PUISI, Lorongka.com- Tuhan.Terimakasih, kugarap bingkai lama yang mengusam. Kutatap penuh haru kenangan yang tak sebagian sepertiku.
Potretan anak kecil, berusia 2 tahun, yang masih segarnya dengan kulit bening dan halus dengan pipi cabih dan jepitan lucu yang menempel pada rambutnya. Menjadikanya sosok balita yang sangat cantik dan lucu.
Masih saja kupandangi hiasan di atas lemari tua itu, secercah kenangan yang tak mungkin mengobati luka, 20 tahun kerinduan menepi. Tapi tak akan mengubah apa-apa.
Anak kecil pada masanya butuh sedikit bahu untuk mengangkatnya, butuh lengan tangan untuk menggandengnya. Dan butuh perlindungan dari sosok yang disebut 'papa' oleh anak manja di luar sana.
Sosok yang termenung pada bekas potretan itu, menitipkan sedikit rindu pada doa yang dilangitkan.
Lantas doa apa yang tersirat?
Mungkin saja, lantas mengapa aku berbeda Tuhan?
Aku ingin seperti mereka yang memiliki tempat curahan hati dan bimbingan selain ibu, katanya.
Yahh, tuhan telah menentukan takdir.
Bukankah kita hanya pemain, dan Tuhan adalah sutradaranya.
Anak kecil yang malang itu, bisu dalam kegelapan. Tenggelam dalam hanyutnya keramaian. Lantass mengapa harus terjadi kedamaian?
Akankah Tuhan menciptakan kata dendam hanya untuk sebuah permainan. Sebuah pendewasaan.
Ahh tidak.
Memaafkan sebuah kasih yang tak menginginkan adalah bisu yang paling menyakitkan.
Semoga tuhan merintihkan akar dari kebahagiaan, kebersamaan dan kasih
agar tidak punah ditelan dendam dan mencorak air mata.
Sungguh, masa lalu adalah tragedi paling tragis bagi anak-anak yang tidak menginginkan lahir dari mata terbuka.
Semoga Tuhan benar mengadakan bahwa ujian yang berat akan indah pada waktunya.
Penulis: Mentari aprilya