Pada dasarnya prinsip liberal telah diadopsi Indonesia sejak kemerdekaan tahun 1945. Itu terlihat jelas di dalam pembukaan dan beberapa pasal yang terdapat di dalam batang tubuh UUD 1945. Walaupun Soekarno menolak peranan hak asasi dalam negara demokrasi, karena dianggap sebagai cikal bakal dari individualisme dan liberalisme, Pancasila dan UUD 1945 tidak bisa menghindari masuknya prinsip-prinsip liberal tersebut. Buktinya adalah diadopsinya prinsip-prinsip liberal di dalam konstitusi negara, yaitu bentuk pemerintahan Indonesia sendiri.
Indonesia mengadopsi sistem pemerintahan republik presidentil, dengan prinsip pembagian kekuasaan (separation power) yang diajarkan Montesquieu.
Sistem kapitalis liberal ini sejalan dengan penerapan sistem demokrasi berbiaya mahal. Ketika pemilu yang diikuti oleh banyak partai politik tak mampu melahirkan kestabilan politik, solusinya adalah presiden, wakil presiden serta seluruh kepala daerah harus dipilih langsung oleh rakyat. Pemilihan langsung inilah yang membuat biaya untuk menduduki sebuah kekuasaan menjadi tinggi.
Di kemudian hari, sistem politik Indonesia memberikan ruang legalitas yang sangat luas bagi masuk dan berkembangnya ide-ide liberal. Indonesia yang semula menganut sistem kesatuan, pelan-pelan mempraktikkan sistem yang mirip federasi. Otonomi daerah dibuka. Kepala daerah menjadi raja-raja kecil di daerahnya. Hubungan dengan kekuasaan di pusat seolah menjadi hanya sekadar hubungan administratif.
Sistem kapitalis liberal inilah yang bertanggung jawab terhadap rusaknya tatanan masyarakat di berbagai aspek kehidupan. Yang paling menonjol adalah liberalisasi ekonomi. UUD 1945 yang baru, membuka kran seluas-luasnya bagi masuknya investor asing. Tak mengherankan jika kemudian lahir UU Migas, UU kelistrikan, UU sumber daya air, UU penanaman modal sebagai turunan dari UUD 1945 hasil amandemen.
Liberalisasi ekonomi ini merupakan wujud atas kesepakatan pemerintah saat itu (Soeharto) dengan IMF guna menangani krisis ekonomi Indonesia sejak 1997. Resep IMF itu adalah penghentian subsidi harga, pemotongan pengeluaran pemerintah dan dibukanya penghalang bagi investor asing. Dampak liberalisasi ekonomi yang paling terasa bagi rakyat adalah kenaikan harga bahan bakar minyak.
Liberalisasi pun merambah dibidang sosial. Tontonan rusak tak mendidik kian hari kian meningkat. Para kalangan sekular bahkan pernah menggugat undang-undang perfilman. Mereka menginginkan lembaga sensor dihapuskan karena dianggap menghalangi kreativitas insan perfilman. Melalui tontonan rusak tersebut, banyak kalangan terutama ibu-ibu dan para remaja yang terpengaruh hingga meniru apa yang mereka tonton.
Lihatlah film Dilan 1990, para emak-emak pun ikutan baper ketika menontonnya, terlebih lagi remaja yang masih labil. Semuanya menunjukkan rusaknya tatanan kehidupan yang tegak di atas asas sekularisme, liberalisme dan materialisme.
Penulis: Ummu Salman