Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Deradikalisasi: Lagu Lama Deislamisasi

Rabu, 30 Oktober 2019 | 13:02 WIB Last Updated 2019-10-30T05:02:40Z
Lorong Kata - Deradikalisasi secara bahasa berasal dari kata ”radikal” yang mendapat imbuhan ”de” dan akhiran ”sasi”. Kata deradikalisasi di ambil dari istilah bahasa Inggris “deradicalization” dengan kata dasarnya radikal. Radikal sendiri berasal dari kata ”radix” dalam bahasa Latin artinya ”akar”. Maka yang dimaksud ”deradikalisasi” adalah sebuah langkah untuk merubah sikap dan cara pandang yang –dianggap- keras menjadi lunak; toleran, pluralis, moderat dan liberal.

Jika kita mundur ke beberapa tahun sebelumnya, jualan radikalisme begitu laris dipasar sekuler Indonesia sejak bergulirnya kasus penistaan agama. Label radikalisme disematkan pada mereka yang berjuang sepenuh hati membela al qur’an dan ingin menerapkan syariah Islam dalam skala negara. Mirisnya lagi, ilustrasi dari penyematan radikalisme ini diidentikkan seolah memiliki dimensi yang menakutkan. Bahkan, radikalisme dianggap sebagai suatu faham yang menginspirasi terjadinya berbagai teror dan lahirnya para teroris. Padahal jika ingin adil dan waras dalam menilai, makna kata radikal itu sendiri adalah netral. Bahkan sangat bagus jika radikal ini ditujukan ke ummat Islam karena berarti bahwa ummat tersebut adalah ummat yang mengakar keislamannya dan ingin taat sepenuhnya kepada Sang Pencipta.

Merasa penting bahayanya, pemerintah hingga hari ini juga tidak main-main untuk menghentikan paham yang dianggap berbahaya ini. Pemerintah dalam susunan kabinet terbaru menunjuk Bapak Jend Fachrul Razi sebagai Menteri Agama, Tito Karnavian Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kummolo Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan Mahfud MD Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Jika melihat formasi tersebut, terlihat sinyal pemerintah lima tahun ke depan berfokus pada persoalan melawan radikalisme di Indonesia.

Bahkan Fachrul Razi, usai pelantikan kabinet Indonesia Maju mengatakan bahwa ia sedang menyusun upaya-upaya menangkal radikalisme di Indonesia. Ia mengakui Presiden memilihnya karena dianggap mempunyai terobosan menghadapi radikalisme. Kemudian, ada Tito Karnavian yang merupakan mantan Kapolri. Ia juga pernah menjabat sebagai Kepala Densus 88 Antiteror Polri dan Kepala Badan Nasional Penganggulangan Terorisme (BNPT). Ada juga Menko Polhukam Mahfud MD pernah menjabat sebagai anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Selain itu, Tjahjo Kumulo memiliki rekam jejak mendukung pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia, dan mempersulit perpanjangan izin ormas Front Pembela Islam di Kemendagri. Kini Thajo menjabat Menpan RB.

Baik, sebelum terlalu jauh merespon fakta agenda deradikalisasi ini, penting bagi kita bersama untuk mengetahui sejarahnya. Program “deradikalisasi“ yang dicanangkan pemerintah dan beberapa ulama di Indonesia awalnya dimaksudkan untuk mempersatukan umat, namun faktanya kini justru menimbulkan perpecahan di kalangan ummat Islam sendiri. Jika ditelaah lebih dalam, program deradikalisasi ini sama dengan roadmap RAND Corporation yang merupakan NGO (Non Governmental Organization), sebuah LSM dari Amerika Serikat. Lembaga ini dibiayai kebanyakan konglomerat Yahudi. Hasil temuannya sering dijadikan pedoman sikap pemerintah AS. Salah satu program terpopulernya adalah war on terrorism atau perang melawan teroris. Sebagaimana ditulis dalam monografi terbitan RAND Corporation (2007) yang ditulis oleh Angel Rabasa, Cheryl Benard, Lowell H.Schwartz, dan Peter Sickle dengan judul “Building Moderate Muslims Networks“ mengatakan, “Penafsiran radikal dan dogmatis Islam telah mendapatkan tempat dalam beberapa tahun terakhir di kalangan ummat Islam melalui jaringan Islam dunia dan Diaspora Muslim masyarakat Amerika Utara dan Eropa.

Meskipun mayoritas di seluruh dunia Muslim, kaum moderat belum mengembangkan jaringan yang sama untuk memperkuat pesan mereka dan untuk memberikan perlindungan dari kekerasan dan intimidasi. Dengan pengalaman yang cukup, membina jaringan orang-orang berkomitmen untuk ide-ide bebas dan demokratis selama Perang Dingin. Amerika Serikat memiliki peran penting sebagai pengatur permainan dalam “lapangan bermain“ untuk Muslim moderat. Para penulis mendapatkan pelajaran dari AS dan sekutu Perang Dingin, jaringan bangunan pengalaman, menentukan penerapan mereka untuk situasi saat ini di dunia Islam, menilai efektivitas program pemerintah AS, keterlibatan dengan dunia Muslim, dan mengembangkan peta jalan untuk mendorong pembangunan jaringan Muslim moderat.”

Hal yang sama disampaikan dalam laporan ringkasan (summary) Rand “Deradicalizing Islamict Extremist” (2010) oleh Angel Rabasa, Stacie L.Pettyjhon, Jeremy J.Ghez, Christoper Boucek yang mengatakan, “Ada sebuah konsensus muncul di antara analis kontraterorisme dan praktisi bahwa untuk mengalahkan ancaman yang ditimbulkan oleh ekstremisme Islam dan terorisme, ada kebutuhan untuk melampaui keamanan dan intelijen tindakan, mengambil langkah-langkah proaktif untuk mencegah individu yang rentan dari radikalisasi dan merehabilitasi mereka yang sudah memeluk ekstremisme. Konsepsi yang lebih luas kontraterorisme diwujudkan dalam program kontra-dan deradicalization dari sejumlah Tengah Timur, Asia Tenggara, dan negara-negara Eropa.

Setali tiga uang dengan Rand Corporation. ICG (International Crisi Group) juga ada di balik proyek deradikalisasi. ICG memang fokus pada persoalan teroris di Asia tenggara khususnya Indonesia. Hal ini sebagaimana laporan mereka “Indonesian Jihadism: Small Groups Big Plans” Asian Report No204 19 April 2011. ICG memberikan rekomendasi kepada BNPT dan Menteri Hukum dan HAM.

Dari penelusuran dan persamaan ini, jelas ada keterlibatan asing dibalik masifnya agenda deradikalisasi di Indonesia. Hal ini menunjukan bahwa Indonesia tidak berdaulat. Indonesia terus didikte secara politik oleh asing dan ini sangat berbahaya.

Hasil dari masifnya agenda deradikalisasi yang bisa kita lihat sekarang ini, umat justru semakin terpecah-belah dengan kategorisasi radikal-moderat, fundamentalis-liberal, Islam ekstrem-Islam rahmatan, Islam garis keras-Islam toleran dan istilah lainya yang tidak ada dasar pijakannya dalam Islam. Hal ini mirip seperti langkah Orentalis memecah-belah umat Islam dengan memunculkan istilah “Islam putihan” (berasal dari bahasa arab: muthi’an/taat) dan “Islam abangan” (aba’an/pengikut/awam). Umat Islam yang taat ditempatkan sebagai musuh karena membahayakan penjajahan.

Bahaya lain dan paling utama dari kampanye deradikalisasi yaitu menjadikan umat jauh dari pemahaman agamanya dan sikap berislam yang tidak kaffah (menyeluruh) dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Padahal, Allah SWT berfirman dalam QS Al Baqarah ayat 208:

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.

Pada akhirnya, umat tidak mampu menjadikan Islam sebagai akidah dan syariah secara utuh serta sebagai pedoman spiritual dan kehidupan politik. Maka dari itu, bisa disimpulkan bahwa deradikalisasi sesungguhnya adalah upaya deislamisasi terhadap mayoritas umat Islam yang menjadi penghuni negeri ini dan ingin taat sepenuhnya kepada Sang Penciptanya. Semoga saja kita semua diberi hidayah dan taufiq oleh Allah SWT.

Penulis: Despry Nur Annisa Ahmad, ST., M.Sc (Aktivis Muslimah dan Pengajar)
×
Berita Terbaru Update