Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Pilkada Serentak, Rakyat Tergeletak

Sabtu, 30 Mei 2020 | 20:39 WIB Last Updated 2020-05-30T12:42:40Z
Ratno Prasetio, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sawerigading Makassar
LorongKa.com - Demokrasi menjadi salah satu sistem politik yang paling banyak dianut oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana semua hak warga negara nya mempunyai hak yang sama serta dapat melibatkan diri dari setiap pemgambilan keputusan kebijakan.

Maka secara filosofis system politik Indonesia seluruhnya berakar dari rakyat, oleh rakkyat, dan untuk rakyat. Inilah pondasi system politik pemerintah Indonesia dimana ia harus mengedepankan kedaulatan rakyat termasuk dalam menghadapi penyelenggaraan pilkada serentak tahun 2020.

Menelusuri persiapan pemlihan tahun ini tentu kita tahu banyak agenda KPU yang meleset seluruh tahapan pemilu dihentikan apalagi trend meningkatnya angka golput masyarakat dalam pemilu tiap periode menjadi "PR" buat Komisi Pemilihan Umum, adalah dampak dari Pandemi Covid-19 singkatnya semua menjadi berantakan.

Kegagapan pemerintah dalam menyikapi pandemic tersebut patut di acungi jempol (ke bawah) tidak adanya grand plan yang matang serta tarik menariknya aturan yang diberlakukan cukup disadari bahwa rezim ini sudah saatnya "stroke" sejenak, mungkin inilah azab buat Indonesia terlepas dari perdebatan teori konspirasi.

Puncak dari kegagalan itu ditetapakanlah pilkada serentak di undur 9 pada Desember 2020. Pertanayaan yang paling mendasar adalah seberapa urgensi pilkada serentak ini dilakasanakan kala sedang pandemic Covid19? Apakah dengan pergantian kepemimpinan dapat menuntaskan pandemic Covid19? Sebagai gambaran saat ini jumlah pasien positif Covid19 25.216 dan angka ini terus melayang tinggi dan belum menunujukkan tanda akan melambai.

Maka perhatian pemerintah terpusat dalam memutus rantai penyebaran virus dengan mengalihkan APBN Indonesia untuk membantu korban serta kebutuhan para tenaga kesehatan termasuk pinjaman atau utang USD 4,3 Milliar dari korporat global.

Sayangnya angka yang fantastis tersebut belum sepenuhnya dapat menjamin kelangsungan hidup rakyat. Program Bantuan Langsung Tunai, Bantuan Dinas Sosial, Bantuan “Presiden” dan bantuan lainnya hanya menjadi perebutan proyek oleh elit saat ini. Realitas di lapangan rakyat "di penjara" tak boleh kemana-mana selain di rumah jika ingin keluar harus menggunakan masker layaknya seorang buron ia bergerak dengan senyap ke suatu tempat tanpa jejak.

Tidak adanya kejelasan akan kepastian berakhirnya pandemic Covid19 serta bantuan yang setengah hati dari pemerintah akhirnya menyerahkan juga dengan dilakukan kelongggaran Pemberlakukan Sosial Berskala Besar atau istilah terbaru New Normal.

Rakyat Indonesia harus cepat beradaptasi menghadapi pandemic, semua harus kembali beraktitifas normal dengan standar protocol kesehatan padahal virusnya belum mau berdamai maka muncul lagi istilah baru "Herd Immunity" rakyat didihadapkan melawan dengan kekuatan kekebalan tubuh, inilah yang di maksud New Normal layaknya Genosida maka yang kuat yang bertahan yang lemah akan binasa.

Lalu bagaimana dengan Pilkada serentak 2020? Perlukah?

Ternyata Komisi Pemilihan Umum tak mau ketinggalan ambil bagian "Proyek" ia merengek kepada pemerintah minta tambahan anggara operasional pemilu Rp. 535 Millar. Melalui Ketua KPU Arif Budiman menyapaikan dengan tambahan dana tersebut dialokasikan untuk kebutuhan para petugas penyelanggara seperti alat pelindung diri, cairan desifektan, sabun cuci tangan, dll.

Tentu dalam proses pemilihan pilkada serentak 2020 ini ada pihak-pihak yang pro-kontra jika bersinggungan dengan kepentingan demokrasi. Namun perlu di ingat bahwa kepentingan akan kelangsungan hidup rakyat yang utama. Komisi Pemilihan Umum adalah lembaga yang independen diberikan kewengan khusus untuk menentukan arah demokrasi Indonesia sejogyanga bebas dari intervensi pihak yang ingin membelenggu marwah KPU.

Dengan melihat situasi yang ada sekarang maka KPU harus berani mengambil sikap melakukan terobosan demi terobosan yang tidak merugikan dengan melaksanakan system pemilihan dengan system Computer Asissted Test (CAT) atau system Mobile Asssited Test (MAT) ini hanya isitilah bahasa yang tujuannya sebagai alternative.

Setiap pemilih tidak lagi menggunakan kertas suara melainkan koneksi jaringan internet melalui aplikasi yang telah didesain cukup dengan memasukkan Nomor Induk Kependudukan. Hal seperti ini memang bagi sebagian kelompok mungkin terdengar konyol dan tak masuk akal.

Metode seperti CAT maupun MAT sejatinya belum pernah di gunakan dalam system pemilu namun, untuk sebuah perubahan progresif maka dicoba tentu tak mengapa dengan mempersiapakan infrastrukur yang matang pula. Seperti pada uji coba aplikasi E-Coklit pada, hasil pencocokan data pemilih bisa langsung terkoneksi ke pusat tanpa perlu mengguankan kertas juga menghemat waktu dan tenaga.

Era digitialisasi kini hampir semua orang mempunyai alat komunikasi atau handphone. Berangkat dari asumsi itu maka anggaran pilkada serentak tahun 2020 sebanyak Rp. 9 Triliun jika dibagi dengan 110 jt pemilih yang tersebar pada 270 daerah maka hasilnya kurang lebih Rp. 80.000

Anggaran tersebut dapat disubsidikan voucher internet kepada daftar pemilih. Logika perhitungan sederhana ini tampak sulit dicerna tapi disisi lain pelakasnaan pilkada serentak juga perlu diperhitungkan dengan melihat kenyaataan system demokrasi yang kian hari tak tentu arahnya

Dengan demikian permohonan bantuan dana operasional KPU Rp. 535 Milliar sekiranya disetujui bila dialihkan untuk kebutuhan rakyat akan memberikan nafas tambahan, ya, setidaknya untuk beberapa pekan ke depan.

Penulis: Ratno Prasetio, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sawerigading Makassar.
×
Berita Terbaru Update