Notification

×

Iklan

Iklan

Artikel Terhangat

Tag Terpopuler

Generasi terjerat Kriminal, Bagaimana Rupa Masa Depan?

Sabtu, 11 Mei 2024 | 13:20 WIB Last Updated 2024-05-11T05:20:09Z

Qori Iqlima Maharani (Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga)

LorongKa.com - 
Keresahan terhadap kehidupan generasi saat ini semakin suram. Pasalnya hampir setiap berita yang tersaji membeberkan generasi ini yang terus berada di pusaran perilaku kriminal. Seorang pelajar SMP berusia 14 tahun menjadi pelaku pembunuhan dan kekerasan seksual sodomi terhadap anak laki-laki yang akan memasuki bangku sekolah dasar berusia 6 tahun di Sukabumi. Kasus lainnya senior sebuah pondok pesantren di Provinsi Jambi sebagai tersangka pembunuhan terhadap santri berusia 13 tahun. 


Sungguh miris, mengingat ini hanya dua kasus yang terungkap secara hukum. Bagaimana masa depan nanti jika terus-menerus seperti ini?


Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memberikan data yang menunjukkan tren peningkatan sejak 2020 hingga 2023. Per 26 Agustus 2023, sebanyak 2000 anak berkonflik dengan hokum. Dibandingkan 2020 hingga 2021, anak terjerat kasus hukum 1700-an anak kemudian meningkat menjadi 1800-an anak dan belum pernah menyentuh angka 2000. Peningkatan ini mempertegas alarm bahwa generasi Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja dan mengarah pada kondisi problematis (Meningkatnya Kasus Anak Berkonflik Hukum, Alarm bagi Masyarakat dan Negara, Dokumen Google).


Fakta lainnya merupakan hasil rekapan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahwa terdapat dua jenis tindak kriminal yang paling banyak dilakukan oleh anak, yaitu kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Kekerasan fisik menyentuh 29,2 persen dari total tindak pidana sedangkan kekerasan seksual sebanyak 22,1 persen pada tahun 2020. Selain itu tindak kriminal lainnya ialah pencurian (11,1 persen), kecelakaan lalu lintas (10,6 persen), kekerasan psikis seperti ancaman dan intimidasi (5,5 persen), tindak sodomi dan pedofilia (5,5 persen), pemilikan senjata tajam (5,5 persen), kasus aborsi (5 persen), dan kasus pembunuhan (4 persen) (Kompas Id, 29-8-2023).


Jika Data Sebanyak di atas Belum Menyadarkan Banyak Pihak, Lantas dengan Apa Lagi? 


Degradasi moral pada kepribadian generasi semakin jelas akibat penginstalan sistem sekuler dalam kehidupan. Nilai- nilai moral tidak diberikan dengan benar kepada anak sehingga mereka tumbuh menyimpang dari moral yang seharusnya dianut. Menilik hal tersebut, peran orang tua terhadap pendidikan anak harus dipertanyakan. Apa saja faktor yang memengaruhi kurangnya peran orang tua dalam mendidik anak?


Pertama, kesibukan bekerja membuat orang tua lalai. Terdapat anggapan ayah berperan mencari nafkah dan ibu berperan mengasuh anak. Anggapan tersebut jika dibangun dengan paradigma kapitalisme justru orang tua hanya mencukupi kebutuhan materi anak semata. Seorang ayah mencari nafkah sebanyak-banyaknya guna kebutuhan terkait materi anak. Sedangkan seorang ibu mendidiknya tanpa diimbangi pemahaman agama yang benar. Alhasil pengasuhan anak bervisi materi menyebabkan anak-anak terdidik dengan menjadikan materi sebagai orientasi hidup mereka. 


Tidak jarang keluarga dihadapkan masalah ayah dan ibu sama-sama bekerja. Kondisi seperti ini biasanya anak akan diasuh dan dididik oleh lingkungan sekitarnya. Sementara lingkungan tempat seorang anak tumbuh akan sangat berpengaruh pada perubahan sikap dan kepribadiannya.


Kedua, broken home. Tidak dapat dipungkiri bahwa kebanyakan anak-anak yang terlibat tindak kriminal atau berhadapan dengan hukum berasal dari keluarga yang tidak utuh. Walaupun tidak selalu anak-anak yang kedua orang tuanya bercerai memiliki perangai buruk. Anak-anak yang haus akan kasih sayang dan perhatian orang tua akan berusaha untuk menarik perhatian mereka dengan melakukan sesuatu. 


Ketiga, kondisi ekonomi yang terbatas. Keterbatasan ekonomi seringkali menjadi masalah sehingga kedua orang tua menyibukkan diri untuk mencari nafkah. Akibatnya sang anak terlantar, kurang kasih sayang, dan tidak terdidik dengan benar.


Keempat, minimnya kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan. Kurangnya pengetahuan terkait pola asuh dalam mendidik anak dengan benar merupakan salah satu penyebab pendidikan keluarga tidak efektif. Hal ini bisa disebabkan karena orang tua belum memahami Islam dengan benar akibatnya minim ilmu dalam mengasuh dan mendidik anak.


Terjaminnya pendidikan di lingkungan keluarga merupakan faktor esensial melahirkan generasi berkualitas di masa depan. Sangat disayangkan sistem yang terinstal hari ini justru membentuk orientasi keluarga hanya pada pemenuhan materi semata. Bahwasanya benar kebutuhan anak terpenuhi, namun pemahaman agamanya minim. Akibatnya mereka kehilangan pegangan (Islam) dan cenderung mudah terpengaruh hal-hal negatif di lingkungan sekitarnya.


Jaminan Sistem Pendidikan Islam 


Lahirnya peradaban mulia dimulai dengan mendidik seorang anak. Anak-anak inilah nantinya akan menjadi generasi emas. Generasi emas hanya lahir dari sistem pendidikan yang bervisi membentuk kepribadian mulia. Sistem pendidikan berbasis islam satu-satunya sistem yang mampu mewujudkan cita-cita tersebut. Terbukti selama lebih dari 13 abad berdiri kokoh melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki keimanan dan ketakwaan yang kuat. Bagaimana Islam melakukannya?


Pertama, kurikulum inti yang dijalankan negara ialah berbasis akidah islam. Tujuan adanya kurikulum ini guna membentuk generasi yang memiliki pola piker dan sikap yang sesuai dengan Islam. Pendidikan merupakan layanan gratis dari negara yang dapat diakses oleh seluruh anak di negara tersebut. Selain itu negara menyediakan fasilitas yang memadai dan tenaga pendidik professional tentu akan menjadi kesatuan yang bersama-sama dapat menciptakan generasi unggul dalam imtak (iman dan takwa) dan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi).


Kedua, menerapkan sistem sosial dan pergaulan Islam. Islam memiliki aturan dalam menjaga pergaulan di lingkungan masyarakat yaitu: (1) kewajiban menutup aurat dan berhijab syar’i (bagi perempuan); (2) larangan berzina, berkhalwat (berduaan dengan nonmahram), dan ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan); (3) larangan mengeksploistasi perempuan dengan memamerkan keindahan dan kecantikan saat bekerja; (4) larangan melakukan safar (perjalanan) lebih dari sehari semalam tanpa disertai mahram.


Ketiga, memperketat lembaga media dan informasi dalam menyaring konten dan tayangan yang layak bagi perkembangan generasi. Tidak memperbolehkan penyebaran konten yang menyebabkan kemunduran seperti konten porno, film berbau sekuler liberal, media penyeru kemaksiatan, dan perbuatan apa saja yang mengarah pada pelanggaran terhadap syariat Islam. Wallahualam. 


Penulis: Qori Iqlima Maharani.

×
Berita Terbaru Update