Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Telisik Ambiguitas Perempuan Sebagai Komoditas

Rabu, 29 September 2021 | 15:39 WIB Last Updated 2021-09-29T07:39:53Z
Penulis

OPINI, Lorongka.com- Seperti malam yang gelap tanpa bintang, hidup hari ini kian membingungkan. Ya, mengarungi hidup hari-hari ini seperti berlayar dini hari di tengah samudera, tanpa petunjuk arah, tanpa pemandu, tanpa mercusur di garis pantai, bahkan juga tanpa semilir angin. 

Ini bukan semata soal perspektif hidup yang bergeser dengan cara yang kurang pas, "katakanlah" dari zaman tradisional menuju era modern tapi lebih dari itu ini adalah soal tata nilai hidup yang benar-benar kacau dan membingunkang.

Menjadi modern itu sendiri bukan masalah sebab peradaban manusia akan terus melaju tanpa ada yang bisa menghentikannya.

Kita tdak bisa lagi hidup hanya dengan kayu dan batu. Tetapi menjadi modern dengan cara yang salah itulah masalahnya. Meninggalakan zaman batu ke zaman baru dengan cara yang kotor itulah sumber kebingungan  itu.
 
Di zaman sekarang hampir tak bisa dibedakan keburukan dan kebaikan atau yang mana benar dan yang mana salah sebab sekarang keduanya bisa direkayasa, yang salah bisa dibenarkan begitu pula sebaliknya. Kebenaran di zaman sekarang semakin kian membingungkan sebab kebenaran sekarang sudah tidak bisa lagi distandardisasikan hanya pada aspek pengetahuan atau bahkan agama sekalipun.

Ini semua dihasilkan oleh kekacauan pandangan manusia tentang pandangan baik atau buruk sebuah perilaku asusila, nilai, dan juga penghargaan (Norma sosial).

Sebuah tindakan asusila bisa menjadi biasa, karena manusia menganggap itu semua biasa dan sebuah kenistaan bisa mendapat penghargaan lantaran manusia-manusia memang berpikiran nista. 

Parahnya lagi apa yang buruk bisa dipoles sedemikian rupa menjadi terlihat indah. Maka pornografi misalnya, menjadi sebuah kata yang tiba-tiba sangat sulit dicari definisinya dalam konteks hukum dan moral karena telah dianggap sebagai bagian dari kebebasan berekspresi dan telah diubah menjadi makna yang lebih 'maju' (keindahan), dan berdasar dari kebebasan berekspresi.

Inilah sehingga banyak masyarakat umum salah menafsirkan makna dari sebuah kata kebebasan khususnya bagi perempuan sehingga tercipta kebebasan yang saya rasa kebablasan.

Bahkan seorang Mahasiswa Redemptus Deverento Pereto dalam sebuah artikelnya mengkritik habis-habisan tentang kebebasan yang semakin kebablasan pada hari ini dengan mengatakan "Kebebasan yang makin tidak terkontrol akibat ketidakmampuan masyarakat memahami apa arti dari kebebasan mempengaruhi perempuan dalam memanfaatkan dan dimanfaatkan bagian-bagian paling berharga untuk iklan dan pornografi dalam media yang kita lihat hari ini. Perempuan bukan lagi menjadi bagian yang setara dengan laki-laki tapi masih menjadi bagian yang terus dieksploitasi untuk benefit pihat tertentu".

Lanjut perkataan Redemptus Deverento Pereto adanya kontes kecantikan adalah salah satu bentuk ekspolitasi tubuh perempuan.

Menurut Naomi Wolf hadirnya kontes kecantikan ini tidak terlepas dari kebohongan vital dalam “ideologi kecantikan” yakni kecantikan dapat diperoleh oleh setiap perempuan melalui hiburan dan kerja keras.

Melalui kontes kecantikan ini sebenarnya tubuh perempuan dijadikan komiditi yang diperjualbelikan seperti “benda”. Maka saya pikir usaha R.A. Kartini memperjuangkan emansipasi sebagai perjuangan hak perempuan agar bebas dari segala bentuk diskriminasi dan eksploitasi itu terbilang cenderung masih jauh dari harapan. 

Belum lagi ketika kita masuk dalam dunia pekerjaan maka perempuan akan diperhadapakan pada yang disebut  PBQ (A Professional Beauty Qualification/ Kualifikasi Kecantikan Professional), perusahaan-perusahaan seolah-olah selalu mengambil PBQ ini sebagai standarisasi bagi perempuan yang ingin bekerja di sebuah perusahaan.

Maka tidak heran jika hampir semua perusahaan selalu mencari dan mengutamakan para perempuan yang berpenampilan menarik, hal ini bukan tanpa sebab karena para perusahaan ingin memanfaatkan tubuh perempuan sebagai modal utama dalam hal pemasaran ataupun penjualan produk dan mirisnya seolah perempuan menikmati perannya tanpa memikirkan bahwa ia telah dijadikan boneka oleh para perusahaan -perusahaan kapitalis.

Maka mengherankan memang jika melihat kemajuan teknologi yang semakin pesat yang seharusnya memudahkan masyarakat dalam menggali pengetahuan sehingga tercipta kesadaran moral khususnya pada perempuan justru yang tercipta adalah kesadaran yang saya kira ngeyel, karena mereka menganggap dengan  kemajuan teknologi sekarang memudahkan mereka untuk berinteraksi dengan lawan jenis dan menarik perhatiannya dengan menampilkan tubuhnya yang seksi agar bisa di bilang cantik, dan kalau menurut saya kecantikan dari seorang perempuan itu terletak pada isi kepala bukan pada fisik indah yang mereka agung-agungkan, yang tanpa mereka sadari bahwa ia telah membiarkan dirinya ditelanjangi oleh para mata lelaki walaupun hanya di sosial media.

Maka kenapa kasus pelecehan seksual kian hari makin bertambah karena tidak menutup kemungkinan pada dasarnya bersumber dari apa yang ditampilkan pada sosial media yang seakan mengundang para lelaki hidung belang untuk melakukannya.

Jadi saya rasa pada hari ini berbicara tentang kebenaran yang sebenarnya bersifat absolut justru menjadi kata yang kian absurd dan seolah kata kebenaran hanya menjadi kata yang bisa dipermainkan maknanya oleh mereka yang mempunyai power dalam pemerintahan maupun bagi mereka yang mempunyai kuasa dalam berbagai macam profesi, sehingga mampu mempelintir makna sesuka mereka untuk kepentinga tertentu sehingga seakan pemaknaan mereka itu adalah hal yang positif karena memberikan sebuah kebebasan pada individu untuk berekspresi walaupun saya rasa itu adalah kebebasan yang kebablasan.

Penulis: Zulfikar
×
Berita Terbaru Update