Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Menakar Keadilan Gedung Kejagung Yang Terbakar

Selasa, 01 September 2020 | 09:47 WIB Last Updated 2021-06-05T12:42:33Z
Gigih Lucky Lacanda, S.H
LorongKa.com - Kebakaran yang terjadi di kantor Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Sabtu (22/8/2020) malam, menuai perhatian publik. Pengamat politik Rocky Gerung misalnya, dalam tanggapannya pada acara Indonesia Lawyer Club (ILC) selasa (25/8/2020) mengatakan "Sebenarnya Kejaksaan Agung tidak terbakar, yang terbakar adalah keadilan".

Selain itu, banyak yang melihat kejanggalan dalam peristiwa itu. Anggota Komisi III DPR Aboe Bakar Alhabsyi mengomentari terkait spekulasi penyebab kebakaran gedung Jaksa Agung pada Sabtu (22/8) malam. Aboe meminta, Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk melakukan investigasi mendalam untuk mencari tahu penyebab kebakaran gedung , juga bisa menjelaskan kepada publik terkait peristiwa tersebut. Mengingat kejaksaan saat ini tengah menangani perkara yang mendapatkan attensi publik. Seperti kasus Djoko Tjandra dan Jiwasraya.

Sementara itu,  Indonesian Corruption Watch (ICW) meminta KPK ikut turun tangan mencari tahu penyebab kebakaran gedung utama Kejaksaan Agung (Kejagung). ICW curiga ada oknum yang sengaja menghilangkan barang bukti terkait kasus yang sedang ditangani Kejagung saat ini, salah satunya kasus jaksa Pinangki Sirna Malasari.

"ICW mendesak agar KPK turut menyelidiki penyebab terbakarnya gedung Kejaksaan Agung. Setidaknya hal ini untuk membuktikan, apakah kejadian tersebut murni karena kelalaian atau memang direncanakan oleh oknum tertentu," ujar Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana kepada wartawan detiknews, Minggu (23/8/2020).

"Sebab, saat ini Kejaksaan Agung sedang menangani banyak perkara besar, salah satunya dugaan tindak pidana suap yang dilakukan oleh Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Bukan tidak mungkin ada pihak-pihak yang merencanakan untuk menghilangkan barang bukti yang tersimpan di gedung tersebut," sambungnya.

Mantan Ketua MPR Amien Rais menduga gedung utama Kejaksaan Agung (Kejagung) sengaja dibakar oleh pihak yang diyakininya sebagai 'orang dalam'. Amien mengungkit kebakaran di gedung Bank Indonesia (BI) yang diduga berkaitan dengan skandal BLBI. (detiknews, 26/08/2020)

Keresahan publik atas peristiwa kebakaran ini adalah "Mampukah negara mewujudkan keadilan dengan memberantas kasus korupsi dari akarnya?"

Publik memang tidak bisa membantah bahwa korupsi menjadi- jadi dalam sistem Demokrasi. Ini bukan tudingan kosong, karena selain sanksi pidana yang terbilang ringan, korupsi demokrasi diakibatkan oleh demokrasi yang berbiaya tinggi. Karena itu membutuhkan dukungan politik dan modal. Dana ini didapatkan dari sumbangan partai (cukong politik) ataupun para kapitalis (cukong modal). Namun tentu tidak ada yang gratis. Jadilah kebijakan penguasa yang terpilih sangat dipengaruhi oleh cukong politik dan cukong modal itu.

Demikianlah, korupsi tumbuh subur dalam sistem Demokrasi. Berbeda dengan sistem Islam
Dalam pandangan Islam, kekuasaan ada di tangan rakyat dan kedaulatan ada pada Allah (Al quran dan Al hadist). Artinya, kepala negara (kholifah) yang diangkat berdasarkan ridha dan pilihan rakyat, adalah mereka yang mendapat kepercayaan dari rakyat untuk menjalankan roda pemerintahan sesuai Al quran dan Hadist.

Dalam Islam, pengangkatan kepala daerah dan pemilihan anggota Majelis Ummah/ Majelis Wilayah itu yang berkualitas, amanah dan tentu tidak berbiaya tinggi. Dari sinilah, maka secara mayoritas pejabat negara tidak melakukan kecurangan. Baik korupsi, suap ataupun yang lain.

Disisi yang lain, ada perangkat hukum yang disiapkan untuk mengatasi kecurangan yang dilakukan pejabat atau pegawai negara. Sebab dalam pemerintahan Islam, terdapat larangan keras menerima harta ghulul, yaitu : harta yang diperoleh oleh para wali, amil kepala yang diperoleh secara tidak syar’i. Baik diperoleh dari harta milik negara maupun harta milik masyarakat.

Adapun aturan yang diterapkan dalam sistem Islam untuk mencegah korupsi, kecurangan atau suap adalah:

1. Ketaqwaan individu

Dalam pengangkatan pejabat/ pegawai negara, khilafah menetapkan taqwa sebagai ketentuan selain syarat profesionalitas. Karenanya,mereka memiliki self control yang kuat. Seorang muslim akan menganggap bahwa jabatan adalah amanah yang harus ditunaikan dengan benar karena akan dimintai pertanggungjawaban di dunia dan akhirat.

2. Badan pengawasan/ pemeriksa keuangan.

Untuk mengetahui bahwa pejabat dalam instansi tersebut telah melakukan kecurangan atau tidak, maka ada pengawasan yang ketat dari badan pengawasan/ pemeriksa keuangan. Pada masa Kholifah Umar bin Khattab mengangkat pengawas yaitu Muhammmad bin Maslamah, yang bertugas mengawasi kekayaan para pejabat.

Karena itu, calon pejabat atau pegawai negara akan dihitung harta kekayaannya sebelum menjabat dan setelah menjabat pun juga dihitung dan dicatat harta kekayaannya dan penambahannya. Jika ada penambahan yang meragukan, maka diverifikasi apakah penambahan hartanya syar’i atau tidak. Jika terbukti dia melakukan kecurangan atau korupsi, maka harta akan disita, dimasukkan kas negara. Sedangkan pejabat atau pegawai tersebut akan diproses hukum.

3. Gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
Khilafah memberikan gaji yang cukup kepada pejabat atau pegawainya. Gaji mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan asasiyah (mendasar) dan kamaliyahnya (pelengkap). Disamping itu, biaya hidup didalam Khilafah Islam itu murah, karena politik ekonomi negara menjamin terpenuhinya kebutuhan seluruh rakyat.

Kebutuhan kolektif akan digratiskan oleh pemerintah seperti pendidikan, kesehatan, jaminan keamanan, jalan, dsb. Kebutuhan sandang, pangan dan papan bisa di peroleh dengan harga yang murah.

4. Diberlakukan seperangkat hukum pidana yang keras

Hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku dan pencegah bagi calon pelaku (zawajir). Sistem sanksi yang diberlakukan bagi koruptor adalah ta’zir. Sanksi juga bertindak sebagai penebus dosa (jawabir), sehingga mendorong pelakunya untuk bertobat dan menyerahkan diri.

Inilah cara yang dilakukan Islam untuk membuat jera pelaku korupsi, suap ataupun kecurangan dan mencegah yang lain berbuat.

Penulis : Gigih Lucky Lacanda, S.H
×
Berita Terbaru Update