Juniwati Lafuku, S.Farm. (Pemerhati Sosial) |
"Mendadak kemarin Kemenag membatalkan haji tanpa menunggu
keputusan Saudi Arabia. Saudi Arabia belum memutuskan haji terselenggara atau
tidak terselenggara, tahu-tahu Kementerian Agama sepihak membatalkan, katanya
sampai batas akhir Mei ini mendesak," ujar Said di kantor PBNU, Jakarta, Rabu
(3/6/2020).
Menurutnya, pemerintah seharusnya sudah memiliki perencanaan dalam pelaksanaan
haji dalam situasi terdesak sekalipun. Sebab, kata Said, pelaksanaan haji
merupakan agenda tahunan. "Kalau saya sih namanya pemerintah jalanin haji
sejak zaman merdeka sampai sekarang tiap tahun nyelenggarain haji, masak nggak
pinter-pinter. Artinya kalau begini, ya begini, kalau begini ya begini, kan
harus ada (perencanaan)," katanya.
Dalam kesempatan itu, Ketua Satgas
COVID-19 DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad yang juga sedang berkunjung ke PBNU
menjelaskan, penyelenggaraan haji di tengah pandemi ini akan menjadi sulit.
Selain itu, biaya yang dikeluarkan juga bisa menjadi membengkak karena perlu
ada physical distancing antarjemaah.
"Kemarin mengenai haji kami juga dikasih
hitung-hitungan dari Menteri BUMN bahwa persiapan haji normal kemudian dalam
suasana COVID ini berbeda persiapannya. Misalnya di pesawat, sampai dengan dua
hari sebelum Menag mengumumkan, mohon maaf kami yang dorong setelah mendengar
beberapa paparan pesawat, misalnya dengan physical distancing itu biaya yang
dikeluarkan pasti berbeda jauh karena penumpang yang 150 cuma bisa 100," kata
Dasco.
Selain itu, belum ada kejelasan pelaksanaan haji oleh Pemerintah Arab
Saudi. Padahal, penyiapan katering, pemondokan, dan transportasi di Arab Saudi
untuk jemaah itu perlu proses. "Karena Pemerintah Arab Saudi juga belum jelas,
nah sementara hitung-hitungan tadi dalam mempersiapkan katering pesawat,
penginapan butuh proses," ucapnya (DetikNews)
Misalnya jatah Indonesia dipangkas hanya tinggal 10 ribu. Meski jauh dari
kuota normal, namun jumlah tersebut menurut Faisal sangat berarti.
"Daftar tunggu kita lama sekali. Walaupun Pemerintah Arab Saudi mengizinkan
misalnya hanya untuk 5 ribu jamaah atau 10 ribu jamaah, saya rasa pemerintah
harus meresponnya," ujarnya.
Jatah tersebut selanjutnya bisa disiasati dengan
memberangkatkan jemaah yang berusia muda. Jumlah jemaah asal Aceh yang
terdampak pembatalan keberangkatan haji berjumlah 4.187. Mereka juga sudah
melunasi biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH).
Kepala Bidang
Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kanwil Kemenag Aceh, Samhudi mengatakan, biaya
yang sudah dibayarkan oleh jemaah ini, nantinya akan dikembalikan bila para
jemaah memintanya. Bagi jamaah haji yang telah melunasi BPIH tahun ini,
maka akan diberangkatkan tahun depan.
Ia mengatakan, jika tahun depan ongkos
haji naik atau turun, maka akan dilakukan penyesuaian. "Kalau ongkos haji
naik, maka jamaah cukup menambahkan berapa yang kurang. Jika ongkos haji
turun, maka setoran jamaah akan dikembalikan sesuai dengan jumlah yang lebih,"
kata Samhudi. (CNNIndonesia)
Selain isu Pembatalan Haji, pemerintah berencana menggunakan dana haji untuk
memperkuat rupiah. Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) memastikan,
akan memanfaatkan dana simpanan yang dimiliki untuk membiayai penyelenggaraan
ibadah haji 2020 untuk kepentingan stabilisasi nilai tukar rupiah.
Sebab,
pemerintah Indonesia resmi tidak mengirimkan jemaah haji pada 2020. Hal ini
menimbulkan pertanyaan baru ditengah masyarakat, sebelumnya, pemerintah juga
gencar menghadang shalat berjamaah dan aktivitas memakmurkan masjid di tengah
pembiaran mal, pasar, dan pembukaan armada transportasi publik.
Seakan wabah
Corona menjadi kambing hitam untuk makin memperpanjang jarak antara hamba dan
Sang Pencipta serta memecah syu'ur Islamiyah. Padahal memberangkatkan jemaah
ditengah pandemi dapat dilakukan, dengan cara memisahkan jemaah lansia dan
muda, yang sehat dan yang sakit melalui protokol kesehatan yang ketat. Karena
Pembatalan keberangkatan sepihak tanpa konfirmasi ke pihak Saudi Arabia,
berpengaruh pada sanksi dan jumlah kuota jemaah haji yang akan diberangkatkan,
tentu daftar tunggu akan semakin lama.
Jangan sampai, dalam urusan pemulihan
ekonomi pemerintah sangat getol melakukan pemulihan, tapi lupa ada hak
Pencipta yang harus ditunaikan semampu mereka, bukan terkesan tidak mau repot.
Sikap pemerintah hari ini mencerminkan arah pandang Kapitalisme sekuler,
peradaban tandus dan gersang nuansa religius. Upaya penanggulangan wabah tidak
merujuk pada rekomendasi Tuhan. Sebagaimana yang pernah dicontohkan para
pemimpin umat islam di masa kekhilafahan. Hanya mengandalkan keterbatasan akal
yang justru memicu lahirnya berbagai persoalan. Sementara itu, semua kebijakan
pemerintah akan dipertanggungjawabkan dikemudian hari.
Penulis: Juniwati Lafuku, S.Farm. (Pemerhati Sosial)