Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Fenomena Poliandri di Negeri Demokrasi

Senin, 07 September 2020 | 17:31 WIB Last Updated 2020-09-07T09:31:51Z
Ema Darmawaty, Aktivis muslimah semarang.
LorongKa.com - Poligami atau seorang suami memiliki istri lebih dari satu mungkin tidak asing di telinga masyarakat Indonesia. Meski terus menjadi kontroversi, tindakan poligami sendiri masih banyak terjadi di Indonesia meski kadang tidak dijalankan sesuai syariat. Namun ternyata ada wanita yang memiliki suami lebih dari satu, atau yang disebut poliandri. Mungkin hal ini terdengar aneh, meski agama dan negara melarang, nyatanya masih ada beberapa kasus poliandri yang dilakukan khususnya di Indonesia.

Baru-baru ini Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) RI, Tjahjo Kumolo mengungkapkan bahwa sedang menjadi tren di kalangan pegawai negeri atau aparatur sipil negara (ASN) di Indonesia melakukan praktik poliandri.

Menurut Tjahjo, pihaknya mengaku telah mendapatkan sejumlah laporan mengenai adanya kasus poliandri pada sejumlah ASN. Anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus pun mengaku terkejut dan prihatin mendengar pernyataan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Tjahjo Kumolo tersebut. Guspardi dalam keterangan tertulisnya kepada Republika, Selasa (1/9) mengatakan bahwa Fenomena poliandri di kalangan ASN ini jelas akan merendahkan harkat dan martabat ASN itu sendiri. Harus dihukum berat berupa diberhentikan sebagai ASN dan kalau ada unsur pidana diproses sesuai hukum yang berlaku.

Maraknya kasus poliandri yang terjadi entah itu di kalangan ASN atau masyarakat biasa bisa di pengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya adalah:

  1. Faktor ekonomi. Dalam sistem kapitalisme yang melihat segala sesuatu diukur dari materi, maka hal ini sangat mungkin terjadi. Keinginan-keinginan dari gaya hidup hedonis akhirnya menjadikan seorang wanita mampu melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma agama dan masyarakat. Pun ketika merasa nafkah dari suami kurang maka poliandri dianggap jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
  2. Faktor jarak atau LDR. Menjalani hubungan jarak jauh atau long distance relationship bukanlah perkara mudah bagi segelintir pasangan suami istri. Terlebih jika keduanya terpisah oleh jarak yang sangat jauh. Dan Pernikahan semacam ini memang sering kali menghadapi tantangan yang besar. Bisa jadi memang istri tidak ikut suami dengan berbagai alasan, mungkin karena tempat bekerja suami itu ada di pelosok pulau, atau memang secara penghasilan belum memadai hingga tak bisa memberikan perumahan dan biaya hidup yang layak bila ikut suami, atau memang pekerjaan yang berisiko atau memang tak boleh istri atau keluarga ikut semisal jadi tentara yang bertugas di perbatasan, atau pedalaman, kerja di pengeboran minyak lepas pantai atau jadi nakhoda antar negara yang tak memungkinkan mengajak keluarga dalam bekerja. Hal ini kadang membuat istri mudah goyah apalagi jika tanpa adanya benteng iman pada dirinya.
  3. Faktor kurang harmonis. Menjaga keluarga tetap harmonis dan bahagia memang bukan perkara mudah. Karena bukan tidak mungkin pasangan mengalami ujian kesabaran dan kesetiaan dalam rumah tangga.
  4. Faktor lemahnya iman. Iman memang harus selalu di pupuk agar tumbuh kokoh di dalam setiap diri seorang muslim, karena dengan iman yang kuatlah yang mampu membentengi manusia dari perilaku buruk, akan tetapi keimanan individu saja tidak cukup, dibutuhkan juga lingkungan masyarakat yang dilingkupi suasana ketaatan karena jika tidak di dukung dengan ketaatan dari masyarakat atau lingkungan, iman seseorang gampang terpengaruh, sehingga mudah melakukan sesuatu yang melanggar aturan Allah SWT.
Beberapa faktor di atas bukan saja menjadi penyebab terjadinya poliandri, banyaknya permasalahan yang menimpa keluarga khususnya wanita saat ini di akibatkan lemahnya fungsi ketahanan keluarga karena efek dari abainya negara dalam memperhatikan kesejahteraan keluarga, meskipun sudah banyak lahir kebijakan-kebijakan serta aturan terkait masalah keluarga tapi semua berujung pada masalah baru. Ini karena solusi yang di berikan tidak menyentuh akar permasalahan itu sendiri ditambah dengan sistem kapitalis sekuler menjadikan semuanya seolah bagai lingkaran setan, masalahnya berputar di situ tanpa bisa tuntas terselesaikan.

Poliandri dalam kacamata Islam.

Poliandri adalah pernikahan seorang perempuan dengan lebih dari satu suami. Hukum poliandri adalah haram berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Dalil Al-Qur`an, adalah firman Allah SWT:

"dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki." (QS An-Nisaa [4] : 24)

Ayat di atas yang berbunyi "wal muhshanaat min al-nisaa' illa maa malakat aymaanukum" menunjukkan bahwa salah satu kategori wanita yang haram dinikahi oleh laki-laki, adalah wanita yang sudah bersuami, yang dalam ayat di atas disebut al-muhshanaat.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berkata dalam an-Nizham al-Ijtima'i fi al-Islam (Beirut : Darul Ummah, 2003) hal. 119 : "Diharamkan menikahi wanita-wanita yang bersuami. Allah menamakan mereka dengan al-muhshanaat karena mereka menjaga [ahshana] farji-farji (kemaluan) mereka dengan menikah." Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa kata muhshanaat yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah bermakna wanita merdeka (al-haraa`ir), tetapi wanita yang bersuami (dzawaatul azwaaj) (Al-Umm, Juz V/134). Imam Syafi’i menafsirkan ayat di atas lebih jauh dengan mengatakan : “Wanita-wanita yang bersuami –baik wanita merdeka atau budak— diharamkan atas selain suami-suami mereka, hingga suami-suami mereka berpisah dengan mereka karena kematian, cerai, atau fasakh nikah, kecuali as-sabaayaa (yaitu budak-budak perempuan yang dimiliki karena perang, yang suaminya tidak ikut tertawan bersamanya)… (bi-anna dzawaat al-azwaaj min al-ahraar wa al-imaa' muharramaatun 'ala ghairi azwaajihinna hatta yufaariquhunna azwajuhunna bi-mautin aw furqati thalaaqin, aw faskhi nikahin illa as-sabaayaa…) (Imam Syafi'i, Ahkamul Qur`an, Beirut : Darul Kutub al-'Ilmiyah, 1985, Juz I/184).

Jelaslah bahwa wanita yang bersuami, haram dinikahi oleh laki-laki lain. Dengan kata lain, ayat di atas merupakan dalil al-Qur'an atas haramnya poliandri.

Menyelesaikan masalah poliandri dengan islam.

Islam diturunkan oleh Allah SWT sebagai agama sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia serta sebagai solusi atas permasalahan umat. Akan tetapi ketika aturan itu di campakkan maka masalah-masalah yang hadir tentu sulit di selesaikan dengan paripurna. Begitu pun penyelesaian masalah poliandri ini tidak akan bisa selesai hanya dengan pemecatan ASN misalnya atau di berikan sanksi yang berat bagi pelaku. Perlu dikaji faktor-faktor penyebabnya. Sebagai contoh misalnya:
  1. Faktor ekonomi. Pada sistem Islam, negara menjamin setiap kepala keluarga memiliki pekerjaan dengan mempersiapkan lapangan pekerjaan seluas-luasnya. Sehingga para istri tidak perlu keluar rumah untuk menanggung beban ekonomi keluarga. Pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan,keamanan semua di jamin oleh negara.
  2. Faktor LDR. Kondisi LDR dalam pernikahan harus ditinjau dengan saksama dan hati-hati, tentu saja dengan kacamata syariat Islam. Setiap pasangan suami-istri sudah seharusnya mengikatkan diri pada hukum syara’ dalam semua hal, termasuk dalam relasi pernikahan LDR ini. Bukan karena banyak pasangan melakukan LDR, lantas dipandang biasa dan boleh. Ada pertimbangan yang harus dinilai dalam sudut pandang hukum syara’, karena bagi setiap muslim tindakan terpuji (hasan) atau tercela (qabih) adalah menurut Allah SWT., bukan semata kerelaan kita. Negara pun memperhatikan kebutuhan suami istri sebagai suatu fitrah yang ada pada setiap manusia. Sebagai contoh ketika Amirul Mukminin, Umar bin Khattab memberikan ketetapannya. Di masa itu, banyak kaum laki-laki yang pergi berperang namun ada istri yang sedih ditinggal oleh suaminya untuk berperang. Umar bin Khattab pun mengetahui hal tersebut saat Beliau menjumpai sebuah rumah dan mendengar syair seorang wanita yang sedih ditinggal suaminya berperang. Hal tersebut membuat Umar bin Khattab gundah dan bertanya kepada putrinya yang bernama Hafsoh. Beliau menanyakan berapa lama seorang wanita mampu bertahan tanpa suaminya. Lalu Hafsoh menjawab, “Sekuat-kuat wanita dia hanya bisa bertahan selama empat bulan.” Kemudian sejak saat itu Umar menyuruh pasukan yang sudah empat bulan di medan perang untuk pulang ke rumah.
  3. Faktor kurang harmonis. Dalam Islam, keluarga yang harmonis adalah keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah. Atau bisa diartikan dengan keluarga yang damai tenteram, penuh cinta kasih atau harapan, dan kasih sayang. Karena tujuan pernikahan dalam islam untuk mencapai Ridho Ilahi agar selalu berada di jalan yang lurus menuju surga-Nya. Akan tetapi di tengah kehidupan sekuler saat ini, tujuan dari sebuah pernikahan tidak lagi berorientasi kepada akhirat tapi yang dikejar adalah kebahagiaan ala kapitalisme. Standar kebahagiaan yang salah inilah yang sering menjadi alasan bagi seorang istri jatuh ke pelukan laki-laki lain sehingga menanggalkan kemuliaan dan martabat dirinya.
  4. Faktor lemahnya iman. Negara memiliki kewajiban menjaga rakyatnya terikat dengan hukum syara’. Sebagai penjagaan iman, negara memiliki kewenangan membuat aturan hingga menetapkan sanksi jika ada rakyat yang melanggar hukum syara’. Karena menjalankan kewajiban syara’ adalah bukti keimanan seseorang.
Rasulullah saw telah mencontohkan bagaimana mengatur sebuah masyarakat dan negara dalam sistem pemerintahan Islam, yaitu Khilafah di mana segala aturan dan hukum-hukumnya berlandaskan Alquran dan Assunnah dilanjutkan oleh Khulafaur-Rasyidin serta para khalifah sesudahnya. Hingga pada masa itu, seluruh masyarakat tanpa kecuali bisa merasakan kesejahteraan hidup yang tidak ada tandingannya. Tapi sayang di sayang ketika metode Rasulullah ini di tawarkan justru mendapat pertentangan dari rezim dengan dalih radikalisme,intoleran dan tuduhan-tuduhan keji lainnya. Tidak sampai di situ, bahkan para pengembang dakwahnya pun dikriminalisasi. Sungguh ironis, justru ketika problem perempuan dan anak makin massif terjadi sistem demokrasi yang di anggap sebagai sistem terbaik tidak mampu mengatasinya. Wallaahu a'lam bi ash-shawwab.

Penulis: Ema Darmawaty, Aktivis muslimah semarang.
×
Berita Terbaru Update