Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Jebakan Utang di Balik Labelisasi Mutu Pendidikan Islam

Minggu, 14 Juli 2019 | 19:11 WIB Last Updated 2019-07-14T11:13:56Z
Lorong Kata --- Pendidikan adalah hak bagi setiap warga Negara dan dijamin dalam UUD, maka Negara hadir sebagai penyelenggaranya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk melaksanakan tugas tersebut pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan diantaranya sistem zonasi sekolah yang menuai kontraversi dan menyisakan sederet carut marut dalam sektor pendidikan. Dan kini muncul lagi kebijakan baru yaitu peningkatkan mutu pendidikan Islam dengan tajuk “Reformasi Kualitas Pendidikan Madrasah”.

Melalui program dana Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN). Kemenag berencana mengajukan pinjaman utang kepada Bank Dunia sebesar 250 juta US dolar atau setara Rp 3,5 triliun dengan tujuan untuk meningkatkan dan mendongkrak kualitas pendidikan madrasah negeri maupun swasta sektor pendidikan islam di seluruh Indonesia.

Dikutip dari Republika.co.id Dirjen Pendidikan Islam, Kamaruddin Amin mengatakan “kita sudah mengusulkan sebuah proyek di Bank Dunia lewat dana PHLN (Pinjaman dan Hibah Luar Negeri), yang kita sebut sebagai reformasi kualitas pendidikan madrasah. Kamaruddin melanjutkan, setelah melalui proses yang cukup panjang akhirnya proyek ini di setujui Bank Dunia, nilai pendanaanya mencapai Rp 3,7 triliun”. Ungkap beliau (Republika.co.id, Kamis 20/06/2019).

Sebelumnya Menteri Agama Lukman mengungkapkan bahwa Indonesia setidaknya memiliki 48 ribu madrasah yang terdiri dari madrasah negeri dan swasta. Menurut Lukman pembangunan madrasah tidak akan optimal jika hanya mengandalkan anggaran negara. Pasalnya keterbatasan dana mengakibatkan pengembangan madrasah terpusat pada pengembangan bangunan fisik belum kearah kualitas pendidikan (CNN Indonesia, 28/06/2019).

Kebijakan kemenag ini kemudian banyak menuai komentar dari berbagai elemen. Ketua pimpinan muhammadiyah Yunahar Ilyas mempertanyakan dari mana uang untuk membayar Dana Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN) dari Bank Dunia untuk peningkatan kualitas madrasah. Lanjut beliau mengaku belum melihat sumber dana yang bisa digunakan untuk membayarnya, (Republika.co.id).

Lebih lanjut kebijakan pemerintah ini menuai respon dari tokoh masyarakat. Ketua Muhammadiyah bidang ekonomi Buya Anwar Abas menilai pemerintah sebaiknya jangan terlalu berutang. “Masalah ini sebenarnya bisa dibiayai sendiri dengan dana APBN, yang caranya adalah dengan mengurangi tingkat kebocoran yang ada. Dalam perhitungan para ahli, tingkat kebocoran dari APBN itu ada diantara 10 sampai 30 persen”. Ujar Buya Anwar Abas, kamis (20/6).

Pernyataan yang dilontarkan oleh pak Lukman ini sesungguhnya mengindikasikan untuk melegitimasi dan memuluskan kebijakan ini agar terealisasi kepada pihak Bank Dunia untuk kemudian menyerahkan penyelesaian pendidikian islam di negeri ini dengan cara berhutang.

Tentu kita sangat mengapresiasi pemerintah telah berusaha untuk memperbaiki mutu pendidikan islam. Namun disisi lain kebijakan ini justru akan semakin menjerat Indonesia dalam kubangan jeratan utang. Betapa tidak kondisi ekonomi Indonesia hari ini tengah terguncang tidak dalam kondisi yang baik-baik saja. Utang Indonesia saja terus meningkat membengkak nyaris menembus angka 5000 Triliun.

Keterbatasan dana untuk pendidikan anak bangsa menunjukkan minimnya tanggung jawab negara dalam memprioritaskan pembangunan sektor pendidikan sebagai salah satu pilar peradaban. Pemerintah malah menyerahkan kepada asing melalui utang. Padahal hutang luar negeri yang tinggi dapat menurunkan pengaruh politis negara dalam percaturan global.

Yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah benarkah proyek dana PHLN (Pinjaman dan Hibah Luar Negeri) ini dapat mendokrak kualitas madrasah diseluruh Indonesia? Jika para pemangku jabatan ini berdalih dengan mengatakan “anggaran yang besar tersebut akan memberi dampak manfaat yang besar. Manfaat itu bahkan menyasar hingga 50.000 madrasah. Kita ingin membangun sistem”. Kata Kamaruddin, dikutip dari laman resmi Kemenag, Selasa (25/6) (Republika.co.id).

Kita tentu berbahagia, jika kualitas pendidikan mulai diperhatikan dunia. Namun yang meragukan, akankah pihak World Bank memberikan semua ini dengan percuma saja? Sedang dalam dunia kapitalis hari ini, terkenal istilah Not Free Lunch (tidak ada makan siang gratis).

Disisi lain, bukankah utang bangsa ini juga sudah menumpuk di bank dunia? Bahkan dikabarkan, untuk melunasi utang ini butuh waktu yang cukup lama. Sebab bunga pinjamanya, telah beranak-pinak dengan suburnya. Tidakkah dengan menghutang lagi, akan menambah tumpukan utang kita?

Sistem Pendidikan Sukuler

Berkaitan dengan kebijakan yang diambil pemerintah tidak benar-benar menyelesaikan akar permasalahannya. Sistem pendidikan sekuler yang mengekor pada sistem barat yang memisahkan peran agama dalam kehidupan yang diadopsi negara hari inilah yang menjadi biang persoalannya. Bukan terletak pada ketidakcukupan dana APBN, lalu pemerintah berdalih agar meminta bantuan pada Bank Dunia dengan berhutang.

Sebab menyelesaikan persoalan peningkatan mutu pendidikan madrasah tidak bisa dibangun dengan jalan berhutang. Jelas ini bukan solusi justru memunculkan masalah baru. Menjadikan hutang sebagai jaminan untuk memperbaiki kualitas pendidikan Islam bukan pilihan yang tepat. Yang terjadi Negara makin terjerat hutang dan ini akan membuat negeri ini tidak berwibawa.

Dalam hal ini negera semakin menunjukkan ketidak berdayaan di mata dunia. Seolah-seolah semua problem yang di alami harus di selesaikan melalui berhutang. Inilah yang membuat negara hari ini terguncang ekonominya, karena membangun kekuatan ekonominya melalui asas ekonomi ribawi termasuk berhutang pada bank dunia.

Dari sinilah kemudian asing sebagai pemberi utang bisa mendikte sebuah negara yang mempunyai beban utang yang sangat tinggi melalui syarat-syarat yang mereka kehendaki dalam memberikan utang. Sebab prinsip utang bagi mereka “No Free Lunch” tidak ada makan siang gratis. Artinya jika Indonesia menerima utang untuk pembiayaan madrasah maka pemerintah telah membuka keran intervensi asing atas arah pendidikan islam di negeri ini.

Senjata inilah yang memudahkan negara-negara kapitalis kafir barat untuk menjajah dan memaksakan kebijakan pendidikan di negeri-negeri muslim agar berkiblat pada barat. Tidak heran jika kurikulum madrasah nantinya akan diwarnai dengan unsur sekularisme, liberalisme, pluralisme, hingga materialisme yang akan semakin menjauhkan generasi muslim dari gambaran Islam yang hakiki.

Selain itu Utang luar negeri menjadi sesuatu yang berbahaya, hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Abdurrahman al-Maliki (1963) dalam kitab As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al- Mutsla/Politik Ekonomi Ideal, h. 200-207). Mengungkap empat bahaya besar utang luar negeri.

Pertama, membahayakan eksistensi negara. Pasalnya, utang adalah metode baru negara-negara kapitalis untuk menjajah suatu negara.

Kedua, sebelum utang diberikan, negara-negara pemberi utang biasanya mengirimkan pakar-pakar ekonominya untuk memata-matai rahasia kekuatan/kelemahan ekonomi negara tersebut dengan dalih bantuan konsultan teknis atau konsultan ekonomi.

Ketiga, membuat negara pengutang tetap miskin karena terus-menerus terjerat utang yang makin menumpuk dari waktu ke waktu.

Keempat, utang luar negeri pada dasarnya merupakan senjata politik negara-negara kapitalis Barat terhadap negara-negara lain, yang kebanyakan merupakan negeri-negeri muslim.

Pendidikan Dalam Islam

Peningkatan mutu pendidikan memang penting untuk dilakukan. Pendidikan harus berinovasi di tengah zaman yang kian modern, itu menjadi keharusan. Namun, bukan dengan jalan berhutang. Melainkan dengan mengolah sumber daya alam yang hasilnya kembali dimasukan dalam pemenuhan pos-pos pendidikan negeri ini.

Karena itu Islam menganggap pendidikan sebagai kebutuhan pokok dan asasi manusia serta merupakan hak setiap warga negara. Dimana negara bertanggung jawab penuh untuk menyediakan akses pendidikan secara gratis untuk semua kalangan.

Negara Islam sangat memperhatikan agar rakyatnya cerdas. Anak-anak dari semua kelas sosial mengunjungi pendidikan dasar yang terjangkau semua orang. Negaralah membayar para gurunya. Selain 80 sekolah umum Cordoba yang didirikan Khalifah Al-Hakam II pada 965 M, masih ada 27 sekolah khusus anak-anak miskin.

Di Kairo, Al-Mansur Qalawun mendirikan sekolah anak yatim. Dia juga menganggarkan setiap hari ransum makanan yang cukup serta satu stel baju untuk muslim dingan dan satu stel baju untuk musim panas. Bahkan untuk orang-orang badui yang berpindah-pindah, dikirim guru yang juga siap berpindah-pindah mengikuti tempat tinggal muridnya.

Seribu tahun yang lalu, universitas paling hebat di dunia ada di Gundishapur, Baghdad, Kuffah, Isfahan, Cordoba, Alexandria, Cairo, Damaskus dan beberapa kota besar Islam lainnya. Perguruan tinggi di luar Khilafah Islam hanya ada di Konstantinopel yang saat itu masih menjadi ibukota Romawi Byzantium, di Kaifeng ibukota China atau di Nalanda, India. Sementara di Eropa Barat dan Amerika belum ada perguruan tinggi.

Pembiayaan pendidikan memang bisa didapat dari hasil pengelolaan sumber daya alam. Jika melirik pengaturan berbasis Islam, dana untuk pembangunan di bidang pendidikan diperoleh dari baitul mal. Baitul mal merupakan lembaga penyimpanan harta kaum muslimin. Harta ini diperoleh dari beberapa aspek. Mulai dari Fai, ghanimah, kharaj dan satu diantaranya, yakni hasil dari harta kepemilikan umum yang meliputi, hasil laut, sungai, perairan, hutan, padang gembalaan, minyak bumi, gas alam dan berbagai kandungan mineral lainnya.

Dari sinilah nanti, para pengatur urusan rakyat menyisihkan untuk biaya peningkatan maupun pembangunan di bidang pendidikan. Maka tidak heran, jika di masanya, penguasa kaum muslimin yakni para khalifah sampai menggratiskan pendidikan bagi segenap rakyatnya. Saat itu semua kalangan dapat merasakan manisnya mengecap pendidikan, dari jenjang dasar hingga universitas. Dan ini luar biasa hasilnya. Terbukti dengan lahirnya banyak ilmuwan dan ulama yang berkepribadian Islam serta menghasilkan karya yang menakjubkan, dimana sampai kini masih bisa dirasakan. Waallahu a’lamu bisawab.

Penulis: Andi Asmawati, S.Pd
×
Berita Terbaru Update