Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Koalisi Sekuler Di Negeri +62

Minggu, 11 Agustus 2019 | 18:34 WIB Last Updated 2019-08-11T10:34:17Z
Lorong Kata --- PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) telah mengusulkan 10 nama menteri ke Jokowi. Terkait hal ini, Wasekjen Golkar Maman Abdurrahman menilai, usulan PKB itu adalah hal yang biasa. Ia menyerahkan komposisi menteri sepenuhnya kepada Joko Widodo sebagai presiden terpilih. Ia menyebut komposisi menteri merupakan hak prerogatif Jokowi. (Rabu, 3/7/2019). Tak mau kalah dari PKB, Nasdem meminta 11 kursi menteri ke Jokowi. Kumparan.com.

Partai Nasdem tidak ingin kalah dari PKB yang meminta jatah sepuluh menteri di pemerintahan Jokowi-Maruf Amin. Anggota Dewan Pakar Partai Nasdem, Tengku Taufiqulhadi mengatakan, pihaknya akan meminta jatah kursi menteri lebih banyak. Hal itu dikarenakan jumlah kursi Nasdem di DPR lebih banyak ketimbang PKB. (Jakarta, Rabu, 3/7/2019). JawaPos.com.

Angin segar pasca pemilu nampak jelas dirasakan oleh kubu pemenangan atas kandidat terpilih pada pemilu beberapa waktu lalu. Pihak petahana berhasil menduduki jabatan kembali sebagai kepala Negara. Hal ini tidak luput dari bantuan dan dukungan penuh dari beberapa pihak.

Penentuan kandidat sebagaimana yang terkandung dalam pasal 222 UU Nomor 7 tahun 2017, untuk bisa mengusung calon setiap parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu 2014. Hasil pemilu 2014 dari parpol pendukung pemerintah bakal meraih 68,9 persen suara nasional. Parpol pendukung itu adalah PDIP, Golkar, NasDem, PKB, PPP, Hanura, dan PAN. Sementara parpol di luar pemerintahan, Gerindra dan PKS meraih 20 persen kursi lebih. Suara itu belum ditambah apabila Demokrat yang selama ini menyatakan sebagai penyeimbang turut bergabung. Dengan melihat koalisi seperti ini maka Pilpres 2019 diprediksi bakal diikuti dua calon seperti pada 2014 yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Merdeka.com - (12 Januari 2018).

Menilik kebijakan ini, maka tentulah tidak setiap parpol memiliki kesanggupan untuk mengusung kandidat yang murni dari kantongan 20 persen suara sah nasional milik sendiri, sebagaimana yang telah diberlakukan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melegalkan aturan presidential threshold 20 persen dalam UU pemilu, yang dampaknya tak ada satupun partai yang bisa berdiri sendiri mencalonkan presiden dan wakil presiden.

Ambang batas Capres 20 persen ini menuai pro kontra dari berbagai kalangan, tak terkecuali elit politik parpol yang ada. Namun MK menilai aturan ini penting karena presiden butuh dukungan politik. Merdeka.com (Jumat, 12 Januari 2018). Sehingga mau ataupun tidak, parpol tetap akan menelan keputusan ini demi keikutsertaan dalam pesta demokrasi yang diharapkan.

Langkah berikutnya adalah menindaklanjuti aturan yang ada dalam rangka memastikan ambang batas ini tetap bisa memberikan peluang untuk memuluskan tujuan. Untuk menutupi kekurangan persen hak suara nasional diperlukan adanya koalisi. Koalisi ini adalah kerja sama antara beberapa partai untuk memperoleh kelebihan suara dalam parlemen (Menurut KBBI).

Dalam sistem Demokrasi, parpol yang berkoalisi ini akan dipersatukan berdasarkan kepentingan, terlebih lagi jika diadu oleh sentimen politik yang pragmatis. Bukan hanya kesamaan kepentingan, namun juga peluang untuk terjadinya modus operandi money politik sangatlah besar. Hal ini dikarenakan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan dalam sistem demokrasi membuat siapapun yang mengembannya akan menempuh jalan ini meski sekadar mengembalikan modal. Alhasil, kegagalan dalam berkoalisi untuk memenangkan kandidat akan meninggalkan kerugian yang amat besar.

Hal yang sama akan terjadi jika kemenangan berkoalisi jatuh pada kandidat terpilih sekalipun aturan mainnya sedikit berbeda. Dalam hal ini wajar saja, jika masing-masing partai yang berkoalisi sudah saatnya meminta pamrih berupa kursi jabatan setelah menang. Karena memang serikat di dalamnya mengandung unsur kepentingan demi kegentingan peraihan materi. Begitulah tabiat Demokrasi sebagai sebuah sistem sekular yang besar karena tidak melihat kursi jabatan sebagai sebuah amanah yang akan dipertanggungjawabkan, melainkan sebagai ladang transaksional meski kualitas nihil. Sebab yang diutamakan adalah kecenderungan materi. Wallahualam bi ash-shawab.

Penulis: Nurhidayat Syamsir (Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan FP UHO)
×
Berita Terbaru Update