Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

BPJS Tekor, Bukti Pincangnya Demokrasi!

Rabu, 07 Agustus 2019 | 20:23 WIB Last Updated 2019-08-07T12:26:41Z
Lorong Kata --- BPJS atau Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan merupakan salah satu program jaminan kesehatan yang digadang pemerintah sebagai alternatif asuransi kesehatan. Sejak awal kemunculan lembaga ini, menuai banyak pro dan kontra diberbagai kalangan masyarakat yakni tidak meratanya kepesertaan BPJS kesehatan. Tidak hanya itu, BPJS sebagai lembaga jaminan kesehatan kini menuai berbagai penolakan dan ganti rugi.

Mulai dari banyaknya keluhan masyarakat tentang pelayanan kesehatan hingga pada keuangan BPJS dari tahun ke tahun yang mengalami defisit berkepanjangan. Hal ini dilansir dari CNNIndonesia.com (31/7/2019) bahwa di tahun 2014 atau tahun pertama berlakunya BPJS Kesehatan tekor Rp 3,3 triliun, dan membengkak menjadi Rp 5,7 triliun di tahun 2015. Terulang di tahun 2016 dan 2017, hingga defisitnya saat ini mencapai Rp 19,41 trilun.

Dalam mengatasi permasalahan defisit tersebut melalui Wakil Presiden Yusuf Kalla, pemerintah kemudian sepakat menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Tak hanya itu, pemerintah melakukan penonaktifan terhadap beberapa Penerima Bantuan Iuran (PBI).

Berdasarkan Keputusan Menteri Sosial nomor 79 tahun 2019 tentang penonaktifan dan perubahan Bantuan Iuran Jaminan tahun 2019 tahap keenam, ada 5.227.852 peserta Badan Penyelenggara Bantuan Iuran (PBI). Sebanyak 5,2 juta peserta PBI tersebut juga telah digantikan oleh peserta lain yang lebih berhak menerima subsidi dari pemerintah. Penonaktifan ini berlaku terhitung sejak 1 Agustus 2019.

Menghadapi berbagai protes masyarakat, Pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan lanjutan yang amant menyakitkan rakayat. Dilansir dari TribunNews.com (Kamis, 1/8/2019) bahwa peserta yang dinonaktifan jika tidak mampu membayar iuran bisa melakukan pendaftaran diri untuk mendapatkan bantuan.

Pertama, mereka yang dinonaktifkan dapat mendaftar kembali menjadi peserta PBI dengan melapor ke Dinas Sosial atau Dinas Kesehatan setempat agar menjadi peserta PBI APBD yang dijamin pemerintah, namun akan akan ada proses seleksi.

Kedua, jika peserta layak menerima namun anggaran dana Pemerintah Daerah setempat belum memadai, maka Dinas Sosial mengusulkan ke Kementerian Sosial untuk menjadi peserta PBI periode selanjutnya.

Ketiga, jika peserta yang dinonaktifkan ternyata mampu membayar iuran sendiri, maka disarankan segera mengalihkan Penerima Bantuan Iuran (PBI) menjadi Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta berkelas.

Penonaktifan ini disetujui oleh pemerintah karena menurut JK, Jokowi untuk perbaikan manajemen serta sistem kontrol BPJS kesehatan. Selain itu, pemerintah juga setuju melakukan desentralisasi yakni penyerahan kekuasaan pemerintah pusat oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom, dalam hal ini pengalihan tanggung jawab dengan tujuan mudah dalam mengontrol 2.500 yang melayani BPJS dapat dibina, diawasi oleh gubernur atau bupati (m.liputan6.com, 30/7/2019).

Pengalihan Tanggung Jawab

Menurut Asih Miroslaw, dari German Technical Cooperation (GTZ), LSM yang berperan aktif dalam membidani kelahiran JKN. Mengungkapkan bahwa dasar dari ide Jaminan Kesehatan Sosial yaitu adanya pengalihan tanggung jawab penyelenggara jaminan kesehatan dari pemerintah kepada institusi yang memiliki kemampuan tinggi untuk membiayai pelayanan kesehatan atas nama jaminan kesehatan social. Selain itu, menurut Asih dan Miroslow “Pembangunan Sistem Jaminan Kesehatan Sosial: Bagaimana jaminan kesehatan dapat membuat perubahan?” (www.sjsn,menkokesra.go.id).

Pengalihan tanggung jawab tersebut secara nyata membuktikan bahwa sistem JKN dan BPJS Kesehatan adalah pengalihan tanggung jawab dari pundak negara ke pundak selutuh rakyat. Dengan pengalihan tersebut, jaminan kesehatan yang seharusnya menjadi kewajiban negara justru menjadi kewajiban rakyat. Rakyat diwajibkan untuk saling membiayai pelayanan kesehatan diantara mereka melalui sistem JKN ataupun BPJS Kesehatan dengan prinsip asuransi sosial.

Bukam hanya itu, Sejak awal, MUI sendiri sudah mengeluarkan fatwa keharaman BPJS.  MUI mengharamkan BPJS dengan alasan-alasan yang digunakan untuk mengharamkan asuransi konvensional (at ta`miin), yaitu adanya unsur gharar (ketidakpastian, uncertainty), riba (bunga), dan maisir (judi/spekulasi).

Namun tetap saja, alasan-alasan tersebut menurut Ustadz. Siddiq Al-Jawi belum lengkap. Setidaknya dapat ditambahkan dua alasan. Pertama, perlu ditambahkan alasan yang lebih mendasar untuk haramnya asuransi konvensional, yaitu akadnya yang memang tak sesuai syariah, bukan sekadar karena gharar, riba, dan maisir. Kedua, perlu ditambahkan alasan keharaman BPJS dari segi ketidaksesuaiannya dengan hukum Islam mengenai jaminan kesehatan seluruh rakyat secara gratis oleh negara (www.anaksoleh.net).

Sudah ada peringatan mengenai keharaman BPJS nah, masih saja dilaksanakan. Memang sistem sekarang nyata sekuler. Mereka tidak mau mengambil aturan agama (syariat Islam) sebagai aturan yang harusnya dijalankan. Terbukti ketika manusia memaksakan pemikirannya dan mengabaikan aturan Allah SWT, masalah demi masalah pun tak kunjung usai.

Memang Indonesia adalah negara terjajah oleh hegemoni barat dengan segala pemikiran kapitalisme. Dalam membuat kebijakan negara pun akhirnya mereka tidak bisa lepas dengan kebijakan yang dibuat oleh dunia di bawah kapitalisme. Kita tahu konsep Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang digunakan oleh BPJS itu sesungguhnya berasal berasal dari WTO (Word Trade Organization), yaitu institusi perdagangan global, pimpinan Amerika Serikat, yang wajib memasukkan layanan kesehatan sebagai salah satu kesepakatan perdagangan global, yang disebut dengan GATS (General Agreements Trade in Services) sejak tahun 1994.

Dengan kata lain, konsep ini yang melandasi lahirnya BPJS tersebut sesungguhnya muncul dari pandangan sistem ekonomi kapitalisme ala Barat. Maka jangan heran jika, aktivitas ekonomi semuanya akan digerakkan oleh sektor swasta. Negara tidak perlu mengurus langsung kebutuhan layanan kesehatan rakyatnya. Dalam hal ini, BPJS-lah yang akan berperan sebagai pihak swasta, yang telah ditunjuk oleh Pemerintah, untuk menjalankan “bisnis” asuransi kesehatan kepada rakyatnya. Corak layanan kesehatan dengan mekanisme pasar seperti ini bisa disebut dengan corak layanan kesehatan ala ekonomi neoliberalisme.

Sejatinya, kesehatan merupakan hak yang harus didapatkan oleh setiap masyarakat dan dijamin oleh negara. Namun demikian, hal tersebut tidak didapatkan dalam kondisi hari ini. Bukannya mendapatkan jaminan kesehatan dari negara melainkan justru negara dengan rela melepaskan tanggung jawab dan mengambil kebijakan dengan keputusan penonaktifan dan rakyat justru diburu untuk taat bayar iuran.

Lantas, kemanakah peminpin negeri ini? Bukankah pemimpij layaknya seorang pelayan?. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka” (HR.Ibnu Asakir, Abu Nu’aim). Sehingga jelas, dalam Islam seorang kepala negara adalah pelayan bagi rakyatnya, bukan sebaliknya rakyat yang melayani penguasa. Islam memandang bahwa kebutuhan atas pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi kewajiban neegara untuk selurunhya baik muslim maupun non muslim. Wallahu’A’lam.

Penulis: Nur Mila Sari Usman, Mahasiswi Kesmas UNHAS.
×
Berita Terbaru Update