Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Kembang Dara

Jumat, 06 Agustus 2021 | 20:28 WIB Last Updated 2021-08-06T12:28:11Z


Kembang Dara

Muhammad Lutfi


Hai kembang

Kau dara desa tak berkepemilikan

Mana aku tahu jiwamu itu lebih dungu

Dari mata bunga hari


Kembang Dara Desa

Kau lebih menawan dari segala

Gejolak terbit jiwaku yang mengembara

Serta aku terbitkan kata-kata serta

Pucuk ungkapan hatiku

Yang tersirat atau melalui surat

Sebagai burung dara

Berpasangan


Kembang dara

Bagai kemilau tangkai padi

Dia rebah padaku

Aku rebah padamu

Seperti awan kelabu

Dia pergi kini lagi

Kembali pada daku


Dara desa pujaan hati

Aku lebih ingin kau 

Daripada ucapan penyair 

Dan lebih ingin kau daripada cinta penyair

Aku lebih sukai kau

Daripada maknamu sebagai dara desa


Adauhh

Makin bingung jiwa iniku

Makin bingung anu aku anu

Ohhh kamajaya

Suara dari Gunung Cinta

Turun dari salju-salju

Dari hujan-hujan yang berpegang

Pada merah, pada baju, pada ekor

Ohh rupa mawar kembang dara

Aku lebih suka kau

Kembang dara daripada

Bunga dara terbang tanpa rumah

Dia tempat di hatiku ini

Bukan fana, bukan kacau

Aahhh 


Jeritan yang kacau

Kau lebih suka terkena perih

Daripada terkena luka 

Sebab luka timbul perih

Sebab perih timbul kedekatan


Lalu sama-sama kita

Berdua jadi enggan menerima kekacauan

Menerima kau kembali

Sebagai daraku

Dara kembang desa yang tidak bertepi

Tapi berumah di hatiku. 


Untuk tanggal yang nanti aku cantumkan di pojok surat puisi ini, aku nanti akan kirimkan sebuah kenangan dan apa itu tujuan hatiku. Tujuan hatiku memang tidak ada yang lain selain kamu, bunga dara kembang desa. Macam julukan aku berikan pada suara hati yang kacau. Kini, aku berikan bunga daun warna pagi. Pagi entah sudah berapa kali kita  lalui sepi. Sepi dan sepi kini jadi kehampaan. Hampa dan semakin kosong. 


Saat itu aku kehilangan kamu jadi mata bunga pagi. Dara bunga desa yang masih aku miliki saat ini, inginkan aku memilih salah satu daun dari tetumbuhan dunia ini. Memang begini, aku seperti tulisan seperti kertas biar jadi abu aku ubah kau dari arang jadi bedak putih dari bedak putih, jadi gincu nyonya-nyonya. Nyonya milik siapa yang aku tahu itu. Ah, kau memang lebih seperti macam dunia yang aku lalui. 


Entah kenapa bunga dara kembang desa lebih suka aku banding-bandingkan dengan kamu daripada dengan adik wanita Belanda. Hai, memang begini aku suka hidup dan begini aku suka hidup dan terus begini aku suka hidup dari karya resi-resi. Begawan yang telah melewati gunung-gunung dan laut-laut maka lewat aku telah memilih kamu sebagai angin terpana dan terpesona pada bunga mayapada. 


Maya bunga kaca sepi dari unggun rimbun sajak. Itu bagaikan rumahku dan rumahmu dari suara-suara keindahan dan memang begini aku lebih suka jalani hidup dari enak-enak yang telah jiwa merdeka bangun. Bangun, bangun, tapi jangan salah bangun. Tapi jangan salah yang bangun. Bangunnya engkau tidurkan lagi. Bangunnya engkau tidurkan lagi. Tidur lagi supaya kau dapat mengontrol hidupmu. Hidup harus hidup. Harus hidup. Segera hidup seperti angin segara melewati angin. Lewat supaya jalan sepi dan terkena dari jalan-jalan pematang kita melintas. Melintas pula suatu hasrat dari keinginan kita yang entah bagaimana kita melepaskan hati. Melepaskan keinginan. Melepaskan jiwa dan hidup dari angan angan yang kaku. 


Aku masih ingin jiwa suara suara dari negeri yang aku jalani. Berkelana, berkelana, berkelana dan memang seperti itulah aku inginkan hidup menatap masa depan. Masa depan adalah milik kita yang percaya pada mata maha melihat. Maha mendengar dan aku takut. Dia dengar suara suara batin aku yang masih kacau. Kacau hingga aku sulit kemudian hatiku. Gimana ini perasaanku pada sesuatu itu. Sesuatu yang aku inginkan itu adalah dimana aku jadi harapan bagimu. Aku bisa jadi keinginan untuk kamu. Merdeka, terbang terbang, bagai burung lupa sarang. Jangan kembali. Sebab aku inginkan kau jadi anak telur, menetas dan menetap dalam hatiku. Menetas dan menetas jadi bunga bunga harapan aku yang kini lembut. Lembut seperti itu dan terus seperti apa harapanku. 


Sudah memang aku ingin bunga matahari jadi cahya yang bulat dan menjadi impian harapan dalam keinginanku. Mana lebih kau suka bunga daripada madu. Mana lebih kau suka susu daripada saripati hati. Mana lebih tajam dada daripada isimu. Mana lebih aku suka dari. Luar dan dalam dari tubuh-tubuhmu. Yaitu ketulusanmu maka engkau lebih tambahkan jiwaku pada suka bintang bulan yang terbit dari jiwa kita berdua. Kini aku lebih ingin bunga dari warna surga dan meledak jadi serbuk bunga bunga yang asli dan meledak jadi debu lalu hilang. Kini jadi pendar cahaya. Jadi puisi ku yang lebih indah daripada puisi jadi bunga bunga yang indah dan mekar dalam taman di sanubari hatiku. 


Emang jangan begitu kau kacaukan aku dan di dalam perhiasan hidup kita ini. Aku jadi lebih ingin nikmati kamu. Mabuk dari susu soda tajam. Dari ketajaman bulu bulu warna merah itu kau ciptakan dari percik bunga bungan mawaran dan melatian. Hadeh makanya jangan bikin aku resah dan enak yang dibaca dan ditulis seperti kabut. Maaf, belum selesai surat ini aku tulis dari kehampaan dan ketidakberdayaanku. Memang begini aku jadi semangat dalam zaman dan berkembang jadi semangat anak ke manusia yang engkau harap dan mimpi. 

×
Berita Terbaru Update