Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Refleksi Radikalisasi Sekulerisme di Sistem

Rabu, 30 Oktober 2019 | 13:22 WIB Last Updated 2019-10-30T05:22:17Z
Lorong Kata - Dilansir dari berbagai media, seorang siswa SMK di Kota Manado berinisial FL (16) melakukan aksi keji dengan menusuk guru agamanya, Alexander Pangkey (54), Senin (21/10/2019). Penusukan guru agama ini diduga dilatar belakangi karena tak terima ditegur saat sedang merokok di lingkungan sekolah Akibatnya, FL sang siswa SMK ini pun mendatangi sang guru agama dan langsung menikamnya berkali-kali menggunakan pisau yang sudah ia persiapkan. Rupanya, video detik-detik saat korban Alexander Pangkey ditusuk siswanya pun sempat beredar di sebuah WhatsApp. Kasus tak berada yang ditunjukkan oleh seorang siswa pada guru sebenarnya bukan kali ini saja. Kejadian ini telah berulang berkali-kali. Pada Februari 2019 lalu, kasus penganiayaan guru oleh siswa juga terjadi di Gresik. Pada Mei 2019, kasus serupa juga terjadi di Medan.

Deretan fakta tersebut membuktikan bahwa kian masa, seorang murid sudah tidak lagi mempunyai rasa sopan santun terhadap gurunya. Bahkan dengan tega untuk melakukan hal keji seperti itu. Jika kita amati dengan mendalam, penyebab kejadian yang seperti ini terus berulang karena sampai di titik ini karena disebabkan kurikulum pendidikan nasional tak lagi menganggap nilai keimanan sebagi suatu pendukung bagi peningkatan mutu pendidikan. Padahal muatan utama dari sebuah sistem pendidikan yang berlangsung adalah karakter dan kompotensi. Percuma kompotensi ada sementara karakter menjadi manusia yang berakhlak mulia, apalagi terhadap guru ditiadakan.

Seharusnya, banyaknya kasus penganiayaan siswa terhadap guru menjadi bahan refleksi untuk sistem pendidikan hari ini yang semakin mengalami radikalisasi sekulerisme. Sekulerisme berhasil membuat sistem yang sedang berjalan ditentukan menurut hawa nafsu manusia. Penerapan sekulerisme yang terjadi secara mendalam di sektor pendidikan terbukti menjadikan mahasiswa didik tidak sepenuhnya tedidik dan tertuntun berdasar wahyu. Mereka justru fokus tertuntut pada sebuah standar nilai yang tidak menghadirkan peran Sang Pencipta didalamnya. Alhasil, menjadi manusia yang berakhlak mulia, utamanya pada guru sudah sangat sulit tercipta.

Islam adalah agama ruhiyah sekaligus siyasiyah. Islam turun ke muka bumi ini sebagai pelengkap ajaran sebelumnya. Jika agama lain hanya memiliki aturan bagaimana mendekatkan diri pada Sang Penciptanya di ranah pribadi, maka Islam turun melengkapi ajaran tersebut dengan memiliki aturan bagaimana kita seorang individu seharusnya bersikap ketika berada dalam lingkup kehidupan bermasyarakat bahkan bernegara sekalipun. Maka bisa dikatakan bahwa, hanya Islam yang memiliki aturan wahyu yang mengatur tentang sistem pendidikan itu sendiri. Dalam kerangka konsep utuhnya, Islam mengatur manusia dalam 3 zona dimensi. Dimensi pertama, Islam mengatur hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Dimensi kedua, Islam mengatur hubungan manusia terhadap dirinya sendiri. Dimensi ketiga, Islam mengatur hubungan manusia dalam ruang sosial yang konteksnya kehidupan bermasyarakat maupun kehidupan bernegara. Sistem Pendidikan itu sendiri, berada dalam dimensi yang ketiga ini dalam Islam.

Paradigma mendasar dari sistem pendidikan Islam ialah menjadikan akidah Islamiyah sebagai dasarnya. Karena itu keimanan dan ketakwaan juga akhlak mulia akan menjadi fokus yang ditanamkan pada anak didik. Halal haram akan ditanamkan menjadi standar. Dengan begitu anak didik dan masyarakat nantinya akan selalu mengaitkan peristiwa dalam kehidupan mereka dengan keimanan dan ketakwaannya.

Dengan semua itu, Pendidikan Islam akan melahirkan manusia yang berkarakter taat kepada aturan wahyu bukan nafsunya; mengerjakan perintahNya dan meninggalkan laranganNya. Ajaran Islam akan menjadi bukan sekedar hafalan tetapi dipelajari untuk diterapkan, dijadikan standar dan solusi dalam mengatasi seluruh persoalan kehidupan.

Ketika hal itu disandingkan dengan materi sains, teknologi dan keterampilan, maka hasilnya adalah manusia-manusia berkepribadian Islam sekaligus pintar dan terampil. Kepintaran dan keterampilan yang dimiliki itu akan berkontribusi positif bagi perbaikan kondisi dan tarap kehidupan masyarakat.

Sejarah telah mencatat, dulu di masa aturan Islam menaungi banyak negeri, lahirlah cendekiawan dan ilmuwan yang ahli berbagai bidang. Semisal Al Khawarizmi, seorang ahli matematika, dikenal Barat dengan Algebra atau Aljabar. Dengan kecerdasannya, beliau merumuskan hitungan matematika jauh lebih mudah dengan angka nol ketika kala itu Peradaban Romawi masih menggunakan angka romawi yang susah dipelajari.

Seorang ahli kimia, Jabir Ibnu Hayyan atau dikenal dengan nama Ibnu Geber hingga rumusan beliau menjadi dasar bagi ilmuwan Barat di bidang kimia. Bapak kedokteran dunia, Ibnu Sina atau dikenal Avicenna, Ibnu Rusyd, Al Farabi, dan lainnya menjadi bukti bahwa ulama di masa peradaban islam tak melulu lihai dalam ilmu agama, namun juga menguasai ilmu umum, sains dan teknologi.

Kegemilangan Islam dan peradabannya di pentas dunia membuat Barat segan terhadapnya. Karena faktor keberhasilan mereka adalah keimanan dan keilmuannya. Tak adakah rasa rindu kita mewujudkan generasi milenial menjadi generasi terbaik seperti pendahulu mereka? Sudah saatnya selamatkan generasi kita. Teladan sudah ada, contoh perwujudannya sudah tercatat dalam sejarah. Bahwa satu-satunya kunci ketinggian peradaban generasi terdahulu adalah menjadikan Islam sebagai jalan hidup. Dengan kurikulum yang berlandaskan aqidah Islam dan Negara meriayah, bukan sebuah utopia lahir generasi yang tinggi akhlaknya, cerdas akalnya, dan kuat imannya.

Berharap pada sistem kapitalisme yang beraqidah sekulerisme, bukanlah solusi mendasar menyelesaikan persoalan generasi yang kian brutal dan minus kepribadian. Hanya Islam yang mampu. Tentu saja, jika Islam dijadikan landasan dalam kehidupan individu, masyarakat, dan negara.

Penulis: Fatimah Az Zahra Ayu (Aktivis Back to Muslim Identity)
×
Berita Terbaru Update