Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

UKM Seni Budaya eSA Akan Gelar Rembuk Kebudayaan

Minggu, 22 November 2020 | 00:10 WIB Last Updated 2020-11-21T16:10:09Z



"Menepuk Jalan Sunyi"

"Sunyi adalah Bunyi yang Tersembunyi". (Rocky Gerung).


LorongKa.com - Biarlah sunyi menemui riuhnya sendiri, walau rindu akan tetap meringkuk di jalan pulang. Peristiwa-peristiwa merangkak penuh bahasa tanpa jeda di lapang harapan kita. Banyak kesunyian yang perlu digaris bawahi dengan riang gembira. Karena keutuhan kepercayaan, kebenaran, nilai, tradisi, peradaban, terkhusu lagi kebudayaan masih pantas kita bicarakan di gelanggang kegelisahan umat manusia.


Negara kita adalah negara yang bernuansa beragam kebudayaan yang kita alami mulai sejak lahir hingga sampai pada kematian. Prosesi kebudayaan terus mengalir di setiap degub sejarah kita wajib terlibat di dalamnya. Sebuah ungkapan hangat yang tersirat di balik tulisan tangan Emha Ainun Nadjib, “Jati diri Bangsa Indonesia yang merupakan benih masa depannya tersembunyi di kedalaman nilai benda-benda, yang sebenarnya bukan sekadar benda-benda. Kita wajib menjaganya (budaya) sampai kapan saja kemudian menyelami dan menggali rahasianya sampai Tuhan mempertemukan kita dengan Indonesia. Kita menegakkannya, meneguhkannya, untuk ketetapan semesta anak-cucu kita”. Hal demikian mengungkap masa depan bangsa yang berakar pada jati diri. Juga tentunya memberi penegasan akan ikhtiar untuk melestarikan nilai yang terkandung di dalamnya.


Budaya secara umum memang kerap sunyi di setiap perbincangan manusia, namun bukan berarti kesunyian itu merupakan jalan buntu untuk memulai zikir, pikir dan tingkah laku dalam memelihara kebudayaan. Peristiwa tersebut dapat menjadi berkah sekaligus tantangan bagi generasi termasuk generasi yang lestari dalam komoditas tertentu (masyarakat yang melestarikan prinsip kebudayaan). Memulainya pun kendati berangsur-angsur, penuh kompleksitas dan selalu dalam transisi. Tak pelak lagi di masa sekarang, dengan adanya Pandemik Global (Covid-19) secara gamblang mampu disimpulkan bahwa kiat-kiat kebudayaan secara langsung mengalami keterbatasan. Seluruh bentuk aktifitas secara tidak langsung harus dieksekusi dalam dunia maya (virtual). Pelaksanaan secara langsung harus senantiasa merujuk pada aturan tertentu termasuk penerapan protokol kesehatan. Dengan demikian pula itu bukanlah persoalan dalam meneruskan mimpi para leluhur. Pidi Baiq mengatakan "Mimpi itu bukan untuk diraih, tapi dimulai". Darinya itu mari memulainya di Rembuk Kebudayaan kali ini.


Budaya adalah suatu hal yang sangat erat dalam terwujudnya suatu peradaban. Menurut Koenjtaraningrat  "Kebudayaan atau budaya  adalah  keseluruhan  sistem  gagasan,  tindakan  dan  hasil  karya manusia  dalam rangka  kehidupan  masyarakat  yang  dijadikan  milik  diri  manusia  dengan  belajar". Pengertian  tersebut  merujuk  pada  gagasan  J.  J  Honigmann tentang  "wujud kebudayaan  atau  disebut  juga  ‟gejala  kebudayaan‟.  Begitu juga ragam jati diri bangsa Indonesia dengan gelaja kebudayaannya masih lestari di berbagai daerah termasuk di daerah Sulawesi Selatan. Namun demikian belum tentu nilai dari kelestariannya tidak mengalami degradasi atas pengaruh arus perkembangan zaman.


Arus besar globalisasi seolah tak terbendung. Seluruh instrumen kehidupan di-aklimatisasi sedemikian rupa menyesuaikan dengan gelombangnya. Sebenarnya peralihan atau pergantian kebudayaan adalah keniscayaan dalam perjalanan dunia. Namun, hegemoni dan penguasaan atas pihak lain adalah sesuatu yang tentunya tidak bisa dijustifikasi dan disimplifikasi sebagai ekses. Manusia adalah manusia, yang diciptakan Tuhan sebagai masterpiece-Nya, tentunya bukan untuk menjadi “sekadar” onderdil bagi kepentingan pihak lain atau bahkan menjadi leader penganut kebudayaan asing. Namun dari pesatnya pengaruh teknologi, merimanya harus melalui filterisasi ataj penyaringan guna menghalau jalannya hegemoni modernisme. Agar demikian tidak terjerumus ke dalam budaya konsumtif atau menerima begitu saj akan mengalami penurunan jati diri dalam hal pikir, sikap hingga tingkah laku tanpa menjadikan kebudayaannya sendiri sebagai acuan.


Darinya itu, desas desus dari para Penggiat Seni Budaya menuai kecemasan yang serupa akan carut marut keprihatinan terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Tantangan atas pelestarian budaya kini menjadi tugas bersama, pelaku di setiap komunitas harus senantiasa produktif dalam merespon segala bentuk kegelisahan yang dialaminya. Peristiwa tersebut terlebih dulu disinggung dalam catatan Goenawan Mohammad, "Di sanalah terekam serangkai perdebatan yang paling bermutu dalam riwayat pengemukaan ide-ide selama ini sebelum kata ”polemik” jadi jorok dan isinya merosot jadi chantage politik atau serangan pribadi. Tapi lebih dari itu, Polemik Kebudayaan juga membuktikan bahwa kerisauan kita hari ini ternyata tak banyak bergeming dari kerisauan generasi lain setengah abad yang lampau". Menjalarnya kerisauan tersebut tidak boleh jadi pembiaran, respon solutif harus jadi corong utama. Yang diam mestinya bergerak, wujud dari sunyi sepantasnya adalah berbunyi sekreatif mungkin. Jalan sunyi mesti ditepuk beramai-ramai dengan suasana yang damai (Rembuk Kebudyaan). 


Mengapa demikian? Apa yang harus dilakukan komunitas penggiat seni budaya? Sebuah pesan singkat pendiri UKM Seni Budaya eSA, "Generasi eSA dikader untuk jadi seniman, bukan penghibur. Dikader untuk menjadi penggerak kebudayaan, bukan budak kebudayaan. Dikader untuk memberi interupsi atas hegemoni terhadap kebudayaan, bukan pengkomsumsi budaya asing yang menindas budayanya sendiri". (Hamdan eSA). Darinya itu, melestarikan jati diri merupakan bentuk kewaspadaan akan hilangnya nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan kita. Atas dasar itu sejak dari dulu hingga sekarang, lembaga yang bercorak seni budaya ini senantiasa menjadi sentral gagasan untuk menjangkan ide-ide kreatif dalam menjawab setiap polemik yang dihadapinya. Terkhusus lagi Pekerja Seni Kampus wilayah Makassar dan sekitarnya, yang berlatarbelakang suku Makassar, Bugis, Mandar dan Toraja. Belum lagi dengan karasteristik masyarakat di setiap daerah masing-masing dengan menjunjung tinggi prinsip kebudayaan yang berangkat pada sejarah kerajaan dari masa ke masa.


Maka hadirnya Rembuk Kebudayaan yang digelar oleh UKM Seni Budaya eSA dengan tema "Menepuk Jalan Sunyi", yang akan digelar pada tanggal 27-28 November 2020 merupakan suatu wadah silaturahmi gagasan yang dalam prosesnya digandengkan langsung dengan berbagai tradisi seni budaya. Hadirnya kegiatan ini, membuka ruang bagi seluruh Komunitas/Penggiat Seni Budaya maupun Pekerja Seni Kampus wilayah Makassar  untuk terlibat dan berbagi kata, kopi dan kehangatan. Kelender kreatifitas harus bergerak seirama sejarah dalam menghalau kesuraman yang mengecam jalannya prosesi nilai-nilai kebudayaan khususnya di Sulawesi Selatan. Dalam kesempatan kali ini kita akan berembuk membincangkan kebudayaan khususnya di Sulawesi Selatan dari hilir ke hulur, berikut tantangan dan masa depan kebudayaan. Baik budaya dari segi historis dan nilai yang terkandung di dalamnya, pelestarian budaya dalam tradisi kesenian, budaya dalam kaca mata akademik hingga aktualisasinya dalam kehidupan sehari-hari. Mari berembuk, sembari menepuk jalan sunyi. Setelah ini esok apa lagi?


Iwan Mazkrib

×
Berita Terbaru Update