Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

The Power of Mind; Seni Terbebas Dari Segala Keterbatasan

Minggu, 17 Januari 2021 | 09:01 WIB Last Updated 2021-01-17T01:01:58Z


LorongKa.com - 
Aspek pikiran (non material) dianggap menjadi bagian yang terpisah dan independen dari fisik (material) pada abad pertengahan, ketika eropa berada pada masa Renaissance. Para filsuf berusaha untuk membawa masyarakat keluar dari kungkungan dominasi monarki eropa, salah satunya adalah filsuf rene Descartes (1596-1650) yang karyanya banyak digunakan dalam dunia medis klasik tentang dualisme antara pikiran dengan tubuh. Rene Descartes merupakan salah satu pemikir paling penting dan berpengaruh dalam sejarah barat modern yang berdiri diatas landasan metode ilmiah.


Konsekuensi atas filsafat pemisahan antara aspek pikiran (ruh, jiwa) dan fisik (tubuh) ini, membawa pengaruh yang cukup signifikan dalam ilmu medis konvensional dimana memandang bahwa sebab muncul dan sembuhnya penyakit pada tubuh tidak ada hubungan sama sekali dengan aspek non material. Sehingga dunia kesehatan hanya dikaitkan dengan serangkaian pengobatan yang bersifat recovery fisik manusia, tanpa ada kaitan dengan aspek pikiran. Akan tetapi, pada abad modern sekarang pemikiran rene Descartes ini mulai ditentang oleh para peneliti termasuk neurosaintis dimana dalam banyak eksperimen mereka menemukan bahwa aspek pikiran erat kaitannya dengan aspek fisik. Mereka menganggap bahwa susunan jaringan syaraf (neuron) otak berkaitan dengan kondisi pemikiran tertentu. Sebagaimana yang dijelaskan oleh saintis Jo marchant dalam bukunya berjudul “CURE” yang mematahkan argumentasi filsafat kedokteran klasik dengan berbagai penemuan modern yang kontradiktif.


Plasebo


Menurut Jo Marchant bahwa kekuatan pikiran memiliki peran yang besar dalam membantu proses pencegahan dan pengobatan suatu penyakit. Hal ini diungkap dalam studi penelitian yang dilakukan oleh pada saintis menguak efektifitas placebo dalam membantu menyembuhkan penyakit tertentu. Placebo adalah jenis obat kosong yang tidak mengandung zat aktif dan tidak berpengaruh apa-apa terhadap kesehatan yang bentukannya bisa berupa pil, suntikan, tidakan medis invasive palsu dan sebagainya. Bahkan placebo ini juga bisa berupa penanaman sugesti yang kuat. 


Pada akhir tahun 1990-an, seorang dokter spesialis pediatric, Ardian Sandler, melakukan riset terhadap hormon sekretin yang saat itu dipercaya sebagai obat untuk autisme. Peserta dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok penerima suntikan hormon sekretin dan kelompok kontrol yang berisi plasebo (air garam, saline). Didapati hasil yang cukup mencengangkan dimana tidak ada perbedaan yang signifikan diantara kedua kelompok tersebut, bahkan riset menunjukan justru keduanya menunjukan peningkatan signifikan terhadap perbaikan gejala autisme. Hasil riset ini sempat dipublikasikan di New England of Medicine pada Desember 1999. Oleh karena itu, rekayasa aspek pemikiran (studi plasebo) mampu untuk membantu merekayasa kondisi kesehatan fisik seseorang menjadi lebih baik. Meskipun begitu, konsep placebo ini juga masih menjadi perdebatan dalam kalangan medis sendiri karena plasebo ini hanya berkaitan pada kasus-kasus penyakit yang berhubungan dengan hormonal saja dimana pengaturan itu berada dalam jaringan syaraf otak. Dalam kondisi dibawah sugesti atau pemikiran kuat akan kesembuhan menjadikan otak mengeluarkan hormone endorphin dan serotonin yang berguna dalam perbaikan gejala yang muncul dari penyakit seperti nyeri, depresi, kecemasan dan sebagainya. Selebihnya keberadaan penyakit atau kondisi tubuh yang bermasalah masih seperti sedia kala, hanya bisa memanipulasi gejala yang buruk tidak terjadi. Namun, setidaknya pikiran atau sugesti berperan nyata dalam menentukan kesehatan seseorang.  Banyak sakit ataupun penyakit yang berawal dari pikiran yang buruk seperti radang lambung dan pencernaan, sakit kepala, diare dan sebagainya. Inilah yang disebut dengan the power of mind, kekuatan pikiran.


Central governor Model


Masih dalam buku “cure” karya Jo marchant, bahwa seorang ilmuwan dari Afrika Selatan, Noakes, melakukan eksperimen pada pembalab sepeda untuk mengungkap misteri penyebab manusia cepat merasa kelelahan dan akhirnya menyerah jika bukan karena kadar oksigen dalam darah yang rendah. Noakes meminta pada relawan untuk mengayuh sepeda mereka sampai batas dimana mereka tidak mampu lagi mengayuh. Tubuh mereka dipasangi peralatan elektronik untuk memonitor kodisi fisik mereka. Ketika mereka merasa benar-benar tidak kuat, maka mereka berhenti. Ternyata didadapati bahwa mereka berhenti bukan karena kadar oksigen dalam darah yang rendah ataupun karena kehabisan energi. Hal ini karena ketika kondisi fisik mereka diukur, ternyata mereka bahkan belum menggunakan 50% dari keseluruhan energi yang tersedia. Setelah diteliti didapatkan hasil bahwa ternyata penyebabnya adalah bagian otak, central governor, yang mengirimkan sinyal kepada tubuh untuk menghentikan aktivitas mengayuh sebagai mekanisme perlindungan diri agar tubuh tidak cidera, serta mencadangkan cukup energi untuk bertahan hidup.


Central governor ini menjadi alat proteksi tubuh manusia ketika stressor berupa kelelahan fisik maupun emosi sudah mencapai ambang batas dimana tubuh perlu untuk merestart ulang agar tubuh diistirakatkan dengan menghentikan aktivitas meskipun realitasnya energi itu masih banyak. Oleh karena itu, para ilmuwan menyarankan agar tidak terpengaruh dengan sistem kerja otak, central governor, adalah dengan cara teknik self talk dan visualisasi. Berbagai studi telah menunjukan bahwa kemampuan atlet dapat mengalami kemajuan 20% dalam menahan kelelahan dan rasa ingin menyerah melalui self talk (berbicara pada diri sendiri) yang positif. Seperti Sean Kelly, pembalap sepeda, ketika merasa lelah dan ingin menyerah maka ia akan meyakinkan diri sendiri bahwa pada pesepeda yang lain juga mengalami penderitaan yang serupa. Sedangkan pesepeda lain dari Australia, Felicity Wardlaw, mengaku membayangkan dirinya sebagai seekor harimau kumbang. Ia akan melihat diri sendiri dari sudut pandang seekor harimau kumbang yang cepat, rileks, halus, kuat dan cekatan. Namun perlu diperhatikan bahwa visualisasi inipun harus realitis sehingga ketika kita gagal maka kita tidak akan down dan kecewa. Inilah kekuatan pikiran dalam memaksa fisik untuk bisa mengeluarkan kekuatan terbesarnya, terbebas dari keterbatasan diri menuju manusia yang terbaik.


Beraktivitaslah semampunya


Sebagai seorang muslim tentu kita sering mendengar bahkan hafal dengan kalamullah, 


“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu. Dan barang-siapa dijaga dirinya dari kekikiran, mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS At-Taghabun:16)


Dalam ayat diatas kita dapati bahwa Allah SWT menuntut  seorang muslim untuk bertakwa kepadaNya sesuai dengan kadar kesanggupan, maksudnya adalah dengan sekuat tenaga yang masih mampu kita persembahkan. Sebagaimana sebuah kisah dari salah seorang syaikh, Abdullah Al Azzam, ketika ditanya oleh muridnya tentang makna “semampumu”. Maka syaikh tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut, akan tetapi justru mengajak para muridnya untuk berlari di lapangan semampu mereka dengan titik awal yang sama. Ketika para murid sudah kelelahan dan berhenti, maka syaikh terus berlari dan berlari meski wajah sudah kelihatan pucat dan letih. Sang Syaikh tetap berlari hingga jatuh pingsan. Para murid pun langsung berlari dan membangunkan syaikh Abdullah hingga terbangun dan mengatakan, “inilah yang disebut dengan semampu kita (mastatha’tum). Berusaha dengan semaksimal mungkin sampai Allah sendiri yang menghentikannya”.


Banyak dari kita, muslim, yang dewasa ini merasa sudah berupaya maksimal, namun masih punya pilihan untuk terus atau berhenti menyerah. Dikatakan semampu kita jika kita sudah tidak memiliki pilihan akan hal itu sehingga Allah sendiri yang menghentikannya. Seperti sejarah para tentara kaum muslimin dibawah komanda sultan Muhammad Al Fatih berhasil menakhlukkan konstantinopel dengan melayarkan kapal-kapal diatas lautan pegunungan hanya dalam waktu semalam saja. Sungguh sebuah kisah kehidupan para pejuang islam tanpa kenal lelah hingga titik darah penghabisan, mastatha’tum.


Apalagi jika kemenangan serta kejayaan islam di masa mendatang sudah menjadi janji agung dari Allah SWT, maka harusnya harapan itu mampu menjadi mengendali atas fisik kita untuk memaksa raga ini bisa mewujudkannya dengan sepenuh hati dan kerja keras hingga titik nadir takdir berkata apa. Mencoba untuk keluar dari keterbatasan yang selama ini menjasad dalam otak dan pikiran. Semua itu harus kita rubah dan munculkan pada diri bahwa kita mampu, kita adalah para pejuangnya yang layak mendapatkan surgaNya. Wallohua’lam


Penulis: Ninik rahayu (Aktivis muslimah Malang Raya)

×
Berita Terbaru Update