Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Honorer Sejahtera Dalam Naungan Islam

Minggu, 12 Juni 2022 | 19:08 WIB Last Updated 2022-06-12T11:09:09Z

Jihan

LorongKa.com - 
Carut marut nasib guru honorer yang tidak kunjung mendapat kesejahteraan adalah sinyal bahwasanya negara telah gagal dalam memenuhi hajat hidup rakyatnya. 


Bagaimana tidak, sebagaimana dilansir Jakarta - Pemerintah memastikan akan menghapus tenaga honorer mulai 28 November 2023. Hal ini tertuang dalam surat Menteri PANRB No. B/185/M.SM.02.03/2022 perihal Status Kepegawaian di Lingkungan Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Tenaga honorer akan dihapuskan dan diganti dengan sistem outsourcing. (Minggu, 5/6/2022).


Tampaknya, pemerintah tidak main-main dengan wacana penghapusan tenaga honorer pada 2023 yang sudah bergaung sejak 2020 lalu. Penghapusan tersebut guna memberi kepastian bagi instansi tempat tenaga honorer bekerja, baik secara pengeluaran anggaran untuk upah maupun hasil kinerjanya.


Kebijakan pemerintah ini hanya berfokus menyelesaikan masalah penumpukan jumlah guru honorer agar tidak memberatkan tanggungan keuangan pemerintah pusat. Padahal bila dipraktikkan kebijakan ini akan berdampak ratusan ribuan tenaga kerja kehilangan pekerjaan, menimbulkan masalah sosial ekonomi dan bahkan berdampak pada proses belajar mengajar di sekolah. Kebijakan ini pula mencerminkan rendahnya perhatian pemerintah terhadap nilai sektor Pendidikan bagi pembangunan SDM.


Masalah Di Sistem Kapitalisme


Sampai di sini, ada kesimpulan pahit yang harus ditelan oleh tenaga honorer, yakni dalam sistem kapitalisme, hubungan antara penguasa dan rakyat berdasarkan pada asas untung dan rugi. Hitung-hitungan secara ekonomi berlaku, rakyat hanya menjadi beban negara jika masih harus didanai atau disubsidi oleh kas negara.


Dalam hal penyediaan tenaga kerja, sistem kapitalisme akan mengutamakan unsur efektivitas dan efisiensi kerja. Namun, yang masih jadi masalah, distribusi barang dan jasa kebutuhan rakyat tidak merata. Pemilik modal dengan level konglomerat tetaplah yang menguasai perputaran barang dan jasa. Sementara, rakyat kecil hanya kebagian getahnya. Sungguh ironi yang tidak berkesudahan.


Inilah buah penerapan sistem kapitalisme. Negara berlepas tangan mengurusi rakyatnya. Lapangan pekerjaan yang selama ini didambakan oleh rakyat, bukannya disediakan malah dihapuskan.


Tidak hanya itu, negara juga harusnya peka melihat kemana kelak para mantan honorer mencari penghidupan. Sedang mereka tidak memiliki pekerjaan selainnya. Apalagi di tengah membumbung tingginya biaya hidup, seperti mahalnya pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya. 


Padahal sudah menjadi tanggungjawab penguasa/negara dalam menyejahterakan rakyatnya. Terlebih kita tahu bersama, guru – apapun status kepegawaiannya– adalah sosok berjasa yang memiliki tugas sebagai pendidik dan pengajar. Perannya sangat penting dalam lingkup pendidikan.


Honorer Sejahtera Dalam Naungan Islam


Prinsip tata kelola urusan umat dalam sistem Islam kafah berlandaskan aturan sederhana, pelayanan cepat, dan profesionalitas pegawai pemerintahan yang menangani urusan tersebut. Negara menyediakan lapangan kerja yang memadai bagi warga negaranya, terkhusus bagi setiap rakyat yang wajib bekerja dan menafkahi keluarganya, dalam hal ini laki-laki.


Sementara, untuk menjadi pegawai di departemen, jawatan, atau unit-unit yang ada, negara tidak mematok syarat kompleks. Terpenting, ia memiliki status kewarganegaraan di negara Islam (Khilafah) dan memenuhi kualifikasi, baik laki-laki maupun perempuan, muslim maupun nonmuslim.


Sebagaimana gambaran kehidupan guru di masa pemerintahan Umar bin Khaththab. Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqah ad-Dimasyqi, dari Al-Wadhiah bin Atha, bahwasanya pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khaththab, ada tiga guru di Madinah yang mengajar anak-anak. Setiap guru mendapat gaji 15 dinar (1 dinar=4,25 gram emas; 15 dinar=63,75 gram emas).


Bila saat ini 1 gram emas Rp500 ribu, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar Rp31.875.000. Tentunya tidak memandang status guru tersebut PNS ataupun honorer, bersertifikasi atau tidak. Yang jelas, mereka adalah tenaga kerja. 


Tidak ada istilah honorer, karena rekrutmen tenaga kerja dilakukan sesuai kebutuhan riil negara untuk menjalankan semua pekerjaan administratif maupun pelayanan dalam jumlah yang mencukupi.


Selain itu, melalui ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan riayah negara, para tenaga kerja akan memperhatikan beberapa poin ini. Pertama, dari sisi tanggung jawab, mereka adalah pekerja. Pada saat yang sama, mereka adalah pelayan/pengurus rakyat. 


Kedua, dari sisi pelayan/pengurus, mereka bertanggung jawab kepada Khalifah, para penguasa, para wali, dan muawin. Para pegawai negara terikat syariat dan peraturan administratif. Gaji pegawai negara diambil dari kas baitulmal. Bila kas baitulmal tidak mencukupi, bisa ditarik dari dharibah atau pajak yang bersifat sementara.


Pengaturan demikian menjadikan status honorer tidak terjebak dalam dilema. Sebab, ketenagakerjaan dalam Khilafah menganut sistem rekrutmen berbasis pemenuhan kebutuhan, bukan sekadar status.


Kesejahteraan rakyat seperti di atas tidak akan didapatkan jika Islam tidak diterapkan secara kafah dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahu a’lam bishawab.


Penulis: Jihan (Pemerhati Kebijakan Publik)

×
Berita Terbaru Update