Notification

×

Iklan

Iklan

Artikel Terhangat

Tag Terpopuler

Kemiskinan Ekstrem: Tantangan Ekonomi Global yang Memerlukan Solusi Komprehensif

Minggu, 03 September 2023 | 11:51 WIB Last Updated 2023-09-03T03:51:29Z

Ns. Sarah Ainun, M. Si

LorongKa.com - 
Kemiskinan ekstrem adalah permasalahan sosial yang komplek dan parah yang melanda manusia di seluruh dunia. Individu dan keluarga yang terkena dampaknya hidup dalam kondisi dimana akses mereka terhadap pemenuhan kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan sangat terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali. Mereka harus berjuang sendirian untuk bertahan hidup dari kelaparan, penyakit dan ketidaksetaraan ekonomi dan sosial.


Ketidaksetaraan dalam distribusi kekayaan dan sumber daya ekonomi yang terjadi menyebabkan sebahagian besar individu terpinggirkan, sementara sebahagian kecil lainnya menguasai kekayaan dan sumber daya ekonomi, dengan tingginya tingkat ketimpangannya yang sangat ekstrem.


Seperti dilansir dari detiknews, 25/08/2023. Ketimpangan kekayaan yang semakin meningkat di Asia Pasifik telah menjadi perhatian serius bagi banyak kalangan. Menurut Bank Pembangunan Asia (ABD), 155,2 juta orang di negara-negara berkembang di kawasan ini, atau sekitar 3,9 persen dari populasi, masih hidup dalam kemiskinan yang ekstrem, dengan pendapatan kurang dari US$2,15 per hari. 


Di sisi lain, laporan mengejutkan juga muncul bahwa jumlah orang superkaya (crazy rich) atau yang disebut sebagai UHNW (Ultra High Net Worth), yang memiliki kekayaan US$30 juta atau lebih, telah mengalami pertumbuhan substansial hampir mencapai 51% selama periode 2017 hingga 2022 (SWA Online, 26/05/2023).


Persoalan ini tentu saja terkait dengan sistem ekonomi yang merupakan kerangka kerja yang mengatur produksi, distribusi, dan konsumsi kekayaan dalam suatu masyarakat, dilema ini memunculkan pertanyaan besar tentang sistem ekonomi yang diterapkan di banyak negara di Asia Pasifik hari ini. apakah sistem ekonomi kapitalis yang diadopsi mampu mencapai tujuan kesejahteraan dan pemerataan kekayaan? Ataukah justru menjadi penyebab ketimpangan yang semakin memburuk?


Dalam memahami akar persoalan kemiskinan ekstrem yang melanda hampir seluruh dunia, sangat penting untuk mengkaji prinsip-prinsip ekonomi kapitalis dalam pemerataan kesejahteraan dan ketidaksetaraan ekonomi yang menyebabkan penderitaan sebahagian besar populasi dunia.


Ketimpangan kekayaan yang semakin memburuk dan sangat mencolok terjadi pada sistem kapitalis. Prinsip memberikan kekuasaan kepemilikan kepada individu atau sekelompok orang yang tidak terbatas, mendorong individu untuk mengumpulkan kekayaan sebanyak dan secepat mungkin. Akibatnya kekayaan dan sumber daya terkonsentrasi pada segelintir individu atau sekelompok orang, dan cenderung menghasilkan kelompok kaya yang semakin kaya dan kelompok miskin yang semakin miskin (ekstrem).


Begitupun prinsip pasar bebas yang diterapkan oleh sistem ini, meniadakan peran pemerintah dalam mengatur regulasi perekonomian dalam negeri, karena diserahkan atau terikat oleh hukum internasional yang berasaskan kapitalis. Sehingga regulasi dalam negeri hanya berpihak dan menguntungkan para pemilik modal, hal ini mendorong pemilik modal untuk melakukan praktik-praktik eksploitasi sumber daya alam dan ekonomi secara besar-besaran yang memperparah ketimpangan kekayaan dan kesejahteraan.


Lebih lanjut, prinsip terbukanya persaingan antara kapitalis dalam mencari keuntungan sebesar-besarnya, dengan modal sekecil-kecilnya, serta upaya menekan biaya produksi sebanyak mungkin, menjadi strategi utama para kapitalis. Salah satu yang menjadi sasaran penekanan adalah pengurangan upah pekerja. 


Akibatnya, terjadi penurunan upah yang tidak sesuai dengan standar hidup pekerja, peningkatan penggunaan pekerja kontrak, minimnya perlindungan keamanan dan jaminan kesehatan pekerja. Ketidaksetaraan upah pekerja yang ekstrim dengan sebahagian kecil pekerja mendapat gaji tinggi, sementara sebahagian besar mendapat gaji rendah, mengakibatkan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, kesehatan dan pendidikan.


Kemiskinan ekstrem telah berlangsung lama dan sifatnya sistemik. Maka untuk mengatasi persoalan ini tidak cukup hanya diselesaikan dengan upaya-upaya praktis dalam jangka pendek. Dengan demikian, solusinya harus mengganti/mengambil sebuah bentuk sistem dengan upaya jangka panjang dan berkelanjutan, yaitu sistem ekonomi Islam


Sistem Islam mendefinisikan kemiskinan dan prinsip serta memiliki metode yang khas dalam menangani kemiskinan ekstrem. Didasarkan pada Al’quran yang menyebutkan “…atau orang miskin yang sangat fakir” (QS. Al-Balad: 16), kata “fakir” yang berasal dari bahasa Arab “al-faqr,” yang berarti membutuhkan dan kekurangan (al-ihtiyaaj). Maka Islam mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi seseorang yang tidak terpenuhi kebutuhan primernya berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatannya.


Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya “Nizhamul Iqtishadi fil Islam,” hlm. 236, mendefinisikan orang fakir adalah orang yang punya harta (uang) tetapi tidak mencukupi kebutuhan pembelanjaannya. Sementara itu orang miskin adalah orang yang tak punya harta (uang) sekalipun tak punya penghasilan.


Adapun prinsip sistem ekonomi Islam memandang betapa pentingnya kesejahteraan individu per individu yang merupakan salah satu tujuan utama yang harus dicapai oleh negara, serta mengatur produksi, distribusi, dan konsumsi kekayaan melalui tiga bentuk kepemilikan yang berbeda: kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. 


Untuk mencapai kesejahteraan rakyat dan menyelesaikan persoalan kemiskinan ekstrem, negara dalam sistem Islam memiliki thariqah (metode atau pendekatan) yang harus diterapkan oleh negara dalam sebuah aturan secara menyeluruh. Pertama, dalam sistem ekonomi Islam, negara menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyatnya berupa sandang, pangan, papan dengan cara tidak langsung.


Dalam sistem Islam, konsep jaminan kerja oleh negara memiliki peran penting. Prinsip ini mengikuti ajaran Al-Quran, yang memerintahkan kepada setiap laki-laki untuk menafkahi diri dan keluarganya dengan layanan lapangan pekerjaan yang memadai. Jaminan kerja ini sebagai bentuk peran negara dalam memastikan pemenuhan kewajiban tersebut, sesuai dengan firman Allah Swt: 


Artinya: “Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf.” (QS al-Baqarah: 233).


Negara tidak hanya bertanggung jawab terhadap tersedianya lapangan pekerjaan, namun jika ada dari individu-individu rakyatnya tidak dapat mencari nafkah karena alasan tertentu seperti cacat dan usia lanjut yang tidak memiliki sanak saudara untuk membantu menafkahinya, maka negara bertanggung jawab langsung menanggung nafkahnya menggunakan harta dari Baitul Maal.

 

Selanjutnya yang kedua, dalam Islam pendidikan, kesehatan dan keamanan merupakan hak dasar semua individu. Untuk itu negara bertanggung jawab secara langsung untuk memastikan bahwa setiap warganya memiliki akses mudah, gratis dan fasilitas dengan kualitas terbaik tanpa adanya diskriminasi kasta, ras, status sosial, agama, kekayaan, usia, domisili dan latar belakang lainnya. Setiap individu memiliki hak yang sama dan setara dalam menerima layanan kebutuhan dasar tersebut.


Sementara itu dalam pengaturan produksi, konsumsi dan distribusi kekayaan sistem Islam memiliki pandangan unik tentang kepemilikan. Pertama, kepemilikan individu. Islam membolehkan individu untuk memiliki aset dan sumber daya secara pribadi. Namun, terdapat batasan dalam kepemilikan individu, dimana individu memiliki hak untuk memiliki tanah, modal, Perusahaan, dan sumberdaya lainnya. 


Tetapi, penting untuk dicatat bahwa tidak semua jenis kepemilikan diperbolehkan, terutama kepemilikan yang sifatnya diperuntukan untuk kemaslahatan rakyat yang jika dimiliki oleh individu dapat merugikan masyarakat dan melanggar prinsip-prinsip syariat Islam.


Kedua, kepemilikan umum. Beranjak dari pandangan bahwa sumber daya alam adalah karunia Allah Swt yang diperuntukan kepada seluruh mahluk dan harus dikelola secara adil dan bijaksana untuk kesejahteraan bersama. Maka, negara mengharamkan kepemilikan umum dikuasai oleh korporasi, Rasulullah Saw bersabda:


“Kaum muslim berserikat dengan tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).


Kepemilikan umum juga berhubungan erat dengan distribusi yang adil, yang berarti bahwa sumber daya alam dan kekayaan alam harus tersedia dan dapat dinikmati oleh semua anggota masyarakat, bukan hanya segelintir individu atau kelompok tertentu. 


Ketiga, kepemilikan negara dalam sistem Islam merujuk pada aset atau sektor-sektor ekonomi yang dimiliki dan dioperasikan oleh pemerintah, seperti pendidikan, layanan kesehatan, sistem keamanan, infrastruktur, atau sektor-sektor strategis lainnya yang digunakan untuk kesejahteraan umum. Seperti dalam kepemilikan umum, negara memiliki tanggung jawab melindungi dan menjaga sumber daya ini dari praktik-praktik monopoli dan privatisasi kepemilikan umum.


Penjagaan negara dari swastanisasi terhadap kepemilikan umum dan kepemilikan negara menghasilkan pemasukan luar biasa yang cukup besar bagi negara. oleh karena itu, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya yang terkenal, “Nizhamul Iqtishadi fil Islam.” Menyatakan bahwa pengelolaan kekayaan alam masuk ke dalam pos kepemilikan umum Baitul Maal. Dari pos ini, negara akan membiayai kebutuhan dasar masyarakat.


Selain itu, Baitul Maal negara juga memilki pos kepemilikan negara yang berasal dari berbagai sumber seperti harta kharaj, usyur, jizyah, ghanimah, ghulul dan sebagainya. Dana dari pos ini dialokasikan untuk kebutuhan negara seperti pengadaan fasilitas publik, menggaji pegawai negara, pendukung kegiatan berjihad yang sesuai dengan syariat dan banyak lagi. 


Sistem Islam, yang berlandaskan pada aturan Islam, memberikan prinsip, fiqrah (pemikiran atau pandangan), thariqah atau pendekatan yang kuat untuk menjaga kesejahteraan dan keadilan pada setiap individu dalam masyarakat. Prinsip-prinsip kepemilikan umum dan kepemilikan negara memastikan bahwa sumber daya alam dan kekayaan negara digunakan untuk kemaslahatan atau kepentingan bersama. 


Dalam sistem ini, pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan mudah diakses dan tersedia untuk semua dengan gratis, dan kebutuhan pokok masyarakat terjamin pemenuhannya. Ini adalah kunci dalam mewujudkan visi Islam untuk masyarakat yang Sejahtera jika negara menerapkan sistem Islam secara kaffah (konfrehensif) di semua aspek kehidupan.


Penulis: Ns. Sarah Ainun, M. Si

×
Berita Terbaru Update