PUISI, Lorongka— Air mata luka, luka, dari atas tanah yang subur, aku dicaci dan dimaki ditahun-tahun kemerdekaan, seandainya sejarah bukan soal darah, tentu aku hikmat memahami apa artinya kedamaian.
Aku hanya manusia biasa,
yang bekerja, mengawal perjuangan-perjuangan buruh, tani,
dan perjuangan rakyat tertindas,
tak akan pernah kuberhenti sebelum mereka dapatkan kemerdekaan yang sesungguhnya,
keadilan yang menjadi satu cita–cita bersama.
Sejak mereka menghisap
keringat-keringat buruh di pabrik-pabrik kota
sejak mereka menjarah keringat-keringat petani-petani didesa
sejakitu pula lah, aku menyatkan perlawanan terhadap ke zholiman, walupun aku selalu di kebiri,
tapi aku tetap berdiri masih teguh mengepalkan tangan kiri
Di hari itu
aku harus berhadapan dengan alat kekuasaan,
seperti anjing atau singa yang tak makan berhari-hari,
di hadapan kekuasaan aku diberikan janji aku dilempar,
kesana kesini, saat kepala ku di hantam popor senjata saat kemaluan ku di pukuli, begitu sakit dan menyakitkan
Dengan rasa sakit
belum sampai aku di bibir pintu, aku di caci dan dimaki
hei keluar kau penghianat negara, bajingan, anjing,
itu yang dilontarkan dari mereka, mulut mulut para politisi.
Hari itu juga kulihat
para aparat yang menenteng senjata, seakan siap menembakiku
karena mereka punya senjata, sukanya menghabisi nyawa manusia dan lalu mereka memukuliku,
aku diseret-seret dari dalam gedung wajah banjir darah, tak sedikitpun aku gentar
Aku dilemparkan kedalam jeruji besi
ditemani dinginnya malam, aku hanya bisa berteriak dan berkata,
bangkitlah wahai buruh sedunia, hancurkan segala bentuk penindasan, lalu dalam bimbang aku berdoa,
aku ingin mati dalam keadaan kiri...!!!
Oleh: Eddy Aspiansyah Al-Aidid
Catatan Anak Rimba_Kaltara 2019