Lailatul Mukaromah |
LorongKa.com - Tradisi adalah adat istiadat, yaitu suatu aktifitas atau kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat local mulai sejak dulu sampai sekarang yang dijaga dan dilestarikan. Pastinya di berbagai wilayah memiliki suatu tradisi, salah satunya di Kota Pekalongan yang memiliki tradisi syawalan yaitu membuat kue lopis dalam menyambut bulan Ramadhan. Tradisi ini khususnya ada di masyarakat Daerah Krapyak di bagian utara Kota Pekalongan.
Lopisan yaitu berasal dari kata lopis, sejenis makanan yang terbuat dari ketan yang memiliki daya rekat sangat kuat apabila direbus hingga masak benar. Lopis ini mengandung falsafah tentang persatuan dan kesatuan yang merupakan sila ke tiga dari Pancasila. Lopis tersebut dibungkus dengan daun pisang, diikat dengan tambang dan direbus selama 4 hari 3 malam. Sehingga butir-butir ketan itu tidak mungkin memisah seperti semula.
Asal mula tradisi ini yaitu pada tanggal 8 Syawal masyarakat krapyak berhari raya Kembali setelah berpuasa 6 hari. Dalam kesempatan itu masyarakat krapyak membuat acara open house, yaitu menerima para tamu baik itu tamu dari luar desa maupun luar kota.
Tradisi ini tidak hanya diketahui oleh masyarakat krapyak, akan tetapi masyarakat luar kota pun mengetahui tradisi tersebut. Sehingga para masyarakat luar kota tidak mengadakan kunjungan silaturahmi pada tanggal 2 hingga 7 dalam bulan syawal, melainkan mereka berbondong-bondong berkunjung pada tanggal 8 syawal.
Tradisi ini rutin dilakukan sejak 130-an tahun yang lalu. Yang pertama kali mengelar hajatan ini adalah KH.Abdullah Siroj, yang merupakan keturunan dari Kyai Bahu Rekso. Sementara untuk upacara pemotongan kue lopis baru dimulai pada tahun 1956 oleh bapak Rohmat selaku kepala desa Krapyak pada waktu itu.
Kegiatan dalam syawalan terdapat beberapa macam, hal yang paling menarik dalam tradisi ini adalah dibuatnya kue lopis raksasa yang ukurannya mencapai tinggi 2 meter diameter 1,5 meter dan beratnya mencapai 1.000 kg lebih atau 1 kuintal.
Biasanya lopis dipotong setelah acara doa Bersama oleh Walikota Pekalongan dan dibagi-bagikan kepada para pengunjung. Para pengunjung biasanya berebut lopis untuk mendapatkan keberkahan. Ke identikan dengan sifat lopis yang lengket yaitu untuk mempererat tali silaturahmi masyarakat krapyak dan masyarakat sekitarnya.
Perayaan tradisi syawalan ini juga diadakan upacara yang cukup menarik. Selain itu masyarakat Krapyak biasanya memberikan makanan ringan dan minuman gratis kepada pengunjung.
Masyarakat biasanya mengadakan kegiatan hiburan, pentas seni, lomba dan menghias kampung untuk menghidupkan kembali tradisi ini. Selain lopis raksasa, langit Pekalongan pada saat itu juga dipenuhi dengan balon-balon besar berwarna-warni dan beragam desain, beberapa balon juga disertai petasan.
Pekalongan memiliki semua budaya dan kearifan lokalnya. Namun belakangan ini, aktivitas tersebut menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintah dan lalu lintas udara karena dikhawatirkan jika balon udara cukup tinggi dapat mengganggu dan membahayakan penerbangan pesawat serta dapat menyulut balon dan membakar Gedung apabila balon tersebut jatuh ke atap rumah dengan api yang masih manyala.
Jumlah pengunjung tradisi ini mencapai ribuan orang dari dalam kota dan sekitar kota Pekalongan. Setelah pembagian Lopis selesai, biasanya pengunjung menghabiskan liburan bersama keluarga untuk menghirup segarnya udara pantai atau menikmati hiburan gratis yang ada di Pantai Slamaran dan pasir kencana yang sudah disiapkan masyarakat Krapyak. Pada saat pandemi pun tetap di adakan tradisi syawalan dengan diterapkan protokol Kesehatan demi mengantisipasi adanya penyebaran covid-19.
Maka dari itu, masyarakat Krapyak tetap melestarikan kearifan lokal tradisi syawalan tersebut dengan mematuhi protokol Kesehatan demi meningkatkan persaudaraan. Khususnya masyarakat krapyak mempunyai kewajiban penuh untuk melestarikan dan mengharumkan serta menjunjung nama kota dengan kekayaan dan kearifan lokal yang ada di salah satu daerah di Kota Pekalongan.
Penulis: Lailatul Mukaromah (Mahasiswi UIN Walisongo Semarang)