Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Lebaran Antara Kemenangan Dan Kegalauan

Minggu, 24 Mei 2020 | 09:39 WIB Last Updated 2020-05-24T01:39:17Z
Ulianafia (Lingkar Study Peduli Generasi dan Peradaban)
LorongKa.com - Ramadhan telah jauh meninggalkan. Kini takbir telah menggema dalam setiap dada dan terlafat dalam setiap lisan manusia-manusia yang beriman. Namun, tidak sesdikit yang terus menyeka air mata, yang mengalir tanpa diminta. Berbagai rasa terasa berkecambuk dalam dada. Karena memang lebaran tahun ini berbeda.

Tiada yang meyalahkan, baik tangisan keimanan karena ditinggal ramadhan, tangisan keharuan karena bisa berada diujung kemenangan hari raya maupun tangisan kesedihan karena tidak bisa bersua dengan keluarga di hari bahagia. Tentu hal ini adalah suatu yang baru terjadi pada umat muslim di abad ini. Sehingga, begitu nampak terpukul akan kondisi yang tidak terprediksi ini.

Seperti biasa di ramadhan dan lebaran di tahun-tahun lalu selalu disemarakkan dengan berbagai aktivitas ibadah, seperti sholat tarawih, buka bersama, tadarusan sampai ikhtikaf di masjid-masjid. Selain itu juga tidak ketinggalan berburu aneka kue lebaran dan pakaian, bagi-bagi ampao, saling berkunjung, mudik, dan liburan. Semua seakan telah menjadi kebutuhan umat muslim masa kini saat menyambut hari raya.

Namun kini, umat harus rela untuk meninggalkan semua itu. Rela bertahan diperantauan, rela menahan rindu yang telah menggebu, rela meninggalkan semaraknya sholat I'd berjamaah, dan bahkan rela tidak bersua anak istri meski dalam satu atap. Terkhusus merekalah para tenaga medis.

Semua dilakukan tiada lain atas nama cinta. Perasaan dan berbagai penderitaan hidup seakan tidak mampu mengalahkan keterpurukan ini. Namun, cinta kepada diri, keluarga dan saudara adalah hal yang harus diperjuangkan.

Semua nampak sangat mencengangkan. Karena memang ada banyak hal yang melatarbelakangi kondisi umat muslim abad ini. Pertama, sekularisme sebagai aqidah kapitalisme yang telah menjauhkan umat ini dengan agamanya. Sehingga, agama tiada dilihat kecuali hanya sebatas kesholihan individu atau agama ritual semata, seperti sholat, puasa, zakat dan haji. Sedang kapitalisme menjadikan tujuan hidup pada asas kemanfaatan.

Dari sini secara auto umat akan kehilangan marwah dan kekuatan Islam yang sesungguhnya. Sebagaimana, penerapan Islam dalam seluruh aspek kehidupan yang terabaikan. Jadilah umat akan menelan mentah-mentah apapun yang diangap bermanfaat meski bertentangan dengan islam.

Selanjutnya, umat yang sekular tentu akan merapuhkan kualitas keimanannya. Dan yang nampak kentara dalam kondisi ini ialah keimanan terhadap qadha dan qadar serta baik buruknya semua dari Allah SWT yang nampak rapuh atau bahkan hilang. Sebab, jika keimanan kuat, maka cukup kesabaran dan pertaubatan sebagai penyelesaian kondisi ini.

Kedua, lepasnya ikatan agama menjadikan mudahnya umat muslim menelan berbagai ajaran dari luar Islam. Sebut saja hedonisme, yang menjadikan kesenangan hidup sebagai tujuan. Yang pada akhirnya lahirlah manusia-manusia pemuja kesenangan yang nampak pada hura-hura, sikap berlebihan, dan berfoya-foya. Dan Inilah fakta umat Muslim hari ini, yang tanpa kesenagan itu kehidupan seakan tidak memiliki arti. Sehingga kesedihan yang sangatpun harus menyelimuti di hari yang fitri.

Padahal seharusnya tidaklah demikian bagi seorang muslim yang imannya lurus. Sebab, aqidah yang kokoh akan mengajarkan setiap Muslim untuk hanya bersandar dan mengembalikan semua pada Allah bukan pada yang lain.

Pemahaman yang mendalam dan mustanir akan kehidupan sebelum dunia (pencipta), tujuan hidup di dunia dan kehidupan setelah dunia (akhirat) akan menjadikan manusia kokoh dan teguh dalam menghadapi setiap keadaan serta tidak akan tertipu dengan setetes nikmatnya dunia.

Dan yang Ketiga, negara lepas tangan terhadap kondisi umat. Hal ini tiada lain karena hilangnya perisai umat Islam abad ini, yaitu kepemimpinan dalam naungan Islam. Dan ini menjadi penyebab mudahnya berbagi paham menghujami dan meruntuhkan iman umat muslim. Karena umat bagaikan anak ayam yang kehilangan induknya.

Selanjutnya, rasa ukhuwah yang telah luntur atau bahkan mati terbunuh oleh rasa nasionalisme. Menjadikan hati umat tidak peka lagi akan kondisi saudara Muslim yang lain. Misalnya saja di Suriah, Palestine, Myanmar, Rohingya, Ghouta, Syam dan umat muslim di belahan bumi lainnya. Yang sudah bertahun-tahun mengalami berbagai penderitaan dan kekejaman dari kekuasaan musuh-musuh Allah. Yang tiada seorangpun penolong bagi mereka kecuali hanya berharap kepada Allah semata.

Jadi jangankan tersenyum karena akan berbuka, apa yang akan dimakan dan diminumpun saja tidak ada. Jangankan sambutan bahagia karena datangnya hari raya, untuk berteduh atau memberi kehangatan pada keluarga dan buah hati yang terus menangispun tidak kuasa. Setiap hela nafasnya yang mengharuskan mereka bertaruh dengan nyawa.

Seharusnya dengan memahami ini umat bisa lebih kuat, bahwa ada urusan yang jauh lebih penting dan lebih besar daripada hilangnya semarak hari raya. Tidak kemudian menjadikan kegalauan yang kurang berdasar menjadi perhatian besar.

Selanjutnya, berkaca kembali kepada kehidupan Rasulullah dan para sahabat bagaimana memaknai ramadhan yang mereka contohkan. Jika mau jujur, sangatlah jauh berbeda dari tradisi ramadhan umat muslim selama abad ini. Sebab, ramadhan bukan momen untuk pengistirahatan diri. Melainkan untuk perjuangan dan pembuktian. Bukan hanya ibadah madhah saja yang ditingkatkan, namun dakwah dan jihad pun dilakukan saat bulan ramadhan. Ini berarti umat muslim berperang dalam kondisi berpuasa.

Inilah wujud sikap kualitas keimanan yang seharusnya diambil oleh setiap Muslim. Menjadikan hari kemenangan ini sebagai pelecut kekuatan untuk menghadirkan kehidupan Islam kembali di muka bumi ini. Sehingga, umat tidak akan kembali mengalami kondisi miris seperti ini. Wallahu'alam.

Penulis: Ulianafia (Lingkar Study Peduli Generasi dan Peradaban)
×
Berita Terbaru Update