Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP) |
Bicara tentang sejarah, tentunya yang urgen adalah memposisikan sejarah dengan benar. Sejarah bukanlah sebagai sumber hukum dan ilmu pengetahuan. Sejarah itu merupakan lintasan peristiwa yang telah terjadi di masa lampau. Artinya gambaran dari penerapan hukum dan penggalian ilmu pengetahuan bisa diperoleh dari peristiwa sejarah. Jadi kelurusan dan kebengkokan manusia akan ditampilkan dalam sebuah fragmen sejarah.
Betul penafsiran sejarah itu dipengaruhi oleh pihak yang menjadi penuturnya. Pola berpikir dan kepribadian dari pihak penutur mempengaruhi persepsi terhadap sejarah. Sementara peristiwa sejarah itu sebuah realitas. Realitas sejarah sangat terbuka untuk diarahkan pada suatu bentuk maklumat tertentu pada audiensnya.
Sebagai contoh penyikapan terhadap aksi revolusioner Kemal Attarturk di Turki. Kemal Attarturk yang dinobatkan sebagai presiden pertama Turki. Hal ini setelah Kemal Pasha berhasil menghapuskan kekuasaan Ottoman. Bagi sementara pihak yang mengunggulkan demokrasi, tentunya Kemal Pasha ini dipandang sebagai Bapak Moderen Turki. Turki telah memasuki masa penghormatan besar akan HAM (Hak Asasi Manusia). Sebuah negara Turki yang sekuler, menjadikan nilai kebenaran bersama sebagai jaminan hidup bermasyarakat yang rukun. Bahkan sejarah Ottoman yang notabenenya Kekhilafahan Islam diframing layaknya the dark age.
Tentunya bila membuka lembaran sejarah Turki di masa Kemal Pasha misalnya penggantian lafadz adzan dengan bahasa Turki, secara obyektif harus diakui sebagai sesuatu yang kelewatan. Termasuk menjadikan Masjid Sultan Mehmed (Hagia Shofia) sebagai museum adalah hal yang mencoreng sejarah penerapan sekulerisme di Turki. Oleh karenanya saat Erdogan membuka Masjid Hagia Sofia disambut suka cita kaum muslimin di Turki, bahkan dunia Islam pun bergegap gempita. Mestinya memang peristiwa sejarah ditampilkan apa adanya sehingga penilaian tidak menjadi kontraproduktif. Bukankah bangsa Turki itu mempunyai kisah sejarah yang gemilang? Dengannya bangsa Turki akan bangga dan berhak untuk mengatur hidupnya sendiri tidak di bawah kendali asing sehingga untuk kedua kalinya mereka bisa merajut kegemilangannya kembali.
Demikianlah setiap bangsa dan umat memiliki sejarahnya sendiri - sendiri. Dari peristiwa sejarah akan bisa direnda ulang kebesaran nenek moyang mereka. Penampilan sejarah yang sepotong hanya akan menimbulkan missing link. Apalagi kalau dibumbui narasi yang bersifat propagandis pada kubu politik tertentu. Kemerdekaan Indonesia yang hanya ditampilkan pada momen sidang BPUPKI, PPKI hingga proklamasi 17 Agustus 1945, lantas diberikan fragmen sejarah ancaman lepasnya Indonesia timur bila 7 kata dalam ayat kesatu pancasila tidak dihapus, hanya akan memberikan kesan negatif dan apriorinya bangsa terhadap Islam. Sementara itu pada dokumen Pembukaan UUD 1945 di aline 2 disebutkan bahwa kemerdekaan Indonesia itu berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa, akan menimbulkan tanda tanya besar, apakah Islam itu berpotensi memecah belah bangsa?
Hal tersebut tidak akan terjadi bila bangsa Indonesia yang notabenenya mayoritasnya muslim ini bisa mengakses sejarah perjuangannya secara utuh hingga masa mempertahankan kemerdekaan. Akan timbul kebanggaan sebagai bangsa yang besar. Lebih dari itu adalah bangsa besar yang dikaruniai dengan nikmat Islam, dengannya bangsa Indonesia bangkit melawan penjajahan. Pekik takbir gelora jihad menggentarkan penjajah. Bukankah peristiwa 10 Nopember 1945 dijiwai oleh Resolusi Jihad KH. Hasyim Asyari? Mengingati ini semua, tentunya bangsa Indonesia akan optimis dalam membangun kemandiriannya.
Jika sejarah dipandang sebelah mata, sebagai mapel menjemukan tentu yang terjadi generasi muda tidak lagi tertarik pada sejarahnya. Apalagi kalau sampai dihapus. Akibat yang fatal, generasi bangsa akan lupa sejarahnya. Mereka akan mudah dibuat bangga dengan sejarah bangsa lain. Bila demikian adanya, artinya betul - betul sudah hilang jati diri bangsa. Dan hal demikian lebih mencerminkan keterjajahan.
Sejarah itu ibarat spion. Dengan spion itu, bisa dilihat kejadian yang ada di masa lampau. Hal yang baik dan lurus bisa diambil guna menjadi semangat baru dalam membangun kehidupan bangsa yang lebih baik. Tentu saja mayoritasnya Islam di Indonesia tidak ujug - ujug akan tetapi melalui serangkaian hubungan damai dalam mengedukasi bangsa dengan kelurusan iman dan Islam. Hingga bangkitlah bangsa Indonesia untuk melawan penindasan para penjajah Portugis,Belanda, Inggris dan Jepang. Sedangkan jejak penjajah hingga saat ini hanyalah meninggalkan kemiskinan, keterpurukan dan penghinaan bangsa lain atas bangsa yang mayoritasnya muslim ini.
Harapannya dengan menampilkan sejarah secara utuh, generasi bangsa bisa menggali benang merah, inspirasi bagi kejayaan bangsanya di masa yang akan datang.
Penulis: Ainul Mizan (Peneliti LANSKAP)