LorongKa.com - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menimbulkan polemik baru di tengah masyarakat. Selain permasalahan urgensitas, anggaran, kualitas, dan distribusi, kini muncul kontroversi seputar sumber pembiayaan. Ketua DPD RI Sultan Najamuddin mengusulkan dana zakat turut dimanfaatkan untuk membiayai MBG. Usulan ini menuai pro kontra di tengah masyarakat.
Bagaimana tidak, di satu sisi kondisi keuangan negara sedang karut marut. Defisit anggaran yang terus membengkak dari tahun ke tahun, jatuh tempo hutang 800 T di tahun 2025, pembiayaan IKN, hingga pembiayaan kabinet jumbo menjadi PR tersendiri di negeri ini.
Menteri Pertanian, Zulkifli Hasan bahkan mengatakan pemerintah kini tengah berusaha mencari tambahan dana untuk MBG. Disampaikan bahwa paling tidak butuh tambahan dana mencapai Rp140 triliun untuk menyasar 80 juta lebih penerima manfaat MBG.
Di sisi lain, zakat adalah dana umat yang pemungutan maupun penyaluran-nya wajib sesuai syariat.
Harta zakat hanya diperuntukkan bagi 8 ashnaf (golongan) yang disebutkan dalam Al Qur'an Surat At Taubah ayat 60. Zakat tidak boleh dikeluarkan untuk mendirikan sekolah, rumah sakit, masjid, sarana-sarana umum, atau salah satu kepentingan negara maupun umat. Selain itu, ijma' ulama menyatakan bahwa penerima zakat hanya dari kalangan umat muslim.
Diliriknya dana umat Islam untuk kepentingan negara bukanlah hal baru. Sekitar tahun 2021 telah diwacanakan dana wakaf disalurkan untuk pembangunan nasional. Bahkan di tahun 2017 silam, Joko Widodo saat itu juga pernah mewacanakan dana haji diinvestasikan untuk infrastruktur.
Hal ini dipicu oleh negara yang kerapkali mengalami defisit anggaran. Sehingga pemerintah sering kalang kabut mencari tambahan anggaran ketika ada program besar yang harus landing.
Bagaimana tidak defisit jika dalam sistem saat ini (kapitalisme), swasta bermodal besar bisa menguasai SDA strategis (tambang, minyak, gas, dll) dan aset-aset negara.
Sementara itu, negara justru hanya mengandalkan pemasukan dari pajak serta pemasukan-pemasukan lain yang bersumber dari warganegara, swasta, dan utang. Ujung-ujungnya rakyat yang seharusnya diurus negara, justru terbebani oleh kebijakan negara yang dzolim. Sungguh ironis!
Di dalam sistem Islam, sumber pemasukan negara sangat jelas diatur oleh syariat. Pemasukan ini disimpan dan dimanagement di Baitul Mal. Dalam Baitul Mal terdapat pos-pos pemasukan yang sesuai dengan jenis hartanya. Pertama, bagian fai dan kharaj yang meliputi ghanimah, anfal, fai, khumus, kharaj, status tanah, jizyah, dan dlaribah (pajak).
Kedua, kepemilikan umum meliputi tambang minyak, gas bumi, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan, mata air, hutan, serta aset-aset yang diproteksi negara untuk keperluan khusus, semisal sarana publik seperti rumah sakit, sekolah, jembatan, dan lainnya.
Ketiga, zakat yang disusun berdasarkan jenis harta zakat, yaitu zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, serta zakat hewan ternak (unta, sapi, dan kambing).
Dengan beragamnya pos pemasukan ini, maka akan sangat kecil kemungkinan negara kebingungan mencari dana untuk pembiayaan program maupun kebijakan yang telah diputuskan. Terlebih, di dalam sistem Islam akan selalu ada penjagaan dan pengawasan agar penyaluran dari tiap-tiap pos tersebut sesuai dengan tuntunan Allah SWT.
Hal ini tidak lain karena sistem Islam hanya tegak untuk menerapkan aturan Allah SWT dan menyebarkan rahmat Islam ke seluruh penjuru dunia. Tidakkah kita ingin bernaung dalam sistem yang diridloi Allah SWT ini?
Wallahu a'lam bi ash shawab.
Penulis: Ryang Adisty Farahsita, M.A.