan permasalah, tapi generasi buruh yang tunduk pada industri.
Hal ini berbeda jika menjadikan islam dalam dasar kebijakan, termasuk dalam hal pendidikan. Dalam islam pendidikan merupakan hal yang mesti dipenuhi oleh negara. Meski demikian, dalam Khilafah dimungkinkan terdapat peran serta masyarakat atau pun sekolah swasta. Hanya saja keberadaannya tidak boleh mengambil alih peran negara. Daulah (negara) menjaga betul agar layanan pendidikan sampai kepada tiap individu rakyat dengan biaya yang amat murah bahkan gratis. Hal ini merupakan kewajiban syariat kepada negara. Maka tak mungkin ditemukan pihak yang akan memonopoli bidang ini.
Sistem pendidikan islam ini tegak di atas asas akidah islam berupa berupa keyakinan bahwa manusia, kehidupan dan alam semesta adalah ciptaan Allah Ta’ala. Dan bahwa apa yang ada sebelum kehidupan dunia, serta apa yang ada setelahnya, berkaitan dengan apa yang dilakukan manusia di dunia. Yakni dalam bentuk hubungan penciptaan dan pertanggungjawaban (hisab).
Maka dalam konteks sistem pendidikan, akidah ini mengarahkan visi pendidikan Islam sebagai washilah untuk melahirkan profil generasi terbaik yang paham tujuan penciptaan. Yakni sebagai hamba Allah yang berkepribadian Islam dan sebagai khalifah yang punya skill dan kecerdasan untuk pembangun peradaban cemerlang.
Visi inilah yang kemudian diturunkan dalam kurikulum pendidikan Islam di setiap tingkatannya, berikut metoda pembelajarannya. Yang dalam penerapannya di-support penuh oleh negara dengan berbagai sarana dan prasarana penunjang. Termasuk para pendidik yang punya kapasitas dan kapabilitas mumpuni.
Oleh karenanya, hari ini kita mendengar banyak imluwan di berbagai bidang, bukan hanya menjadi seorang pemikir, tetapi sembagai solusi akan permasalahn ummat. Ada Ibnu Sina yang ilmu kedokterannya masih digunakan hingga kini, Al-Khawarismi ilmuwan matematika yang telah menemukan konsep aljabar, Jabir Ibnu Hayyan ilmuwan kimia, orang pertama yang mengidentifikasi zat yang bisa melarutkan emas, dan banyak lagi ilmuwan muslim lainnya. Konsep dan aturan yang berlaku saat itu, tak hanya menghantarkan masyarakat pada kegelimangan ilmu, tapi juga menjadi manusia yang taat kepada-Nya, Sang Pemilik ilmu.
Penulis: Alya Amaliah (Mahasiswa Kedokteran Hewan Universitas Hasanuddin)