Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Tradisi Sekaten Sebagai Sarana Penyebaran Islam di Kota Solo

Minggu, 28 November 2021 | 20:19 WIB Last Updated 2021-11-28T16:22:41Z

Adella Pramesti Kusuma Diva/penulis

LorongKa.com- 
Kota solo merupakan kota yang terkenal akan berbagai budaya dan tradisinya yang masih kental dan masih dilestarikan sampai saat ini, sebagai salah satu upaya untuk menjaga keberagaman dan kerukunan terhadap sesama.


Tradisi Kota Solo sendiri sangat beragam salah satunya yaitu tradisi sekaten. Sekaten berasal dari kata "sekati" yang berarti seperangkat gangsa (gamelan), pendapat lain menyatakan bahwa sekaten berasal dari kata "syahadatain" yang merupakan kalimat untuk memeluk Islam. 


Sekaten merupakan kegiatan tahunan yang diadakan oleh keraton Solo (Surakarta) dalam rangka memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW. Dulu sekaten merupakan cara Walisongo untuk menyebarkan islam di jawa. Namun sekarang sekaten diselenggarakan untuk mempertahankan budaya jawa, juga untuk menunjang sektor ekonomi dan pariwisata di kota Solo. 


Perayaan sekaten ini secara resmi berlangsung dari tanggal 5 dan berakhir pada tanggal 12 Mulud penanggalan jawa (dapat disetarakan dengan Rabiul awal penanggalan Hijriah). Dengan berbagai rangkaian acara, yaitu dimainkannya sepasang gamelan pusaka Kyai Gunturmadu dan Kyai Guntursari selama satu minggu non stop secara bergantian antara Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari di halaman Masjid Agung keraton solo.


Pada masa awal perkembangan Islam di Jawa khususnya di kota solo, seni gamelan menjadi salah satu sarana para walisongo menyebarkan agama Islam. Kala itu terutama Sunan Kalijaga yang menggunakan gamelan sebagai sarana mendakwahkan Islam melalui budaya Jawa. 


Pada masa awal perkembangan islam itu masyarakat diminta membaca dua kalimat syahadat terlebih dahulu sebelum masuk area masjid penabuhan gamelan sekaten, para masyarakat diajak memeluk dan belajar agama Islam. Tidak hanya itu, tradisi sekaten memiliki nuansa islami yang sangat kental terbukti pada penabuhan gamelan yang tidak diiringi oleh sinden dan juga acara penabuhan gamelan yang akan dihentikan ketika waktu shalat tiba.

    

Selain acara penabuhan gamelan, terdapat acara lainnya yaitu pembacaan riwayat hidup Nabi Muhammad SAW. Rangkaian pengajian di serambi Masjid Agung keraton Solo, puncaknya adalah dengan diadakannya perayaan Grebeg Maulud.


Sebagai bentuk syukur pihak istana dengan dikeluarkannya sepasang gunungan yang berisi makanan dan sayuran (hasil bumi), yaitu gunungan jaler (laki-laki) dan gunungan estri (perempuan). Diperebutkan oleh masyarakat kota solo yang diadakan pada tanggal 12 (persis pada hari ulang tahun Nabi Muhammad SAW) mulai jam 08.00 hingga 10.00 WIB.


Dengan dikawal oleh bermacam-macam bregada (kompi) prajurit Kraton yakni: Tamtama, Jayeng Astra, Prawira Anom, Sarageni, Baki, Jayasura, Dwarapati, Jayataka, Panyutra, dan Korps Musik.


Masyarakat percaya bahwa, jika mereka mendapatkan hasil bumi dari gunungan Grebek Maulud tersebut maka mereka akan terbebas dari segala macam bencana dan malapetaka. Acara sekaten ini juga dimeriahkan dengan adanya pasar malam atau yang biasa disebut dengan "sekatenan" yang dilangsungkan di alun-alun kidul kota solo selama sekitar 40 hari, dimulai pada awal bulan sapar (safar).


Acara pasar malam sekaten ini menjadi wahana atraksi hiburan bagi masyarakat kota solo, terbukti dengan banyaknya macam wahana permainan dan juga pedagang kaki lima yang dapat menarik minat masyarakat. Tidak hanya itu, pasar malam juga mampu menggerakkan roda perekonomian masyarakat kecil karena adanya wadah bagi pedagang kaki lima.

    

Namun pada tahun ini dan tahun lalu seluruh prosesi acara tradisi sekaten ditiadakan, dikarenakan kondisi pandemi Covid-19 yang belum usai. Untuk menghindari kerumunan dan mencegah penularan Covid-19 seluruh prosesi sekaten hanya digelar internal oleh pihak keraton saja.


PenulisAdella Pramesti Kusuma Diva


×
Berita Terbaru Update