Ikbal Tehuayo
LorongKa.com - Mengapa Islam pada dinasti Abbasiyah begitu cemerlang dan dipuji sebagai mercusuar peradaban dunia dan kiblat pengetahuan modern? Tak lain karena Khalifah Abu Ja’far Al Mansur mampu mencerdaskan manusia lewat pendidikan yang bermutu, yang diambil dari seluruh penjuru dunia dan ditafsirkan ke dalam bahasa Arab saat itu.
Delapan ratus tahun kemudian Japang bangkit dengan restorasi meiji dibawa kepemimpinan Kaisar Meiji. Saat itu Kaisar Meiji mengirim mahasiswa besar-besaran ke barat untuk belajar apa saja dan terjemahkan buku apa saja dan bawa pulang ke Jepang, sebab Kaisar Meiji mempunyai kesadaran bahwa investasi terpenting adalah menciptakan manusia berkualitas.
Ketika Nabi Adam diciptakan untuk menjadi khalifa di muka bumi, Allah tidak memberikannya senjata, atau kapak, tapi Allah memberikan ia pengetahuan yang cukup, dengan ini dapat kita pahami bahwa dengan pengetahuanlah bumi ini akan bisa diatur demi kemaslahatan banyak orang.
Salah satu karya besar imam Al-Ghazali Ihya Ulumuddin, mencantumkan salah satu hadis yang artinya, “orang berilmu adalah kepercayaan Tuhan di muka bumi,” secara gampang dapat kita mengerti kenapa Tuhan mengirimkan nabi-nabi dengan sifat wajibnya adalah cerdas, karena mereka diutus untuk menjadi pemimpin. Dari awal pengetahuan atau ilmulah yang menjadi syarat utama untuk menjadi pemimpin.
Untuk menciptakan manusia yang berperadaban, kitab umat manusia (Al-Quran) diawali dengan kata “iqra”. Berdasarkan tafsir maudu’i Prof. Dr. KH. M. Quraish Shihab kata “iqra” terambil dari akar kata yang bermakna menghimpun. Dari menghimpun lahirlah aneka ragam makna, seperti menelaah, mendalami dan meneliti.
Kata “iqra” memberikan pengetahuan lebih dari sekedar membaca suatu teks. Secara gampang dapat kita petik hikmahnya bahwa, segalah persoalan yang bertaburan di sekeliling kita hanya bisa kita pahami dan menemukan jalan keluarnya hanya dengan ilmu pengetahuan dan manusia yang berkualitas, dan masalah yang paling besar adalah melawan bangsa sendiri. Lalu bagaimana kita melawannya, lawanlah dengan pemikiran dan pengetahuan yang bermutu, dan saat yang tepat untuk melawannya adalah menentukan pemimpin yang berkualitas, baik secara intelektual, emosional maupun spritual.
Sebagian besar kita menganggap remeh dalam menentukan siapa yang pantas menjadi pemimpin, seremeh menusuk paku pada surat suara. Padahal menentukan pilihan harus melibatkan total akal pikiran sehat kita, premis-premis harus tersusun rapi dalam penalaran agar kita bisa sampai pada konklusi yang tepat.
Sejauh ini ada beberapa cara masyarakat dalam menentukan pilihan, diantaranya adalah:
1. mengikuti bos tempat dimana ia bekerja atau pernah bekerja.
Pemilih jenis ini seakan menghina dan mengkerdilkan dirinya sendiri, ia bagaikan kerbau yang diikat hidungnya lalu diperintahkan sesuka tuannya.
2. berdasarkan suka atau tidak suka pada sosok paslon.
Pemilih jenis ini tidak akan melihat dan menilai sosok paslon secara objektif, ia menentukan pilihan berdasarkan perasaannya semata.
3. mengikuti kesepakatan organisasi, komunitas atau partainya.
Pemilih jenis ini akan cenderung menggunakan segala hal untuk menafsir kesalahan-kesalahan paslon yang mereka usung agar terlihat benar.
4. karena dibayar dengan uang.
pemilih jenis ini tidak punya pendirian tetap, ia menentukan pilihan tergantung siapa yang bisa membayarnya lebih banyak.
5. menganalisis sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir yang rasional.
Pemilih inilah yang didambakan, karena ia menentukan pilihan berdasarkan kalkulasi rasional tanpa diintervensi oleh siapapun.
Inilah gambaran umum masyarakat kita dalam menentukan pilihan, dan tentu masih banyak lagi faktor-faktor lain yang tidak disebutkan satu persatu dalam tulisan singkat ini.
Untuk menentukan pilihan, harus ada satu kesadaran bahwa figur-figur tersebut mempunyai keterbatasan dan kesalahan-kesalahan bila perna mengolah pemerintah, sebab tak ada manusia yang sempurna dalam mengolah suatu pemerintahan, itu dulu kita sepakati bersama. Setelah itu baru kita melihat diantara figur-figur tersebut yang paling banyak menghasilkan kebijkan yang berpihak pada masyarakat dan mendapatkan apresiasi di tingkat nasional maupun internasional, cara inilah yang bisa menghindari kita untuk sibuk mencari-cari kesalahan yang perna dilakukan seorang figur dimasa ia masih bekerja di pemerintahan.
Tapi begitulah manusia, tidak semuanya mau menggunakan akal, meski pelanggaran telah nyata di depan matanya, diyakini dalam hatinya, dibenarkan secara rasionya, ia tetap bisa menyimpang dan menutup mata dari kebenaran. Tak heran kalau para filsuf menyebutkan manusia merupakan binatang yang berpikir, ketika berpikirnya hilang maka yang tinggal adalah binatangnya. Pembeda utama antara manusia dan binatang adalah akal untuk berpikir.
Sejenak kita tengok sejarah, ketika Nabi Musa menyelamatkan bani Israel dari Fir’aun, maka saat itu bani Israel menyaksikan sendiri dengan mata kepalanya tanda-tanda kekuasaan Allah pada Nabi Musa untuk membelah laut, namun mereka tetap jadi pembangkang.
Peristiwa-peristiwa politik kita hari ini serupa tapi tak sama, ia merupakan sejarah yang berulang dalam konteks dan bingkai yang berbeda. Coba kita bayangkan, seluruh masyarakat Indonesia telah menyaksikan secara nyata, dan benar adanya pelanggaran etik dalam keputusan Mahkamah Konstitusi, tapi masih ada juga yang berupaya menjelaskan kepada publik bahwa hal itu biasa-biasa saja, bukankah ini serupa dengan sifat bani Israel?
Masih dalam bingkai sejarah, ketika Nabi Ibrahim dibakar, ada seekor burung pipit terbang menghisap air di danau untuk memadamkan api yang membakar Nabi Ibrahim, lalu apakah api menjadi padam? Tentu tidak. Tapi perlu ingat, Allah menilai dimana anda berpihak, pada kebenaran atau kezaliman. Dalam konteks menentukan pilihan, persolan kalah dan menang adalah hal wajar dalam demokrasi, yang terpenting adalah keberpihakan kita pada mana yang benar, sebab penentuan pilihan akan dipertanggungjawabkan di hadapan pencipta semesta.
Salah satu daerah rawan masuknya doktrin politik ke masyarakat adalah karena tidak punya budaya baca yang baik. Dari data UNESCO bahwa minat baca orang Indonesia berada pada 0,001% artinya dari 1000 orang hanya ada satu yang rajin membaca.
Kurang membaca inilah jalan masuk politisi menggunakan rasionalitas untuk melakukan penindasan dengan bingkai kesejahteraan. Dalam rasionalitas, bahasa bisa dipermainkan, dan masyarakat yang budaya bacanya kurang, bisa dipastikan daya analisisnya lemah untuk memahami kebohongan yang ada di dalam bahasa untuk mengarahkan mereka pada pilihan yang diinginkan para politisi. Inilah yang disebut Herbert Marcus bahwa rasionalitas masyarakat modern merupakan biang keladi penindasan manusia atas manusia.
Bangsa ini masih punya harapan utuk mewujudkan Indonesia sebagai kiblat percontohan dunia, mulai dari penegakan hukum yang adil, ekonomi yang baik, hingga pendidikan bermutu yang dapat diakses oleh semu anak bangsa, namun harapan itu hanya bisa diwujudkan bila rakyat menentukan pemimpinnya yang tepat, yaitu pemimpin yang melihat politik sebagai seni pengabdian untuk menciptakan kesejahteraan, bukan pemimpin yang berambisi berkuasa demi melindungi dan menimbun kekayaan pribadi dan keluarganya.
Oleh karena itulah tentukan pilihan anda berdasarkan nalar dan nurani, sehingga kita semua dapat melihat pemimpin kita yang mampu menghadirkan cahaya peradaban dunia disisa umur kita.
Penulis: Ikbal Tehuayo