Hani Handayani, A.Md (Penggiat Literasi) |
Pernyataan ini jadi berbuntut panjang, karena menyinggung masyarakat Sumatera Barat. Sehingga Persatuan Pemuda Mahasiswa Minang melaporkan hal ini ke polisi karena dianggap menghina masyarakat Sumatera Barat. Dilansir dari Tempo.com (4/9), David salah satu perwakilan dari Mahasiswa Minang mengatakan substansi pernyataan Puan cuma ingin memperkeruh suasana di ranah Minang, yang mana bila ditarik lagi, PDIP tidak pernah bisa menang. Jadi mungkin ada kekesalan sehingga timbul pernyataan itu.
Namun dikutip dari cnnindonesia.com (4/9), Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menolak laporan tersebut karena tidak memenuhi unsur pelaporan. Sementara pendapat senada sebelumnya juga dilontarkan ahli hukum tata negara Refli Harun. Menurutnya objek yang bisa dilaporkan dengan pasal pencemaran nama baik adalah benda hidup, yang punya rasa, punya pikiran, dan harus spesifik (radartegal.com 4/9).
Pemantik permasalahan ini tak lain karena Puan Maharani sebagai ketua partai penguasa saat ini mempertanyakan loyalitas masyarakat Sumatera Barat terhadap Pancasila. Hal ini bisa mengindikasikan bahwa partai yang berkuasa saat ini memiliki ketakutan dengan isu politik identitas.
Makna politik identitas dikutip dari Wikipedia adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri suatu kelompok tersebut.
Jika ditinjau dari defenisi Wikipedia tersebut, apa yang menjadi ketakutan partai ini sangatlah wajar, karena dilihat dari hasil Pilpres beberapa waktu yang lalu partai ini tidak memperoleh suara yang kuantitatif dari rakyat Sumatera Barat. Sehingga porsi kemenangan mereka di wilayah Sumatera Barat sangat kecil.
Wajar jika masyarakat Sumatera Barat menolak kehadiran partai ini karena dari jaman Orde Baru partai ini memang tidak pernah mendapat posisi di hati masyarakat Sumatera Barat. Hal ini karena suasana keislaman yang masih kental di Sumatera Barat membuat masyarakat di sana lebih condong kepada partai Islam.
Dampak dari pernyataan ini membuat calon pasangan Gubernur Sumatera Barat, Mulyadi-Ali Mukhn, menolak dukungan dari Parpol berkuasa saat ini.
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kerinduan masyarakat Sumatera Barat masih menginginkan pemimpi yang Islami tidak bisa di pungkiri dan di tutupi hal ini benar adanya. Meski di sistem demokrasi saat ini tidak menjamin pemimpin Islami bisa menerapkan aturan Islam secara total.
Jika pun masih berharap pada sistem demokrasi yang bisa menghasilkan pemimpin yang bisa menjalankan sistem Islam secara total rasanya sulit karena terlalu banyak kepentingan partai yang harus di dahului dari pada kepentingan rakyatnya.
Oleh karena itu, bila kita melihat sejarah peradaban Islam. Kepemimpinan dalam Islam tidaklah dipilih berdasarkan jalan demokrasi, melainkan melalui jalan pembaiatan melalui beberapa prosedur yang pernah terjadi secara langsung pada Khulafaur Rasyidin pasca wafatnya Rasulullah Saw.
Prosedur pertama, saat pengangkatan Abu Bakar ra, para sahabat berdiskusi di Saqofah Bani Saidah mencalonkan Sa'ad, Abu Ubaidah, Umar dan Abu Bakar, hanya saja Abu Ubaidah dan Umar bin al-Khathab mengundurkan diri. Sehingga hasil diskusi para sahabat maka terpilih Abu Bakar sebagai Khalifah kaum Muslim.
Prosedur kedua, ketika Abu Bakar merasa bahwa sakitnya akan menghantarkannya pada kematian, maka Abu Bakar memanggil kaum Muslimin untuk meminta pendapat mereka mengenai siapa yang akan menjadi Khalifah kaum Muslimin sepeninggalnya. Proses pengumpulan pendapat ini berlangsung selama tiga bulan dan terpilihlah Umar bin Khattab dan dibaiat oleh kaum Muslimin saat itu.
Prosedur ketiga, ketika Umar ditikam, kaum muslimin memintanya untuk menunjuk penggantinya, namun Umar menolaknya. Karena terus didesak Umar menunjuk enam orang calon. Setelah beliau wafat para calon berkumpul dan menyisakan dua calon yakni Ali dan Utsman. Hasil pendapat masyarakat terpilihlah Utsman.
Proses keempat, saat Utsman terbunuh, masyarakat kaum Muslimin di Madinah dan Kufah membaiat Ali bin Abi Thalib.
Maka dari tahap tersebut dapat dipahami bahwa orang-orang yang di calonkan itu diumumkan kepada masyarakat, kemudian diambilah pendapatan dari Ahl al-Halli wa Al-'Aqdi diantara kaum muslimin. Demikianlah prosedur pemilihan pemimpin yang menjadi wakil umat dalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan Islam. Wallahu a'lam Bish Shawab.
Penulis: Hani Handayani, A.Md (Penggiat Literasi)