Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Rekonsiliasi, Bukti Demokrasi Bukan Jalan Perubahan

Minggu, 14 Juli 2019 | 00:44 WIB Last Updated 2019-07-20T04:35:02Z
Lorong Kata --- Perhelatan pesta demokrasi memang telah usai. Namun gejolak panggung perpolitikan masih memanas. Pasca putusan MK, upaya pihak 01 untuk meraih dukungan dari 02 terus bergulir. Awalnya harapan umat akan teguhnya pihak 02 menjadi pihak oposisi begitu besar. Namun banyak pihak yang harus menelan kekecewaan. Pasalnya Prabowo akhirnya menerima rekonsiliasi dengan Jokowi pasca petemuan Keduanya di Stasiun MRT Lebak Bulus, Sabtu 13/07 (CNNIndonesia). Pihak Gerindra berdalih jika Rekonsiliasi dilakukan karena tidak ingin ada korban dari rezim yang sedang berjalan.

Kekecewaan banyak pihak terlihat dengan diserangnya akun tweter resmi Partai gerindra, @Gerindra. Netizen menumpahkan kekesalan dengan mempertanyakan sikap Prabowo. Kekecewaan ini adalah wajar, mengingat banyaknya kebijakan- kebijakan rezim yang tidak berpihak pada rakyat, belum lagi pemilu 2019 telah banyak menelan korban, masih segar diingat wafatnya Harun ar-Rasyid, Raihan dan korban- korban lainnya pada aksi 22 mei lalu, begitu juga jatuhnya700 korban dari anggota KPPS. Rasa keadilan rasa terkoyak pasca putusan Mk. Namun luka yang belum sembuh itu seakan kembali dicabik dan berdarah.

Jika sudah begini, Akankah kembali menggantung asa pada demokrasi? Demokrasi memang ajaib. Meski telah terbukti gagal membawa perubahan yang lebih baik, banyak melahirkan politisi busuk, dan terbukti curang. Namun, mantra demokrasi masih membuai sebagian besar aktivis perubahan, bahwa demokrasi adalah satu- satunya jalan perubahan. Mantra yang sering kita dengar didengungkan berulang- ulang. Narasi yang disuguhkan kepada para aktivitis perubahan, “ jika ingin mengubah sebuah bangsa, maka terjunlah kedalam politik (read : Politik praktis). Rebutlah kursi parlemen, ambilah kekuasaan dengan berpartisipasi dalam pemilu”.

Rekonsiliasi harusnya menjadi akhir bagi kita umat berharap pada demokrasi , khususnya kaum muslim. Saatnya menata ulang arah perjuangan. Masifnyan kecurangan dan keluarnya putusan MK, ditambah rekonsiliasi harusnya membuat kita sadar bahwa demokrasi sejatinya tidak pernah berpihak pada Islam. Demokrasi hanya membuka jalan bagi pemimpin muslim tapi tidak untuk sistem Islam . Slogan "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat" hanyalah ilusi yang terus diprogandakan. Dalih kedaulatan ditangan rakyat, seolah rakyat diberikan kuasa untuk merumuskan hukum dan perundang-undangan sehingga sesuai dengan harapan- harapan rakyat. Namun slogan itu hanyalah omong kosong. Demokrasi yang digadang- gadang merupakan sistem terbaik, nyatanya gagal mewujudkan rasa keadilan dan kesejateraan bagi rakyat.

Menata Arah Perjuangan

Bagi seorang muslim, menerapkan Islam secara kaffah adalah kewajiban. Karena penerapan Islam lah satu- satunya yang mampu menjadikan Islam Rahmatan lil alamin. Sejarah panjang penerapan Islam telah membuktikan bahwa hanya Islamlah yang mampu membawa manusia dan seliuruh alam pada kesejateraan dan kebangkitan. Negeri ini bisa melepaskan diri dari jerat penjajahan asing dan menjadi bangsa yang gemilang dan diperhitungkan dimata dunia, hanya jika mengambil islam sebagai solusi. Maka sudah seharusnya oreantasi perjuangan umat Islam saat ini adalah mewujudkan kembali kehidupan Islam.

Namun, mungkinkah menjadikan demokrasi sebagai jalan perjuangan umat Islam? Maka layaknya para aktivis Islam memperhatikan hal berikut:

Pertama, Demokrasi bukan berasal dari Islam, namun berasal dari peradaban sekuler yang bertentangan dengan Islam. Demokrasi menjadikan kedaulatan ditangan rakyat (read : manusia), ini jelas bertentangan dengan Islam yang menjadikan kedaulatan hanya ditangan Allah SWT. Demokrasi juga menjadikan standar baik dan buruk belandaskan akal manusia dan suara mayoritas (voting), maka demokrasi membuka peluang bagi perkara yang haram menurut Islam menjadi boleh, misal legalnya Riba, Zina dan Khamar.

Kedua, demokrasi mengancam idealisme. Para aktivis Islam akan terjangkit sikap pragmatisme. Ini sulit dihindari karena dalam sistem demokrasi akan terjadi kompromi, baik dengan partai sekuler maupun dengan rezim dzolim. Idealisme hanya akan menjadi cita-cita karena berbenturan dengan berbagai ide yang bertentangan dengan Islam. Munculnya win win solution dalam perkara yang haram bisa saja terjadi.

Ketiga, hanya menawarkan ganti rezim tidak ganti sistem. Setiap sistem pasti memiliki mekanisme untuk mempertahankan dan mengokohkan sistemnya. Begitupun demokrasi. Maka diselenggarakan sebuah even sirkulasi di lingkaran kekuasaan. Even itu dinamakan pemilu. Demokrasi memang sangat mungkin menjadikan aktivis dan tokoh muslim menjadi seorang pemimpin, namun demokrasi tidak memberi ruang bagi Islam untuk diterapkan. Apa yang menimpa partai FIS di Aljazair, Hamas di Palestina dan Ikhwanul Muslimin di Mesir,dan pemilu 2019 yang baru saja berlalu, harusnya menjadi pelajaran bagi para aktivis Islam yang merindukan perubahan.

Perubahan Rezim Dan Sistem

Sebagai seorang muslim. Tentu suri tauladan kita adalah Rasulullah SAW. Begitupun dalam menentukan arah perjuangan. Jika kita telusuri arah perjuangan Rasulullah SAW, maka kita akan melihat beberapa hal sebagai refleksi arah perjuangan kita saat ini.

Pertama, Rasulullah SAW melakukan dakwah secara berjamaah. Aktivitas utama Rasulullah Saw adalah dakwah. Inilah yang mewarnai hidup beliau. Mulai dari dakwah kepada keluarga, kepada orang-rang terdekat beliau, kemudian lingkungan sekitar. Diawali dakwah secara sembunyi- sembunyi hingga datang perintah dakwah secara terang-terangan. Dakwah Rasulullah SAW tak hanya sendirian, beliau menghimpun para sahabat beliau dalam satu kelompok dakwah yang dipimpin oleh Rasulullah SAW sendiri.

Kedua, dakwah Rasulullah SAW tidak mengenal kompromi. Rasulullah SAW berdakwah dengan lugas tanpa bermanis muka di hadapan para pembesar Quraisy. Rasulullah SAW tidak mencampurkan haq dan yang bathil. Hingga nampak mana ajaran Islam dan mana tradisi jahiliah yang menyesatlkan. Rasulullah SAW pernah ditawari kekuasaan oleh para pembesar Quraisy dengan syarat meninggalkan aktivitas dakwah. Namun, Rasulullah Saw menolak. Sikap Rasulullah ini harusnya juga dimiliki oleh para aktivitis perjuangan dan pengemban dakwah. Harus berani berdiri tegak menantang kedzaliman, tidak lemah, apalagi sampai mau ber-rekonsiliasi menerima kecurangan.

Ketiga, Rasulullah Saw berdakwah mengubah rezim dan sistem. Rasulullah Saw tidak hanya mengajak memeluk Islam namun juga mewujudkan masyarakat Islam, yaitu mengganti sistem jahiliah sengan sistem Islam. Upaya Rasulullah SAW mendatangi kabilah bani Tsaqif, Bani Kindah, Bani Kilab, Bani Amir bin Sha’sha’ah, Bani Hanifah, Suku Aus dan Kazraj dan bani lainnya, bukan hanya sekedar agar mereka memeluk Islam namun meminta mereka menjadi penolong dakwah dan mewujudkan Negara Islam. Itulah esensi hijrahnya Rasulullah Saw ke Madinah, Rasulullah Saw menegakkan Islam di Madinah, mengganti Instusinya dengan Instutisi Islam, membangun masyarakat Islam, menerapkan hukum Islam serta keamanan Negara dikntrol penuh oleh Umat Islam.

Alhasil sudah saatnya umat Islam membuka mata, bahwa demokrasi bukanlah jalan perubahan yang hakiki. Pesta demokrasi hanyalah permainan para elit politik atas nama rakyat. Pada akhirnya hanyan jadi ajang bagi- bagi kekuasaan. Sudah saatnya umat mengarahkan perjuangannya pada islam. Sudah saatnya umat, gerakan dan partai Islam fokus mendakwahkan syariah Islam agar dapat diterima oleh berbagai kalangan sehingga mereka mendukung penerapan Islam secara Kaffah bersama- sama menyiapkan umat menyambut kebangkitan Islam dengan tegaknya kembali kepemimpinan umat Islam yang mengikuti manhaj kenabian. Wallahu a’lam Bishowab.

Penulis: Lina Revolt (Komunitas Emak- Emak Peduli Bangsa)
×
Berita Terbaru Update