Sirajuddin Yusuf |
OPINI, Lorongka.com--- Ada yang pernah bilang, kopi mengajarkan kita bahwa kehidupan tidak selamanya manis, tapi ada pahitnya juga. Dari kopi jua lah kita belajar, bahwa rasa pahit itu dapat dinikmati.
Kopi mempertemukan banyak perbedaan di meja yang sama. sebuah perbedaan tanpa ada kelas yang menindas, tak ada gelas yang membungkuk, dan juga dominasi kuasa.
Hal itu kembali menyadarkan kita kalau perbedaan sudah menjadi keharusan di bumi yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia mana pun. Di meja kopi itu, punya aturan tidak tertulis yang belum pernah disepakati namun ditaati oleh setiap orang yang datang.
Bagi yang melanggar tidak diberi sanksi apa-apa, juga tak mengenal diskualifikasi. kecuali lupa membayar...ya mungkin hukumannya setengah berat kwkwkwkwkwk.
karena kopilah, kita sama dalam rasa namun berbeda di banyak hal. Kita semua sepaham bahwa permusuhan dilarang duduk. Di luar boleh berlawanan, di tempat ngopi kita adalah kawan. Ceritra di tempat itu menggambarkan sebuah masyarakat ilmiah pasca modern dan pemandangan realitas hidup di abad 21.
Kopi sepertinya telah menjadi bagian dari kebebasan berekspresi dan membangun kesadaran berdemokrasi yang benar serta membentuk cara pandang baru dalam melihat kehidupan sosial.
Kopi seolah-olah mengajak kita memimpikan kehidupan dengan ketiadaan kelas dan menolak kuasa modal sama perisisnya cita-cita Pak Karl Marx. Di hadapan kopi, begitu kritisnya kita membedah diskursus di semua lini kehidupan. Adakalanya di depan kopi semua jadi bungkam dikarenakan fokus dengan gadgetnya di tangan masing-masing. Maklum, sebagai korban dari hegemoni adroid, hal itu sudah menjadi pemandangan biasa hari ini.
Kopi bukan lagi sekedar rindu akan tetapi ia telah menjelma menjadi dewa penengah yang masih menjaga kemurnian dari filosofi awalnya sebagai kopi. Kopi ialah tentang kata yang bebas nilai sebab keberadaannya ia tak memiliki kepentingan apa pun selain menunggu untuk dicicipi.
Kopi sudah mewarnai interaksi sosial hari ini, ada banyak permasalahan sosial dengan mudah diselesaikan hanya duduk bersama sambil ngopi. Problem ummat yang lain pun selalu menjadi tema hangat setiap kita berdiskusi lepas seperti topik keummatan, kebangsaan, ekonomi, politik, sosial , dan budaya.
Topik paling dominan yang sering menjadi pembahasan setiap harinya adalah masalah politik. Boleh dikata, hampir seluruh permasalahan politik di negeri ini baik itu politik di daerah mapun politik di tingkat nasioanal mampu kita kaji kemudian menemukan solusinya bahkan kita ahli dalam memprediksi iklim perpolitikan lima tahun ke depan, apa yang akan terjadi tapi sayangnya hasil kajian kita selalu melebur dengan asap rokok yang hilang tak membekas.
Walaupun jarang berada di tengah-tengah masyarakat bawah karena waktu kita lebih banyak dihabiskan di meja kopi akan tetapi kita tidak pernah kehabisan wacana untuk dibicarakan.
Sebagai masyarakat digital, rata-rata informasi diakses dari internet atau pun sosial media sehingga bahan perbincangan kita tidak lagi bersumber dari realitas nyata di masyarakat melainkan berasal dari realitas yang sudah diedit-edit. Berbeda halnya dengan orang-orang sebelum era digitalisasi secanggih saat ini, sumber diskusi mereka berdasarkan pengamatan, penelitian, dan surevei di lapangan.
Duduk kita sama-sama ngopi dan berdiri kita sama-sama bubar, kalau keluar hanya sebentar jangan lupa gelasnya ditutup. hehehe....(pasti paham).
Di sini saya mau katakan, ada kebiasaan lumrah, sering kita lakukan di meja kopi yaitu kebiasaan mendokumentasikan gambar pada saat kita ramainya berdiskusi dan setelah itu gambar diposting dimedia sosial lalu memberikan keterangan di story WhatsApp, facebook, dan instagram.
Sementara apa yang kita tulis dalam keterangan itu berbeda dengan kenyataan yang sebenarnya di gambar, maka pada saat itu terjadilah kontradiksi. Apa yang kita jelaskan di postingan tersebut itulah yang akan dikonsumsi oleh masyarakat yang membacanya (netizen).
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, "Kontradiksi" ialah pertentangan antara dua hal yang sangat berlawanan atau bertentangan. informasi yang sampai kepembaca dari unggahan kita dimedia sosial dimungkinkan akan diinterpretasikan lain, hal sesederhana itu sebenarnya tanpa kita sadari kita telah menyodorkan kepada orang lain sebuah realitas palsu.
Saya mau ketawa tapi takut dosa, ada postingan lucu yang saya baca "gara-gara tidak memiliki kartu BPJS, Marquez ditolak pihak puskesmas"(baca:gambar hiburan).
Demikian halnya pada kasus-kasus lainnya sebagai contoh, di warung kopi kita sering blak-blakan menawarkan sebuah ide, konsep, dan gagasan brilian soal tatanan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Akan tetapi di lain tempat, apa yang kita praktekkan di lapangan sangatlah bertentangan dengan teori yang pernah kita transformasikan kepada orang lain. Karena teori dan prakteknya berlawanan maka proses pencerdasan dimasyarakat menjadi pupus.
Akibatnya terjadi kekeliruan berpikir di tengah-tengah masyarakat. Kita selalu beranggapan kalau pihak yang paling bersalah dalam kasus ini adalah masyarakat itu sendiri, kita seharusnya bersikap fair dan menyadari bahwa maju tidaknya sebuah masyarakat di suatu negara adalah tanggung jawab dari orang-orang yang sudah berpikir maju atau kaum terpelajarnya.
Akhir kata, tulisan ini tidak saya tujukan kepada siapa pun. Kata dan kalimatnya bersifat umum demi menghindari ketersinggungan pihak lain. Apa yang saya tulis di atas adalah bentuk kritikan terhadapa diri sendiri dalam merespon fenomena kehidupan keseharian dimasyarakat, kalau pun ada orang lain yang memiliki pengalaman sama persisnya dengan kalimat-kalimat di tulisan ini itu hanya sebuah kebetulan. karena tujuan dari saya menulis opini ini hanya sebatas memotifasi.
Wassalam...
Penulis : Sirajuddin Yusuf