Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Hakordia, Jargon dan Kegiatan Seremonial Tak Bermakna?

Kamis, 15 Desember 2022 | 21:31 WIB Last Updated 2022-12-15T13:31:04Z

Farah Adibah, Aktivis Muslimah

LorongKa.com -
Di penghujung tahun 2022 kembali dihiasi dengan aksi unjuk rasa mahasiswa yang dilakukan di bawah Jembatan Layang Makassar, Sulawesi Selatan pada Jumat (9/12/2022) dalam rangka memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia). 


Namun, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut peringatan Hakordia ini layak disikapi dengan rasa berkabung atas runtuhnya komitmen negara dan robohnya harapan masyarakat dengan menyoroti sejumlah aspek yang dinilai turut berkontribusi dalam meruntuhkan komitmen negara terkait pemberantasan korupsi. Salah satu aspek yang turut disorot ICW adalah tingginya angka korupsi di kalangan politisi.


Kasus terbaru dimana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Bupati Bangkalan, R Abdul Latif Amin Imron terkait kasus dugaan suap jual beli jabatan di Pemkab Bangkalan, Jawa Timur bersama dengan lima tersangka lainnya.


Kelima pejabat tersebut memberikan uang kepada Latif dalam rangka membayar komitmen fee setelah menduduki jabatan yang diinginkan. KPK menduga total komitmen fee yang dipatok mulai Rp50 juta hingga Rp150 juta. Diketahui, Latif tidak hanya bermain pada isu mutasi dan rotasi jabatan. Ia juga mematok fee 10% dari setiap anggaran proyek.


Berkiblat pada kasus tersebut yang berdekatan dengan peringatan Hakordia tahun 2022 yang mengambil tema “Indonesia Pulih Bersatu Melawan Korupsi”, seharusnya digunakan sebagai momentum serius pembenahan aspek politik dan hukum dari seluruh cabang. Namun, hal ini sekedar menjadi jargon dan kegiatan seremonial yang tidak memiliki makna. 


Seperti yang kita ketahui kasus korupsi di kalangan politisi Indonesia sangatlah pekat dan seolah menjadi satu kesatuan dalam sistem hari ini. Kasus dari Bupati Bangkalan hanyalah salah satu lembaran diantara banyaknya cerita kasus korupsi. Masih ada politisi yang belum tertangkap, bahkan terjadi obral remisi kepada puluhan terpidana kasus korupsi.


Hal tersebut terjadi karena seorang politisi yang memegang suatu jabatan dan menduduki kekuasaan tentunya tidak berada di singgasana politiknya tanpa ada dukungan dari pihak yang bermodal. Alhasil, posisi dari politisi sebagai pihak yang mengurusi urusan rakyat terabaikan, dan fokus melakukan hal-hal yang mampu mengembalikan modal dari pihak pemodal. Sehingga, korupsi dijadikan sebagai jalan alternatif.


Wajar saja jika kepercayaan rakyat makin lemah terhadap KPK sebagai lembaga antirasuah untuk memberantas kasus korupsi, yang realitanya sangat minim dalam menangani kasus korupsi di Indonesia. Apalagi pengesahan RKUHP yang justru mengurangi hukuman bagi koruptor di tengah maraknya korupsi di kalangan politisi. Hukuman korupsi yang ada selama ini (sebelum pengesahan RKUHP) saja tidak membuat jera, apalagi jika hukumannya dikurangi melalui KUHP baru. 


Inilah fakta buruk keseriusan pemberantasan korupsi di tengah sistem sekuler hari ini. Tidak menganggap bentuk tindakan pidana ini sebagai sesuatu yang harus diberantas sampai tuntas  Bahkan, menjadikannya sebagai solusi alternatif untuk memenuhi kepentingan-kepentingan sepihak dan menjadikan rakyat sebagai tumbal.


Kejadian seperti ini akan terus terulang ketika sistem sekuler langgeng menaungi kehidupan bernegara. Ide sekuler yang memisahkan antara agama dengan negara dan dibangun berdasarkan asas manfaat tidak akan bisa membangkitkan keseriusan dalam memberantas korupsi. Yang terjadi adalah hukuman korupsi berpeluang dikompromikan demi mengurangi masa hukuman atau malah agar pelakunya bisa bebas dari jerat hukum.


Berbeda keadaannya jika sistem Islam menjadi sistem peradilan dan sanksi dalam negara. Sistem Islam akan menutup semua celah tindak korupsi, mengantisipasi peluang korupsi dan memberikan sanksi yang membuat jera.


Dalam sistem Islam terdapat larangan keras menerima harta ghulul, yaitu harta yang diperoleh dengan cara tidak syar’i, baik dari harta milik negara atau milik warga. Sehingga  dengan itu dapat menutup celah tindak korupsi, yang dijadikan jalan alternatif untuk mengembalikan modal dari penyokongnya.


Islam juga menetapkan bahwa syarat dalam pemilihan pejabat negara yang bertugas mengurusi urusan rakyat adalah orang yang bertakwa selain syarat profesionalitas. Oleh karena itu, ketakwaan menjadi kontrol awal sebagai penangkal berbuat maksiat dan tercela. Sehingga hal ini dapat menekan korupsi, suap dan lainnya.


Peradilan dan sanksi dalam Islam juga sangat tegas dan tuntas, sehingga mencegah kasus serupa muncul berulang. Oleh karena itu, hukuman keras bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk, hingga hukuman mati. Sehingga, hal tersebut dapat memberikan efek jera. Bukannya malah memberikan kesempatan untuk mengulangi tindakannya. 


Momentum peringatan Hakordia pun kini hanya menjadi kegiatan seremonial dan jargon yang tidak bermakna apa-apa. Terlihat bahwa narasi antikorupsi pemerintah tidak menunjukkan pencapaian konkret kepada masyarakat. Akar permasalahannya terletak pada lemahnya kinerja pemberantasan politik yang lahir dari sistem sekuler. Maka sudah selayaknya sistem Islam dilanggengkan dalam kehidupan bernegara agar terciptanya kesejahteraan bagi seluruh alam dengan menjalani kehidupan di bawah syari’at Islam, bukan hukum buatan manusia. Wallahualam bissawab.


Penulis: Farah Adibah, Aktivis Muslimah.

×
Berita Terbaru Update