Ariani
LorongKa.com - Bank Dunia (World Bank) melaporkan 60,3% atau sekitar 171,91 juta penduduk Indonesia masuk dalam kategori miskin. Pengelompokan penduduk miskin yang digunakan World Bank tersebut didasari dari acuan garis kemiskinan untuk kategori negara berpendapatan menengah ke atas atau upper middle income dengan standar sebesar $ 6,85 PPP (Purchasing Power Parity) per kapita per hari. Perhitungan ini berbeda dengan yang dilakukan secara resmi di Indonesia yang menggunakan garis kemiskinan nasional sebesar $ 2,15 PPP per kapita per hari (finance.detik.com,30-04-2025).
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, menjelaskan perbedaan signifikan dalam cara penghitungan jumlah penduduk miskin oleh lembaganya dan Bank Dunia. Ini merespons data Macro Poverty Outlook April 2025, bahwa penduduk miskin di Indonesia mencapai 60,3 persen dari total penduduk atau sebesar 171,8 juta jiwa. Menurut Amalia, disparitas tersebut terjadi karena adanya perbedaan standar garis kemiskinan yang digunakan dan untuk tujuan yang berbeda. Versi BPS sendiri, angka kemiskinan hanya berada di 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa per September 2024 (tirto.id, 6-06-2025)
Penggunaan standar perhitungan manapun tetap tidak menghilangkan fakta bahwa ada angka kemiskinan yang terjadi di tengah masyarakat. Angka versi BPS yaitu 8, 57 sungguhlah masih banyak yang menyangsikan. Faktanya terlihat sekali bahwa kehidupan rakyat semakin tercekik. Harga bahan pokok tetap mahal, gelombang PHK menganak sungai, banyak bisnis dan usaha gulung tikar. Bukti nyata adalah tutupnya PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex mulai Sabtu, 1 Maret 2025,akibatnya lebih dari 10 ribu orang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Logikanya sejumlah besar korban PHK akan menyumbang angka kemiskinan. Belum lagi naiknya pajak PPN menjadi 12% mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa secara langsung, sehingga meningkatkan biaya hidup secara keseluruhan dan memukul daya beli masyarakat.
Baik angka 1 atau 8 tetaplah nyata bahwa negara ini masih gagal mensejahterakan secara adil dan merata. Politik angka hanya dikenal dalam sistem kapitalisme demokrasi sedangkan di dalam sistem Islam, angka hanyalah alat bantu untuk menyelesaikan persoalan sebab penguasa dalam islam memandang Amanah yang dipikulnya untuk mensejahterakan rakyat akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah kelak. Solusi permasalahan ekonomi dalam negara Islam bukan menaikkan pajak yang justru semakin mencekik masyarakat.
Negara dalam system Islam tidak perlu menarik pajak karena ada sumber pemasukan dari pengelolaan dari Kepemilikan umum seperti minyak bumi, gas alam, tambang emas dan Batubara serta kekayaan alam hayati. Semua dikelola negara dan dikembalikan manfaatnya kepada rakyat. Ditunjang lagi oleh pemasukan dari pengelolaan harta milik negara seperti tanah, transportasi umum, pabrik dan industry. APBN dalam Baitul maal juga mengatur pos pembelajaan yang telah diatur hukum syara. Maka jelaslah kesejahteraan umat dibawah naungan negara Islam yang dikenal dengan Daulah khilafah , sistem kepemimpinan umat, yang hanya menggunakan Islam sebagai Ideologi serta undang- undangnya hanya berdasar kepada Al-Qur'an, Hadits, Ijma dan Qiyas.
Penulis: Ariani