Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Banjir: Problematika dan Solusi Paradigmatik

Sabtu, 22 Januari 2022 | 17:55 WIB Last Updated 2022-01-22T09:57:40Z

Despry Nur Annisa Ahmad, ST., M.Sc.

LorongKa.com - 
Memasuki musim penghujan beberapa wilayah di Indonesia dilanda banjir. Khusus wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, banjir merendam 9 kabupaten/kota dan 44 kecamatan di dalamnya. Wilayah yang terendam banjir antara lain Kota Makassar, Kabupaten Pangkep, Barru, Soppeng, Wajo, Sidrap, Jeneponto, Gowa dan Kabupaten Maros (BPBD Sulsel, 2021). Melihat dari multi perspektif, terdapat enam catatan utama sebagai bahan pertimbangan evaluasi bagi pemangku kebijakan.


Pertama, ditinjau secara aspek geomorfologi wilayah. Wilayah yang menjadi area banjir sebagian besar merupakan lahan asal proses fluvial. Secara hazard kebencanaan, wilayah yang areanya terbentuk dari lahan asal proses fluvial secara alami memiliki potensi banjir sehingga pada wilayah ini harus telah jauh-jauh hari dipertimbangkan kondisi fisik dasarnya sebelum menjadi area pengembangan. Nyaris hampir seluruh wilayah di Sulsel ini mengabaikan penyediaan data geomorfologi, padahal aspek geomorfologi merupakan langkah paling awal dalam mengidentifikasi potensi kebencanaan suatu wilayah.


Kedua, ditinjau secara aspek komponen ekosistem hidrologi. Perlu diketahui bersama bahwa aliran air yang merendam banyak wilayah pada saat musim penghujan tersebut berasal dari daerah aliran sungai (DAS). Berbicara mengenai DAS, maka terlebih dahulu juga perlu dipastikan status sungai, hulu, hingga hilir sungai tersebut. Informasi status sungai diperlukan agar dapat diketahui siapa saja aktor wilayah yang terlibat dalam pengelolaannya. Informasi hulu dan hilir sungai diperlukan agar ketika kita melihat banjir, maka pemikiran kita perlu melihat secara utuh bahwa satuan DAS itu tidak selamanya memiliki hulu dan hilir yang berada di satu wilayah yang sama. Ketika area DAS itu tidak memiliki hulu dan hilir yang berada dalam satu wilayah yang sama, maka tentu saja tidak sepenuhnya kesalahan itu diporsir secara penuh pada wilayah yang terdampak. Bagaimanapun, DAS ini adalah satuan ekosistem hidrologi yang keberadaannya dinamis melintasi berbagai wilayah administratif.


Sebagai contoh pada kejadian banjir yang terjadi di Kota Makassar akhir tahun 2021. Kita terlebih dahulu perlu melihat kedudukan Kota Makassar sebagai salah satu wilayah administratif yang terkoneksi dengan 2 aliran DAS, Jeneberang dan Tallo. Kedudukan Kota Makassar yang berada di hilir 2 DAS ini menjadi titik koreksi untuk dilakukannya integrasi perencanaan antara Kabupaten Gowa-Kota Makassar-Kabupaten Maros dalam pemanfaatan lahan di area DAS ini. Karena jangan sampai, area hulu masing-masing DAS juga sudah gundul dan itu tidak berlokasi di Kota Makassar.


Kedudukan Makassar sebagai area hilir, alamiahnya pasti akan menjadi terdampak akibat kerusakan lahan yang terjadi di masing-masing hulu DAS. Namun yang perlu juga menjadi catatan penting bagi pemangku kebijakan. Bahwa kalangan mahasiswa ataupun lembaga riset telah banyak yang meriset terkait ini. Sekarang yang menjadi pertanyaan mendasarnya, benarkah hasil riset para ilmuwan hingga saat ini telah menjadi bahan pertimbangan acuan dalam penetapan kebijakan pemanfaatan lahan?.


Ketiga, aspek ketersediaan jaringan drainase. Secara aturan dasar, jaringan jalan dengan fungsi arteri primer, itu dipaketkan dengan sistem jaringan drainase primer, bukan sekunder apalagi tersier. Begitupun pada sistem jaringan jalan kolektor, jaringan drainase yang harusnya disediakan pada ruas jalan itu adalah fungsi sekunder. Cuman dalam banyak titik di berbagai wilayah, penyediaan jaringan drainase belum terintegrasi dengan status fungsi jalan yang menaungi. Sehingga kehadiran drainase saat ini kebanyakan hanya sebatas penampungan air. Padahal fungsi utama drainase adalah untuk mengalirkan limpasan air hingga ke outlet.


Keempat, aspek penyediaan kawasan lindung. Kawasan lindung merupakan wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Kawasan lindung ini meliputi, (i) hutan lindung; (ii) kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya, meliputi: kawasan bergambut dan kawasan resapan air; iii) kawasan perlindungan setempat, meliputi: sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar danau atau waduk, kawasan sekitar mata air, serta kawasan lindung spiritual dan kearifan lokal; iv) kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya; v) kawasan rawan bencana alam; vi) kawasan lindung geologi; dan vii) kawasan lindung lainnya, meliputi: cagar biosfer, ramsar, taman buru, kawasan perlindungan plasma-nutfah, kawasan pengungsian satwa, terumbu karang, dan kawasan koridor bagi jenis satwa atau biota laut yang dilindungi.


Hampir seluruh kejadian banjir yang terjadi disebabkan oleh tidak konsistennya pemangku kebijakan di wilayah terkait dalam mempertahankan area lindung wilayahnya. Padahal mempertahankan kawasan lindung ini merupakan investasi jangka panjang dalam menjaga keseimbangan ekosistem di suatu wilayah. Praktik alih fungsi guna lahan yang awalnya ditetapkan sebagai kawasan lindung dengan mudahnya terkonversi menjadi kawasan budidaya. Hal ini, jelas akan semakin turut andil dalam memperparah kejadian banjir.


Kelima, kesiapsiagaan penanggulangan bencana. Secara umum, tingkat kesiapsiagaan dalam penanggulangan bencana di Indonesia saat ini masih minim. Bisa dibuktikan dari banyaknya korban yang sering luluh lantah saat terjadi bencana. Kebanyakan kita sering menjdi kocar kacir mencari solusi singkat ketika telah terjadi bencana. Padahal ada 11 bulan lamanya yang telah menjadi jeda untuk melakukan kajian dan sosialisasi untuk mengantisipasi sejak awal dalam membangun wilayah yang tangguh bencana (resilience region/city).


Keenam, kedudukan dokumen tata ruang. Isi dokumen tata ruang dalam hal ini seharusnya telah memuat kajian kebencanaan. Namun realitasnya, juga tidak sedikit dari dokumen tata ruang yang ada hanya sebatas menampilkan kondisi eksisting kebencanaan saja. Padahal seharusnya, kajian kebencanaan itu harus disajikan secara analisis yang mencapai derajat kajian risiko kebencanaan (hazard x vulnerability / capacity). Hasil dari penaksiran risiko bencana ini yang kemudian menjadi acuan dalam merumuskan upaya penanggulangan bencana berdasarkan tingkat risiko masing-masing jenis bencana.


Apabila dikonfirmasi ke pihak konsultan, jelas beliau semua akan berkata ada keterbatasan anggaran. Wajar, karena kajian multi risiko itu tidak murah. Perolehan data untuk dianalisis, juga tidak mudah. Ada banyak tenaga ahli dari lintas disiplin ilmu yang perlu dilibatkan agar akurasinya juga mendekati derajat sempurna. Bilapun dikonfirmasi ke pihak dinas terkait atau oknum yang mewakilinya, masalahnya juga sama, pada keterbatasan anggaran. Cuman pada dinas atau instansi ini yang juga perlu ditinjau ulang, apakah anggarannya terbatas karena banyak yang ingin disunat atau bagaimana? Wallohu' alam


Sebagai kesimpulan, merumuskan solusi banjir hari ini tidak cukup bila hanya sebatas kajian teknis semata. Sebab fakta di lapangan menunjukkan bahwa kejadian banjir ini adalah permasalahan sistemik dari hasil akumulasi kesalahan sistem pengaturan dan hilangnya kesadaran akan jiwa yang kontributif dalam mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif, berkelanjutan, dan berkeadilan.


Banjir yang terjadi merupakan salah satu cabang problematika tata ruang yang terjadi. Kita semua dengan sangat jelas mampu mengindera, betapa tata ruang makin ke sini memang semakin menjadi ajang untuk mempertontonkan panggung tata uang. Melihat pola yang demikian, maka dibutuhkan solusi paradigmatik yang holistik dalam merespon problematika ruang.


Sejatinya, penataan ruang bila tidak didudukkan dengan kacamata keimanan, memang sangat berat. Punya iman tapi tidak ditopang oleh ilmu teknis yang mumpuni juga lebih berat. Sebab sebatas cocoklogi dalil, juga termasuk dosa! Maka diperlukan paket iman yang ditopang oleh ilmu teknis yang mumpuni dalam menyelesaikan segala kekisruhan dalam dunia pembangunan hari ini, sejak dari level atas pemerintahan (pusat maupun daerah) sebagai pemberi contoh teladan utama, hingga ke lapisan bawah masyarakat. Sebagaimana arahan wahyu dalam QS Al Baqarah ayat 30 berikut.


Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi".


Wahyu tersebut telah mengabarkan kepada kita agar kita semua yang berlabel manusia ini telah ditunjuk oleh Sang Pencipta sebagai pengelolah bumi ini. Maka sudah sepatutnyalah kita menyambut seruan wahyu ini untuk bersungguh-sungguh dengan iman dalam mengelolah bumi ini sesuai dengan petunjukNya.


Penulis: Despry Nur Annisa Ahmad, ST., M.Sc. (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB)

×
Berita Terbaru Update