Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Omnibus Law Mengusik Standar Halal?

Rabu, 21 Oktober 2020 | 19:43 WIB Last Updated 2020-10-21T11:43:26Z
Pristria Dini Aranti ST (Pengasuh komunitas Sahabat Hijrah Klaten)
LorongKa.com - Wakil Presiden RI Ma'ruf Amin mengatakan bahwa pengembangan kawasan industri halal (KIH) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai cita-cita menjadi negara penghasil produk halal terbesar di dunia.


Ma'ruf juga menyampaikan, bahwa selama ini Indonesia masih berkutat sebagai penikmat barang dan jasa halal. "Selama ini kita masih menjadi konsumen produk halal terbesar dunia, bukan produsen produk halal terbesar," jelasnya. 


Karenanya dia berharap, penguatan terhadap usaha mikro dan kecil (UMK) dapat mendorong Indonesia sebagai eksportir produk halal ke berbagai negara.


"Layanan sertifikasi halal akan dilakukan secara satu atap atau one stop service," kata Ma'ruf Amin saat menyampaikan orasi ilmiah pada Dies Natalis Ke-63 Universitas Diponegoro (Undip) secara daring, Kamis (15/10/2020).  


Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau Omnibus Law mengubah sistem penerbitan sertifikat halal. Jika sebelumnya sertifikat halal hanya dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), kini UU Ciptaker memberi alternatif sertifikat halal dapat diberikan ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).


Terkait hal itu, Anggota Komisi Fatwa MUI Aminudin Yakub menilai, kebijakan tersebut sangat berbahaya karena mengeluarkan sertifikat halal tidak bisa disamaratakan dengan satu produk dengan produk lainnya.


"Bagaimana BPJH mengeluarkan sertifikat halal, kalau itu bukan fatwa. Ini bisa melanggar syariat, karena tidak tau seluk beluk sertifikasi," kata Aminudin dalam dialog kepada PRO-3 RRI, Rabu (14/10/2020).


Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menampik anggapan UU Cipta Kerja memberi peluang self declare (deklarasi mandiri) produk halal dapat dilakukan secara serampangan oleh setiap produsen.


Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH Mastuki HS saat dihubungi dari Jakarta, Rabu, mengatakan terdapat pemahaman yang tidak utuh oleh sebagian masyarakat yang berkesimpulan self declare halal dapat dilakukan siapapun dengan cara remeh temeh.


Bagi kita mengonsumsi makanan dan minuman halal adalah harapan serta kewajiban bagi setiap muslim. Sertifikat halal pada dasarnya ditujukan untuk memenuhi jaminan keamanan bagi setiap muslim dalam mengonsumsi produk makanan. Ketika ada jaminan halal bagi setiap produk yang beredar, masyarakat menjadi tenang dikarenakan ada kepastian apa yang mereka konsumsi adalah benar sesuai syariat Islam.


Sayangnya kepastian tersebut mulai terusik sejak di sahkan UU omnibus law yang  regulasi terkait sertifikasi halal dalam Omnibus Law. Bila UU ini diterapkan, akan mengubah aturan dalam UU No. 33 Tahun 2014 tentang tentang Jaminan Produk Halal. Maka polemik sertifikasi halal memasuki babak baru.


Berikut enam poin sertifikasi halal dalam Undang-undang UU Cipta Kerja Omnibus Law:


1. Undang-undang UU Cipta Kerja Omnibus Law terkait halal untuk pengusaha mikro


UU Cipta Kerja menambah pasal 4A yang menyatakan, sertifikasi halal bagi pelaku UMKM didasarkan pada pernyataan pelaku usaha yang sebelumnya dilakukan Proses Produk Halal (PPH). Mekanisme PPH ditetapkan berdasarkan mekanisme halal yang dilakukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Pelaku UMKM juga tidak perlu membayar sertifikasi halal.


"Dalam hal permohonan Sertifikasi Halal sebagaimana dimaksud ayat (1) diajukan oleh Pelaku Usaha Mikro dan Kecil, tidak dikenai biaya," tulis Undang-undang UU Cipta Kerja Omnibus Law pasal 44.


2. Undang-undang UU Cipta Kerja Omnibus Law menghapus syarat auditor halal


Sebelumnya UU nomor 33 tahun 2014 ada beberapa syarat untuk auditor halal yaitu wajib beragama Islam, WNI, berwawasan luas terkait kehalalan produk dan syariat agama. Auditor juga wajib berpendidikan minimal S1 bidang bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, atau farmasi. Dengan dihapusnya syarat ini maka peluang untuk menjadi auditor halal terbuka lebih lebar.


3. Undang-undang UU Cipta Kerja Omnibus Law terkait PPH


Sebelumnya pelaku usaha wajib memisahkan lokasi, tempat, dan alat yang digunakan untuk PPH sesuai UU Jaminan Produk Halal. Jika tidak melaksanakan aturan ini, pengusaha terancam sanksi administratif berupa peringatan tertulis atau denda. Sanksi ini diubah dalam RUU Cipta menjadi hanya sanksi administratif tanpa dijelaskan lebih detail.


4. Undang-undang UU Cipta Kerja Omnibus Law menentukan lamanya proses verifikasi halal


UU Cipta Kerja pasal 29 menyatakan, Jangka waktu verifikasi permohonan sertifikat halal paling lama satu hari kerja. Permohonan sertifikat halal dilengkapi data pelaku usaha, nama dan jenis produk, daftar produk dan bahan yang digunakan, serta proses pengolahan produk. Permohonan Sertifikat Halal diajukan pengusaha kepada BPJPH.


5. Undang-undang UU Cipta Kerja Omnibus Law terkait proses perpanjangan sertifikasi halal


Undang-undang UU Cipta Kerja Omnibus Law mengatur khusus pelaku usaha yang ingin melakukan perpanjangan sertifikasi halal, tanpa mengubah PPH dan komposisi. BPJPH bisa langsung menerbitkan perpanjangan sertifikasi halal tanpa perlu melakukan sidang fatwa halal.


6. Undang-undang RUU Cipta Kerja Omnibus Law terkait sanksi administratif


UU Jaminan Produk Halal mengatur jenis sanksi administratif yang diterima jika tidak melaksanakan ketentuan sertifikasi halal. Sanksi dijatuhkan sesuai pelanggaran yang dilakukan. Dalam Undang-undang UU Cipta Kerja Omnibus Law sanksi administratif tidak dijelaskan lebih lanjut berikut jenis pelanggarannya.


Menurut Indonesia Halal Economy and Stategy Roadmap yang dirilis Indonesia Halal Lifestyle Centre, konsumen produk halal di Indonesia menghabiskan biaya sampai US$214 miliar pada 2017.


Mungkin potensi itulah yang dilihat pemerintah sebagai peluang investasi. Menghilangkan segala hal yang menghambat investasi menjadi asas utama terciptanya Omnibus Law. Tak terkecuali industri pangan bersertifikasi halal. Apalagi wisata halal dan segala hal berlabel halal makin banyak diminati masyarakat.


Sayangnya, yang terasa dalam sistem  sekuler ini yang ada  justru menyepelekan urusan halal-haram dengan mengembalikannya pada kebutuhan pasar. Apa saja yang menghalangi, direduksi. Apa saja yang menghambat, dihilangkan. Dan ini semakin menegaskan watak kebijakan kapitalistik yg berorientasi kemudahan investasi (dengan proyek Kawasan Industri Halal (KIH)) bisa mengorbankan standar halal sesuai syariat. 


Hal ini sangat berbeda dengan pandangan Islam, yang  menjadikan semua produk yang beredar di pasaran adalah produk halal dan tidak berbahaya, dan keberadaan otoritas negara yang memberi perhatian utama kebijakan ini lah yang dirindukan dan berikutnya akan membawa kemaslahatan publik.


Penulis: Pristria Dini Aranti ST (komunitas Sahabat Hijrah Klaten)

×
Berita Terbaru Update