LorongKa.com - Pemerintah RI resmi merilis defisit APBN 2024 yang disepakati sebesar Rp 522,82 triliun atau 2,29% terhadap PDB dengan perkiraan PDB nominal 2024 sebesar Rp 22.830,8 triliun. Hal ini disampaikan Nurul Arifin, anggota Komisi II sekaligus anggota Panitia Kerja (Panja) RUU P2 APBN 2024, dalam rapat Banggar DPR RI dan pemerintah, pada 19 September 2023. (cnbcindonesia.com).
Defisit ini tidak hanya terjadi di pusat, namun juga daerah. Potensi defisit juga terjadi di Kabupaten Kayong Utara (KKU). Sebagaimana yang disampaikan oleh Penjabat Bupati Kayong Utara, Romi Wijaya, bahwa akan ada pemangkasan program kegiatan pada tahun 2024 sebagai konsekuensi terhadap penyelenggaraan pemilu dan program prioritas pemerintah pusat. (kalbarnews.com)
Upaya Penyelesaian
Pemerintah menyolusi defisit ini dengan utang. Sebagaimana kita ketahui, utang negeri ini sangat besar. Berdasarkan laporan BI, ULN Indonesia pada akhir triwulan II 2023 sebesar 396,3 miliar dolar AS. Meskipun besaran utang ini turun dari kuartal sebelumnya yang mencapai 403,2 miliar dolar AS, pemerintah masih memiliki beban bayar utang setiap tahun. Pada 2024 mendatang, pemerintah sudah menetapkan pembiayaan utang Rp648,08 triliun, yakni Rp666,44 triliun dari SBN dan Rp18,36 triliun dari pinjaman dalam dan luar negeri. (cnbcindonesia.com)
Besarnya beban utang, ditambah pengeluaran lainnya seperti subsidi dan administrasi, membuat keuangan negara besar pasak daripada tiang. Padahal, kalau melihat dari pendapatan, pemasukan negara sekitar 80% dari pajak. Sisanya berasal dari pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dan hibah. Oleh karenanya, jalan untuk meningkatkan pendapatan adalah dengan menaikkan besaran pajak. Kalau benar demikian, berarti akan ada sinyal kenaikan pajak atau pemerintah berusaha menarik pajak pada masyarakat yang mangkir dari pembayaran pajak.
Kebijakan lainnya adalah adanya kemungkinan menambah utang. Cara ini dianggap sangat efisien untuk mendapatkan pendanaan secara cepat. Hasilnya, utang negara pasti bertambah. Jikalau tidak menambah utang, negara akan mengharapkan hibah atau investasi. Keduanya sangat menguntungkan negara karena tidak perlu mengeluarkan biaya besar.
Sementara di KKU, pemkab menyolusinya dengan melakukan rasionalisasi anggaran atau memangkas program kegiatan yang ada. Oleh karena itu, Romi Wijaya mengharapkan hal ini dapat dipahami semua pihak kalau dalam tahun anggaran 2024, pembangunan fisik relatif berkurang. (kalbarnews.com).
Rasionalisasi anggaran tidak akan cukup mampu mengatasi defisit anggaran karena ini adalah solusi yang tidak menyentuh akar masalah. Dan jika APBD defisit, maka bisa dipastikan pemenuhan kebutuhan dan kemaslahatan rakyat akan terbengkalai, dengan dalih kurangnya anggaran.
Akar Masalah
Akar masalah berulangnya defisit APBN adalah paradigma pengelolaan APBN yang menyandarkan pos pendapatan hanya dari pajak & utang. Ini adalah solusi khas ala Kapitalisme, sebuah ideologi yang mengedepankan materi dan kepentingan para kapitalis. Kapitalisme adalah ideologi buatan manusia sehingga setiap aturan yang diambil adalah atas pertimbangan manusia. Padahal, akal manusia itu memiliki keterbatasan sehingga tidak mampu menyelesaikan semua masalah, termasuk keuangan.
Kapitalisme juga membuat sumber daya alam (SDA) berada dalam genggaman para kapitalis. SDA dianggap sebagai kekayaan alam yang bebas dimiliki siapa pun. Oleh karena itu, negara membuka keran investasi, baik asing maupun pribumi, dan membolehkan semuanya dimiliki pribadi. Alhasil, para kapitalis kaya raya, sedangkan rakyat justru sengsara.
Selain karena keharamannya, pajak dan utang juga bathil. Hal itu disebabkan dua alasan. Pertama, pajak adalah pungutan zhalim bagi rakyat.
Memalak rakyat dengan berbagai kebijakan pajak, sejatinya merupakan kelaziman dalam sistem ekonomi kapitalisme neoliberal. Sistem ini memang menjadikan rakyat sebagai bumper kepentingan para pemilik modal (kapitalis) yang mencengkeram kekuasaan melalui pemilu demokrasi. Hal ini niscaya karena asas kebebasan yang mendasari sistemnya memang memberi ruang besar bagi mereka yang kuat modal untuk menguasai sumber-sumber ekonomi. Dengan kekuatan modal pula, mereka bisa menyetir kekuasaan sehingga kebijakan-kebijakan negara menjadi alat legitimasi bagi kerakusan mereka atas kedudukan dan materi.
Ironisnya, sistem ini sangat jauh dari nilai-nilai spiritual dan moral. Penguasa hanya berperan sebagai regulator, bukan sebagai pengurus dan penjaga urusan rakyat. Hubungan mereka dengan rakyat benar-benar sarat hitung dagang. Jika rakyat bisa membayar semua layanan, kenapa tidak? Bahkan, kalau ada yang tidak bisa membayar, rakyat lainnya dipaksa menanggung melalui bermacam cara, termasuk pajak dan program-program jaminan sosial, dengan dalih kemandirian masyarakat ataupun proyek swadaya dan gerakan membantu sesama.
Apalagi fakta pajak yang selalu naik. Keputusan kenaikan pajak itu pasti akan menyengsarakan masyarakat. Pada kondisi sekarang, keuangan rakyat sangat sulit. Mereka mengalami kesusahan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Kalau harus ditambah dengan kenaikan pajak, pasti akan semakin terbebani.
Kedua, utang menyebabkan terjebak dalam kendali kreditur dalam kebijakan-kebijakannya. Utang membuat keuangan negara bertambah ruwet. Tagihan utang negara bisa bertambah. Tidak hanya itu, utang yang dilakukan ternyata berbunga. Secara otomatis, semua akan makin membebani keuangan negara.
Utang bukanlah prestasi. Bahkan, utang adalah jebakan yang menjadikan negara pengutang harus tunduk pada syarat-syarat yang ditetapkan negara pemberi utang. Bunga utang yang besar menggerogoti APBN sehingga uang negara akan terkuras untuk membayar pokok utang dan bunganya. Hal ini akan mengorbankan pengeluaran untuk hal-hal yang urgen, yaitu kesehatan, pendidikan, dan militer.
Apalagi, sebagian besar utang negara berupa obligasi yang dipegang asing. Hal ini akan mengancam kedaulatan negara. Negara akan berada dalam posisi di bawah sehingga harus tunduk pada negara pemberi utang. Padahal, Allah Swt. telah mengharamkan umat Islam berada dalam kondisi dikuasai oleh orang kafir. Firman Allah Swt.
“Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman.” (QS An-Nisa: 141).
Selain itu, utang ribawi akan menghilangkan keberkahan di bumi Indonesia. Rasulullah menyebut riba sebagai hal yang membinasakan. Sabda Rasulullah.
“Jauhi tujuh hal yang membinasakan!” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, apakah itu?” Beliau bersabda, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah tanpa hak, memakan harta riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh wanita beriman yang Ialai berzina.” (Muttafaq ‘alaih).
Utang akan menjadi jebakan yang mengikat erat negara pengutang dengan kesepakatan yang merugikan hingga aset negara pun bisa diserahkan pada asing. Indonesia pun hanya menjadi “sapi perah” bagi asing. Kekayaan dan sumber daya alam kita akan disedot tanpa ampun. Utang juga akan membuat mata uang dalam negeri menjadi lemah. Utang luar negeri harus dibayar dengan dolar. Akibatnya, permintaan terhadap dolar akan tinggi. Apalagi dolar termasuk hard currency (susah dicari). Dengan demikian, utang akan membahayakan dan melemahkan keuangan negara.
APBN Khilafah
Demikianlah, APBN dalam kapitalisme akan terus tekor. Sebaliknya, Islam tidak memosisikan defisit APBN dan utang negara sebagai prestasi, melainkan masalah yang harus diselesaikan segera. APBN Islam memiliki pos yang tetap, baik pos pendapatan maupun belanja. Pemasukan meliputi anfal, ganimah, fai, khumus, kharaj, jizyah, harta milik umum, harta milik negara, ‘usyur dan harta sedekah/zakat.
APBN diatur dan dikelola oleh khalifah sehingga tidak perlu pembahasan yang panjang. APBN adalah amanah bagi khalifah untuk dikelola dengan baik. APBN Islam tidak dibatasi tahun anggaran tertentu sehingga jika ada kekurangan dana untuk kebutuhan yang penting dan mendesak bisa langsung diselesaikan, tidak menunggu dianggarkan dulu tahun depan.
Salah satu rujukan pengelolaan APBN sesuai tuntunan syari’at adalah pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid. Harun ar-Rasyid adalah khalifah yang senang jika dia bisa menegakkan keadilan di tengah rakyatnya. Untuk itu, Khalifah Harun ar-Rasyid berkomitmen untuk menerapkan kebijakan di bidang ekonomi sesuai dengan tuntunan syariat. Dengan demikian, seluruh rakyat Khilafah terpenuhi semua kebutuhan hidup mereka, bahkan merasakan kemakmuran dan kesejahteraan. Baitulmal benar-benar difungsikan sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw. dan khulafaurasyidin.
Pada masa kekhalifahan Harun Ar-Rasyid, ada Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al-Anshari yang diangkat oleh khalifah sebagai hakim agung. Khalifah meminta Abu Yusuf untuk membahas tentang keuangan negara dan memintanya agar menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait sumber pemasukan baitulmal dan pengelolaannya.
Abu Yusuf memenuhi permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid dengan menuliskannya dalam sebuah kitab yang kemudian dikenal dengan nama Kitab Al-Kharaj. Kitab ini menjadi rujukan khalifah dalam berbagai kebijakan ekonomi yang dijalankan negara.
Khalifah Harun ar-Rasyid menghendaki agar sumber pemasukan baitulmal sesuai dengan aturan syariat sebagaimana pada masa Rasulullah saw. dan para khalifah yang mendapat petunjuk sesudah beliau saw.. Khalifah senang menertibkan kharaj dan beberapa sumber pendapatan negara lainnya untuk mengisi baitulmal.
Abu Yusuf pun senantiasa mengingatkan para pemimpin berkaitan dengan kekayaan negara dang menyerukan kepadanya untuk menegakkan keadilan dengan harta tersebut. Abu Yusuf juga menyampaikan kepada para pemimpin itu agar bersegera menerapkan dan melaksanakan kebenaran dalam pengelolaan harta baitulmal. Ia juga menjelaskan cara pelaksanaannya agar selamat di hadapan Allah yang Maha Agung dan menjadi jaminan kesejahteraan, serta terpenuhinya hak-hak rakyat.
Kebijakan ini dilakukan oleh Khalifah Harun ar-Rasyid agar tidak terjadi kesewenang-wenangan terhadap rakyat sehingga dapat meningkatkan tindak kejahatan di masyarakat karena faktor kemiskinan. Baitulmal pun tetap eksis dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya merealisasikan kemaslahatan bagi rakyat, termasuk daerah-daerah perbatasan.
Tiga poin penting dari Kitab Al-Kharaj yang menjadi kebijakan ekonomi Harun ar-Rasyid adalah: Pertama, penjelasan mengenai sumber-sumber pendapatan baitulmal dengan berbagai macam dan ragamnya berdasarkan aturan syariat dan pendistribusiannya. Kedua, penjelasan mengenai tata cara yang ideal dalam menarik kharaj dan harta benda tersebut. Ketiga, penjelasan mengenai beberapa kewajiban yang harus ditunaikan baitulmal yang banyak diabaikan para pemimpin dan enggan melaksanakannya.
Sumber pendapatan baitulmal menurut Kitab Al-Kharaj terdiri dari tiga bagian penting berdasarkan pendistribusiannya, yaitu seperlima ganimah, al-kharaj, dan zakat.
Ganimah atau harta rampasan perang adalah semua harta benda yang diperoleh umat Islam dari pasukan musuh dan orang-orang musyrik dengan berbagai jenis harta. Bisa berupa persenjataan, kuda, barang-barang logistik yang dibawa pasukan musuh, dll.. Abu Yusuf juga memasukkan jenis barang tambang yang diperoleh umat Islam dari musuh, sedikit maupun banyak, termasuk emas dan perak yang tersembunyi dalam perut bumi yang ada di wilayah musuh. Menurut Abu Yusuf, seperlima ganimah menjadi hak khalifah sedangkan empat perlimanya dibagikan kepada mereka yang terlibat dalam peperangan sehingga bisa mendapatkan ganimah tersebut.
Sumber pendapatan kedua kekhalifahan Bani Abbasiyah di Baghdad adalah al-kharaj. Al-Kharaj mencakup tiga hal pokok yaitu tanah yang terkena kharaj, pungutan bagi jiwa penduduk zimi (jizyah), dan pungutan sepersepuluh oleh petugas pemungut cukai terhadap para saudagar dari warga zimi dan ahl al-harb yang meminta suaka dan jaminan perlindungan keamanan.
Khalifah Harun ar-Rasyid mengikuti kebijakan Umar bin Khaththab ra. dalam mengelola pendapatan yang kedua ini. Makin gencarnya peperangan dan penaklukan yang dilakukan kaum muslim, maka makin luas wilayah kekuasaan Khilafah Islamiah dan pendapatan baitulmal dari ganimah juga kharaj pun makin besar. Termasuk pungutan dari warga kafir zimi yang kemudian dikenal dengan nama jizyah.
Yang ketiga yaitu zakat adalah kewajiban kaum muslim yang mampu. Harta zakatnya ditarik oleh baitulmal setiap tahun, baik zakat pertanian, zakat peternakan, zakat perniagaan, zakat fitrah, dan zakat harta tabungan (simpanan). Dana zakat dikeluarkan kepada delapan golongan yang berhak menerima zakat. Tidak ada dana zakat yang disalurkan kepada selain delapan golongan tersebut.
Penyaluran zakat ini sesuai dengan firman Allah Swt., “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk fisabilillah, dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah, Allah Maha Mengetahui Maha Bijaksana.” (muslimahnews.com)
Apakah APBN Khilafah bisa defisit? Kemungkinan itu ada, misalnya karena bencana alam, gagal panen, wabah, dan lain-lain. Namun, kondisi defisit tersebut tidak permanen seperti dalam sistem kapitalisme. Ketika terjadi defisit, Khilafah akan segera melakukan langkah-langkah penyelesaian, yaitu:
1. Mengambil pinjaman nonribawi pada warga negara muslim yang kaya.
2. Memungut dharibah (pajak) dari warga negara muslim yang kaya. Dharibah dan pinjaman ke warga negara ini sifatnya insidental saja, yaitu hanya ketika kas negara kosong. Bukan bersifat terus-menerus sebagaimana dalam sistem kapitalisme. Peruntukannya pun dikhususkan pada kebutuhan yang penting dan mendesak.
Demikianlah perbedaan yang sangat jauh antara APBN Islam dan kapitalisme. Tampak keunggulan APBN Islam karena tidak menyebabkan defisit berkelanjutan dan utang yang menumpuk. Wallahualam.
Penulis: Fanti Setiawati