Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Pikiran Hitam Perempuan

Selasa, 09 Maret 2021 | 15:25 WIB Last Updated 2021-03-09T07:44:18Z

Elma Wahyuni, Mahasiswa Universitas Negeri Makassar

LorongKa.com - 
Keberadaan perempuan dalam masyarakat dulu hingga saat ini perempuan selalu berada pada ruang sosial statis, atau selalu berada pada ruang yang senantiasa dibatasi. Apalagi budaya patriarki yang melekat dan berakar dalam masyarakat. 


Seringkali menempatkan posisi perempuan sebagai pihak yang harus dikalahkan, pihak yang selalu dinomor duakan, karena perempuan dianggap sebagai makhluk inverior sedangkan laki-laki selalu dianggap sebagai mahluk yang superior, dan laki-laki tidak pernah dibatasi ruang geraknya. Hal ini bisa kita temukan dari keberadaan perempuan yang biasa pulang malam selalu mendapat label bahwasanya, perempuan yang sering pulang malam adalah perempuan yang nakal, akan tetapi ketika laki - laki yang keluar malam kok tidak distigmatusasi sebagai orang yang nakal, terlalu bias dalam hal beginian.


Di dalam kehidupan masyarakat, ketika perempuan sudah mempunyai kebiasaan pulang malam berarti perempuan tersebut sudah dipandang buruk, karena katanya perempuan itu harusnya kebanyakan dirumah saja! Emangnya dia ngapain saja seharian, kenapa harus pulang malam terus. Tanpa mereka bertanya bahwa apa sebab yang membuat si perempuan ini  kebiasaan pulang malam? Karena yang tertanam dalam pikiran masyarakat bahwasanya Perempuan pulang malam pasti habis keluyuran sana-sini, akan tetapi mungkin saja si perempuan ini pulang malam dikarenakan sibuk akan organisasi atau sibuk akan tugas tugas di kampus sehingga mengakibatkan si perempuan harus pulang malam.


Jelas, bahwa kondisi masyarakat seperti ini membawa dampak buruk terhadap eksistensi perempuan karena terkadang perkataan atau pelabelan itu yang membuat perempuan merasa dibebani, itu membuat seolah dirinya dipaksa untuk tetap berada pada ruang sosial statis.


Kemudian pertanyaan yang paling tepat diajukan di sini, di mana ruang kebebasan perempuan terhadap pengaruh global dengan hak mereka untuk mewujudkan kesetaraan yang sama seperti laki - laki? Apakah ruang sosial tersebut hanya menempatkan laki-laki sebagai pihak yang diunggulkan daripada perempuan? Di sini semakin mempertegas bahwa ruang perempuan dalam interaksi sosial selalu dipahami dengan logika yang bersumbu pada budaya patriarki dengan menempatkan perempuan sebagai pihak yang dianggap sebagai masyarakat kelas dua. 


Kendatipun demikian, ini semakin memperjelas bahwa klaim budaya patriarki semakin mendapatkan ruang bebas dan menyasar kelompok perempuan kapan saja di tengah situasi dan kondisi yang seharusnya perempuan mendapatkan kebebasan dalam ruang global yang dinamis.


Merujuk pada pemikiran kritis Bourdieu, sebetulnya pola interaksi dan perilaku masyarakat terhadap perempuan dalam kasus ini merupakan bentuk kekerasan simbolik. Kekerasan semacam ini sebetulnya jauh lebih berbahaya dan berimplikasi pada rusaknya citra manusia sebagai individu yang sebetulnya harus diperlakukan sama dalam ruang sosial.


Akan tetapi, dalam banyak bentuk, ketika perempuan memasuki ruang sosial, sebetulnya di sana mereka sulit mendapatkan pengakuan sebagai individu yang bebas bin merdeka, melainkan mendapatkan stigma masyarakat yang berlebihan kejam. Persepsi ini dibentuk karena logika masyarakat kita terhadap perempuan pulang malam sebagai sebuah kesalahan yang fatal yang dilakukan oleh perempuan. Kacamata masyarakat seperti ini jelas tidak bisa disalahkan, namun berbahaya bagi kelompok perempuan.


Tidak hanya sampai di situ, yang lebih eksentrik justru ketika persepsi masyarakat terhadap pulang malam hanya tepat dan dibolehkan bagi pihak laki-laki. Memangnya ada apa dengan Perempuan? 


Jadi, dari sini saya dapat mengatakan bahwa porsi mendapatkan kebebasan sebagai individu sama sekali tidak terjawab bagi perempuan, karena kondisi masyarakat yang berlindung dan berkelindan dengan budaya patriarki sama sekali tidak memberikan ruang kebebasan bagi perempuan. Melekatnya masyarakat dengan budaya semacam ini membawa dampak buruk terhadap eksistensi perempuan sebagai individu yang idealnya membutuhkan pengakuan.


Dalam kasus di atas, perempuan membutuhkan perlindungan serta pengakuan dari masyarakat sebagai pihak yang memberikan kepastian. Para perempuan berharap seperti itu, justru masyarakat selalu menjadikan budaya patriarki sebagai acuan yang membatasi ruang perempuan. Masyarakat seolah menjadikan budaya patriarki sebagai sebuah pembenaran untuk melindungi perempuan sebagai ‘makhluk yang lemah’. Namun yang ada malah sebaliknya, perempuan dalam kondisi apapun selalu dibatasi dengan logika patriarki.


Pada kondisi yang ini, perempuan mudah mengalami kekerasan simbolik akibat logika masyarakat yang selalu berkutat pada budaya patriarki. Untuk itu dalam hal apapun, budaya patriarki dalam masyarakat tidak memberikan ruang yang bebas bagi perempuan karena berada di bawah kehendak diri (egoisme) pihak laki-laki.


Namun, jika tidak ada dukungan berbagai pihak, eksistensi perempuan makin tereliminasi dari ruang di mana mereka seharusnya mendapatkan pengakuan sebagai individu yang merdeka. Dorongan dan dukungan berbagai pihak dalam masyarakat menjadi jalan utama yang dapat membendung beragam perilaku yang dapat membatasi eksistensi mereka.


Jadi saya sebagai perempuan berharap, bahwasanya yang harus di rubah dalam masyarakat adalah menset berpikir masyarakat. Manset berfikir yang menganggap bahwa  manusia ada dua jenis yaitu laki-laki dan perempuan yang membedakan hanyalah persoalan biologis. Jadi menset yang perlu di tanamkan adalah bahwa kita sama sama manusia yg memilki kapasitas kecendrungan berpengetahuan, dengan adanya pengetahuan maka  bisa membawa manusia (laki laki dan perempuan) pada kehendak yang dia inginkan.


"Sekali lagi untuk para perempuan jangan pernah merasa lemah jangan pernah merasa dinomorduakan karena pada dasarnya kita (laki - laki dan perempuan) itu setara"


Penulis: Elma Wahyuni, Mahasiswa Universitas Negeri Makassar.

×
Berita Terbaru Update