Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Tabayyun Ala Banser, Patutkah di Apresiasi?

Jumat, 28 Agustus 2020 | 14:19 WIB Last Updated 2020-08-28T06:20:37Z
Siti Muslikhah (Aktivis Dakwah Musi Banyuasin)
LorongKa.com - Video puluhan anggota Banser menggeruduk lembaga pendidikan madrasah, Yayasan Al Hamidy Al-Islamiyah di Desa Kalisat, Kecamatan Rembang pada Kamis (20/8/2020) viral di media sosial. Mereka menggeruduk untuk melakukan tabayyun atau klarifikasi, karena menduga madrasah tersebut menjadi sarang HTI dan penyebaran paham khilafah. Dalam video tersebut, Ketua GP Ansor Bangil yang juga anggota DPRD Kabupaten Pasuruan tampak membentak-bentak dan menunjuk-nunjuk ustadz Zainullah, pimpinan madrasah tersebut.

Wakil Sekjend Majelis Ulama Indonesia, Najamudin Ramli menyebut tindakan Saad Muafi dan puluhan Banser sebagai ‘tindakan polisional yang sangat disayangkan’ dan dinilai tidak mengedepankan adab kepada orang yang lebih tua. Menurutnya tidak selayaknya Saad Muafi berbicara dengan membentak-bentak seorang kiai, orang yang sudah lebih tua dari kita. Sebab ada etika dan akhlak yang diajarkan bagaimana sopan santun kepada orang tua. Kalaupun ada penyimpangan atau ada hal yang tidak disukai, tentu bukan ormas itu sendiri yang turun melakukan penegakan hukum. Seluruh organisasi tidak boleh melakukan tindakan menghakimi sendiri, karena ada polisi sebagai bagian dari keamanan dan penegakan hukum. Organisasi tidak boleh melakukan razia di dalam rumah tangga orang, karena itu ada aturan dalam KUHP (wartakotalive.com 23/8/2020).

Herannya, Menteri Agama Fachrul Razi dalam siaran persnya, Sabtu (22/8/2020) justru mengatakan bahwa dia mengapresiasi langkah tabayyun yang dilakukan Banser PC Ansor Bangil yang mengedepankan cara-cara damai dalam menyikapi gesekan di masyarakat terkait masalah keagamaan (Republika.co.id 23/8/2020).

Rektor Universitas Ibnu Chaldun Prof. Musni Umar pun menyesalkan sikap Menag Fachrul Razi ini. Sebab dia melihat proses tabayun oleh Banser dilakukan dengan cara membentak dan mengintimidasi. Menurut dia Islam tidak mengajarkan untuk membuat kekerasan, membentak, dan melakukan intimidasi kepada ulama atau kepada siapapun. Dia pun berpandangan bahwa upaya tabayyun seharusnya dilakukan dengan cara-cara yang baik (fajar.co.id 23/8/2020).

Dengan melihat fakta kejadian, Menteri Agama semestinya punya kemampuan membedakan tabayyun dan persekusi. Layakkah tabayyun itu dilakukan dengan cara membentak-bentak dan mengancam-ancam seorang kiyai yang sudah sepuh? Apakah ini disebut cara-cara damai dalam menyikapi gesekan yang terjadi dimasyarakat?

Tabayyun secara bahasa memiliki arti mencari kejelasan tentang sesuatu hingga jelas benar keadaannya. Sedangkan secara istilah adalah meneliti dan menyeleksi berita, tidak tergesa-gesa dalam memutuskan masalah baik dalam hal hukum, kebijakan, dan sebagainya hingga jelas benar permasalahannya. Tabayyun adalah akhlak mulia yang merupakan prinsip penting dalam menjaga kemurnian ajaran Islam dan keharmonisan dalam pergaulan. Dalam kehidupan sosial masyarakat, seseorang akan selamat dari salah faham atau permusuhan bahkan pertumpahan darah antar sesamanya karena ia melakukan tabayyun dengan baik.

Maka kalau tujuan Banser adalah tabayyun, harusnya dilakukan dengan mengedepankan adab (akhlak/etika). Jangan sampai membentak-bentak, apalagi sampai melakukan persekusi yakni tindakan memaksa seseorang mengakui aktivitas yang tidak terbukti di muka hukum. Rasulullah SAW bersabda: “Bukan dari (golongan) kami siapa saja (yang) tak menghormati (yang) lebih tua (diantara) kami, dan (tak) menyayangi (yang) lebih muda (diantara) kami, dan (tak) mengenali (hak) bagi orang-orang berilmu (diantara) kami” (al-Imam al-Hafizh Abu ‘Abdillah Muhammad ibn ‘Abdillah al-Hakim an-Naisaburi, al-Mustadrok ‘ala ash-Shohihayn, hal.327, Daarul-Ma’rifat).

Demikian pula, semestinya Menag menempatkan diri sebagai penengah dalam permasalahan tersebut. Terlebih, hal itu berkaitan dengan urusan keagamaan yang menjadi bidang Kementerian Agama. Menag harus meneliti apa yang menjadi sumber permasalahan yang menimbulkan persengketaan atau perselisihan dan berupaya untuk mendamaikannya. Sebab dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Maka hak yang seharusnya diterima oleh warga negara berdasarkan pasal 29 UUD 1945 tersebut adalah hak kebebasan untuk memeluk agama sesuai yang diyakininya tanpa adanya paksaan dari manapun serta hak untuk menjalankan kegiatan keagamaan dengan tenang tanpa adanya gangguan dari luar.

Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam, bukan ideologi. Materi ini juga dibahas di dalam bab 1 buku fikih Madarasah Aliyah kelas XII kurikulum 2013 yang diterbitkan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia Tahun 2016. Dalam buku ini dijelaskan bahwa Khilafah adalah bentuk pemerintahan Islam yang telah dicontohkan pada masa Nabi Muhammad SAW dan dilanjutkan oleh para khulafaurrasyidin. Khilafah berasal dari bahasa arab khalafa, yakhlifu, khilafatan yang artinya menggantikan. Menurut istilah, khilafah berarti pemerintahan yang diatur berdasarkan syariat Islam. Khilafah bersifat umum, meliputi kepemimpinan yang mengurusi bidang keagamaan dan kenegaraan sebagai pengganti Rasulullah. Khilafah disebut juga Imamah atau Imarah. Berdasarkan pendapat yang diikuti mayoritas umat Islam (mu’tabar), hukum mendirikan khilafah itu adalah fardhu kifayah.

Sebagai kewajiban dalam Islam, Khilafah tentu didasarkan pada sejumlah dalil syariah. Sebagaimana dimaklumi, jumhur ulama, khususnya ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja), menyepakati empat dalil syariah yakni Al-Qur'an, As-Sunnah, Ijmak Sahabat, dan Qiyas Syar’iyyah.

Allah SWT berfirman: "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Sungguh Aku akan menjadikan di muka bumi Khalifah…" [TQS al-Baqarah [2]: 30].

Saat menafsirkan ayat di atas, Imam al-Qurthubi menyatakan bahwa wajib atas kaum Muslim untuk mengangkat seorang imam atau khalifah. Ia lalu menegaskan, "Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat khalifah) tersebut di kalangan umat dan para imam mazhab; kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham (yang tuli terhadap syariah, red.) dan siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya." (Al-Qurthubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur’an, 1/264).

Maka sudah seharusnya ajaran Khilafah ini disebarluaskan oleh seluruh umat Islam, karena Khilafah adalah bagian dari syariat Allah SWT, sebagaimana shalat, puasa, zakat, haji dan lainnya. Oleh karena itu tidak selayaknya bagi seorang atau pun sebagian muslim menghalangi dakwah (khilafah) yang dilakukan oleh saudaranya sendiri. Wallahu a’lam bishshawwab

Penulis: Siti Muslikhah (Aktivis Dakwah Musi Banyuasin)
×
Berita Terbaru Update